Scroll untuk baca artikel
Iklan MMI
Iklan MMI
Sudut OpiniNasional

Menanti Arah Putusan MK terkait Sengketa Pilpres

209
×

Menanti Arah Putusan MK terkait Sengketa Pilpres

Sebarkan artikel ini
menanti-arah-putusan-mk-sengketa-pilpres
Mahkamah Konstitusi (MK) menghadirkan keempat menteri kabinet Indonesia Maju antara lain Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, serta Menteri Sosial (Mensos) Tri Rismaharini untuk memberi Keterangan Lain yang diperlukan dalam sidang penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (PHPU Presiden) Tahun 2024 pada Jumat (5/4/2024) I Humas/Ifa

Menanti Arah Putusan MK terkait Sengketa Pilpres

Oleh : Hananto Widodo

mediamerahputih.id – Sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) sengketa Pilpres telah telah sampai pada pemeriksaan pokok perkara. Kini publik menanti kebijaksanaan Mahkamah Konstitusi (MK) lewat putusannya. Tak jarang banyak pihak berharap hakim MK memutus perkara pilpres yang diajukan tim Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud itu dengan putusan secara kenegarawanan. Sejauh ini, dalam proses persidangan, MK memberikan harapan kepada publik dengan bersikap independen.

Dalam sidang MK bahkan, pemeriksaan terhadap saksi dan ahli yang diajukan baik oleh pihak pemohon (pihak 01 dan 03), termohon (KPU) dan pihak terkait (pihak 02) sudah selesai. MK juga telah memeriksa 4 Menteri, yaitu Muhajjir Effendi (Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), Sri Mulyani (Menteri Keuangan), Airlangga Hartarto (Menteri Koordinator Bidang Perekonomian), dan Tri Rismaharini (Menteri Sosial) yang dianggap sebagai Menteri yang bertanggungjawab terkait dengan penggelontoran Bantuan Sosial (Bansos) dalam rangka meningkatkan electoral dari paslon 02.

Baca juga:

Antara Rekonsiliasi Dan Oposisi

Dalam PHPU Presiden/Wapres pada tahun 2024 ini berbeda dengan PHPU Presiden/Wapres sebelumnya. Pada PHPU kali ini, dalil yang diajukan oleh pemohon (posita) benar-benar menekankan pada alasan kualitatif. Tidak ada satupun dalil yang diajukan terkait dengan alasan kuantitatif, baik itu dari pihak 01 maupun 03. Pertanyaannya apakah dalil yang bersifat kualitatif  an sich bisa berpotensi untuk dikabulkan oleh MK ? Pertama kita akan melihat pada logika yang dibangun terkait dengan dalil yang bersifat kualitatif ini.

Dalil kualitatif yang diajukan oleh pihak 01 dan 03 menekankan pada dua hal. Pertama adalah terkait dengan pelanggaran etik. Pelanggaran etik ini terkait dengan tuduhan cacatnya pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai Cawapres. Kedua, terkait dengan tuduhan cawe-cawenya Presiden Joko Widodo dalam Pemilu 2024 ini.

Baca juga:

Quo Vadis Hak Angket Kecurangan Pemilu

Terkait dengan dalil pelanggaran etik ini, tentu bukan sesuatu yang relate dengan persoalan PHPU Presiden/Wapres. Mengapa ? Kalau berbicara mengenai pelanggaran pemilu yang terkait dengan PHPU, maka ada dua jenis pelanggaran pemilu ini, yakni pelanggaran pidana dan pelanggaran administratif. Tidak ada jenis pelanggaran etik yang bisa dijadikan dasar bagi para pihak untuk mempermasalahkan hal ini dalam PHPU Presiden/Wapres.

menanti-arah-putusan-mk-sengketa-pilpres
Ketua DKPP Heddy Lugito memberikan keterangannya pada sidang lanjutan perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden 2024, Jumat (5/04) di Ruang Sidang MK. Foto I Humas I Teguh

Apalagi persoalan pelanggaran etik sudah diselesaikan oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK), di mana MKMK telah menjatuhkan sanksi berupa pemberhentian Anwar Usman sebagai Ketua MK dan melarang Anwar Usman untuk menangani sengketa pemilu baik Presiden/Wapres, legislatif, bahkan sengketa Pilkada. Larangan Anwar Usman untuk menangani sengketa pemilu dan sengketa pilkada ini untuk menghindari konflik kepentingan (conflict of interest) karena Anwar Usman ini merupakan Paman dari Cawapres Gibran Rakabuming Raka.

Baca juga:

Antara Hak Angket DPR dan Penyelesaian di MK

Meskipun dalam pelanggaran etik ini yang menjadi pokok persoalan adalah putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 yang dianggap sebagai biang lolosnya Gibran Rakabuming Raka sebagai Cawapres dari Prabowo Subianto, tetapi dalam pemeriksaan etik apapun yang menjadi pokok persoalan adalah perilaku dari para anggota yang dianggap melakukan perbuatan buruk. MKMK memutus Anwar Usman melanggar etik karena dalam pemeriksaan Anwar Usman terbukti melanggar sapta karsa hutama sebagai landasan etik bagi hakim MK.

Namun demikian, dengan diputusnya Anwar Usman melanggar etik oleh MKMK tidak otomatis membuat putusan MK No. 90 itu batal. Bahkan MKMK juga tidak memiliki wewenang untuk memerintahkan MK untuk mengkoreksi putusan No. 90 tersebut. Berdasarkan asas  res judicata pro veritate habetur yang artinya putusan hakim harus dianggap benar dan harus dilaksanakan, maka putusan MK No. 90 ini tidak bisa diganggu gugat oleh MKMK. Putusan pengadilan hanya bisa dievaluasi melalui Upaya hukum berupa banding, kasasi dan Peninjauan Kembali. Namun, karena MK itu merupakan pengadilan pertama dan terakhir, maka putusan MK No. 90 bersifat final dan mengikat.

Baca juga:

Hak Angket Putusan Mahkamah Konstitusi

Ketua MKMK pada waktu itu, yakni Jimly Asshidiqie menyatakan kalau putusan MK No. 90 ini bisa dibatalkan dengan cara menguji kembali pasal 169 huruf q UU Pemilu, tetapi kalau dikabulkan oleh MK, putusan MK ini baru bisa dieksekusi pada pemilu 2029. Daripada membuang-buang waktu, karena baru bisa diterapkan pada pemilu 2029, maka akan lebih baik diserahkan pada DPR sebagai pembentuk UU untuk melakukan legislative review terhadap pasal 169 huruf q UU Pemilu. Toh, perubahan terhadap pasal 169 huruf q ini persoalannya hanya terkait dengan pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai Cawapres, sedangkan perhelatan pemilu ini telah usai dan tidak mungkin lagi mempermasalahkan putusan MK No. 90 ini, sehingga Upaya untuk menghambat Gibran Rakabuming Raka menjadi sia-sia.

Karena Upaya untuk menghambat Gibran Rakabuming Raka tidak dimungkinkan lagi, maka pihak 01 dan 03 berupaya untuk mendelegitimasi hasil Pemilu Presiden dan Wapres dengan mendalilkan petitumnya di MK agar pasangan Calon 02 atau minimal Gibran Rakabuming Raka didiskualifikasi kemudian diadakan pemilu ulang dengan hanya 01 dan 03 sebagai peserta pemilu Presiden dan Wapres.

Baca juga:

Polemik Boleh Tidaknya Presiden Berkampanye

Maka pertanyaannya apakah petitum dari 01 dan 03 itu masuk akal ? Dalam PHPU tentu pemohon bukan hanya bicara mengenai pelanggaran etik sebagai alasan dalam permohonannya, tetapi pemohon juga harus bisa menguraikan kerugian yang dialami oleh 01 dan 03 jika Gibran Rakabuming Raka menjadi Cawapres dari Prabowo Subianto. Dan alasan kerugian dari 01 dan 03 ini haruslah alasan hukum, bukan alasan politik. Dalam dalilnya baik 01 dan 03 tidak menyebutkan kerugiannya secara hukum terkait dengan keikutsertaan Gibran Rakabuming Raka sebagai Cawapres dari Prabowo Subianto.

Baca juga:

Putusan MK yang aneh bin Ajaib

Bagaimanapun juga antara dalil kualitatif dan kuantitatif haruslah ada dalam permohonan dalam setiap PHPU baik itu Presiden maupun legislative. Pasal 473 ayat (1) UU Pemilu menyatakan “Perselisihan Hasil Pemilu meliputi perselisihan antara KPU dan Peserta Pemilu mengenai penetapan perolehan suara hasil pemilu secara nasional.” Meskipun MK bukan merupakan Mahkamah Kalkulator yang hanya mengadili berdasarkan hasil suara, tetapi pengajuan dalil yang hanya berdasarkan kualitatif semata, tanpa melihat pada aspek kuantitatif, maka dalil tersebut terkesan hanya merupakan narasi-narasi yang tidak membumi. Aspek kuantitatif tidak bisa dinafikkan begitu saja karena aspek kuantitatif inilah yang membuat dalil dari pemohon menjadi membumi.

Penulis adalan Dosen Hukum Tata Negara Program Studi Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Negeri Surabaya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *