Menyoal Gugatan PDIP Ke PTUN
Oleh : Hananto Widodo
mediamerahputih.id I Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 menegaskan “Indonesia adalah Negara Hukum.” Prinsip ini mengandung makna bahwa dalam menyelesaikan suatu persoalan harus selalu diselesaikan melalui mekanisme hukum yang berlaku. Demikian juga dengan pemilu, jika terjadi sengketa, maka akan diselesaikan berdasarkan mekanisme yang belaku. Secara konstitusional, perselisihan tentang hasil pemilu diselesaikan di Mahkamah Konstitusi (MK). Dan MK telah memutuskan bahwa telah menolak secara keseluruhan permohonan pemohon, baik dari kubu 01 maupun kubu 03.
Seharusnya ketika putusan MK dibacakan, maka berlaku asas res judicata pro Veritate habetur, di mana putusan MK ini mengakhiri segalanya. Putusan MK ini telah mengakhiri sengketa yang ada. Apalagi putusan MK ini bersifat final dan mengikat, sehingga tidak ada upaya hukum lainnya. Kalaupun ada yang mempermasalahkan, tidak lebih hanya sekedar perdebatan secara akademik terkait isi dari putusan MK tersebut.
Baca juga:
Namun tidak demikian dengan PDIP. Meskipun putusan MK telah dibacakan, PDIP tetap pada pendiriannya untuk kembali mempermasalahkan pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai Cawapres Prabowo Subianto.
Gugatan PDIP ini dilayangkan ke PTUN atau Peradilan Tata Usaha Negara. Secara sistem kepemiluan, harusnya PDIP tidak bisa untuk mempermasalahkan pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai Cawapres Prabowo, karena harusnya gugatan itu dilayangkan ketika tahapan pemilu belum selesai atau yang kita kenal dengan istilah sengketa proses pemilu.
Baca juga:
Sekarang ini pemilu telah selesai, dan KPU telah menetapkan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka sebagai pasangan Capres-Cawapres terpilih. Penetapan KPU ini sebagai tindak lanjut dari putusan MK yang menolak permohonan baik permohonan 01 dan 03, sehingga putusan MK ini menguatkan Keputusan KPU tentang rekapitulasi hasil suara pemilu Presiden 2024 yang memenangkan Prabowo-Gibran. Dengan demikian, apa urgensi dari gugatan PDIP terkait keabsahan Gibran Rakabuming Raka sebagai Cawapres ke PTUN ?
PDIP berargumentasi bahwa gugatan ini berbeda dengan gugatan di PTUN dalam sengketa proses pemilu. Mekanisme sengketa proses pemilu sebagaimana diatur dalam UU Pemilu, jika ada yang tidak terima dengan Keputusan KPU, maka bisa mengajukan Upaya administratif ke Bawaslu. Jika Bawaslu menolak, maka pihak yang dirugikan bisa menggugat ke PTUN.
Baca juga:
Sekarang ini PDIP akan menggugat melalui mekanisme perbuatan melanggar hukum oleh penguasa (onrechmatige overheidsdaad). Sebelum berlakunya UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, kewenangan untuk menangani sengketa onrechmatige overheidsdaad ini ada di tangan peradilan umum. Karena memang sengketa onrechmatige overheidsdaad ini merupakan sengketa antara Masyarakat dan Pemerintah yang obyeknya bukan Keputusan tata usaha negara (KTUN). Oleh karena itu, gugatan onrechmatige overheidsdaad ini lebih pada gugatan perdata.
Berbeda dengan gugatan di PTUN, di mana yang digugat adalah pejabat tata usaha negara atau badan tata usaha negara, sedangkan di dalam gugatan onrechmatige overheisdaad yang digugat adalah pemerintah sebagai badan hukum. Gugatan di PTUN terkait dengan keabsahan dari KTUN, dengan demikian gugatan di PTUN terkait dengan persoalan penggunaan kewenangan (bevogheid) dari badan/pejabat tata usaha negara, apakah penggunaan wewenang tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB). Sedangkan gugatan onrechmatige overheidsdaad terkait dengan bekwaam atau kecakapan dari pemerintah. Oleh karena bercorak perdata, maka petitum dari gugatan onrechmatige overheidsdaad adalah ganti rugi dari pemerintah akibat kurang cakapnya pemerintah.
Baca juga:
Setelah lahirnya UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan kemudian ditindaklanjuti dengan Perma No. 2 Tahun 2019, maka konsepsi mengenai onrechmatige overheidsdaad menjadi bergeser. Pasal 1 angka 4 Perma ini menyatakan “Sengketa Perbuatan Melanggar Hukum Oleh Badan/Pejabat Pemerintahan (onrechmatige overheidsdaad) adalah “sengketa yang di dalamnya mengandung tuntutan untuk menyatakan tidak sah dan/atau batal tindakan pejabat Pemerintahan, atau tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat beserta ganti rugi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Dengan demikian, tergugat tidak lagi pemerintah, tetapi badan/pejabat Pemerintah. Di samping itu, kewenangan untuk menangani sengketa onrechmatige overheidsdaad telah beralih ke PTUN.
Tuntutan dalam sengketa onrechmatige overheidsdaad adalah menyatakan tidak sah dan/atau batal tindakan pejabat Pemerintahan beserta ganti ruginya. Pertanyaannya dalam gugatan PDIP terkait keabsahan Gibran Rakabuming Raka, tindakan KPU yang bagaimana yang harus dinyatakan tidak sah atau batal ? Apa Keputusan KPU tentang penetapan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka sebagai pasangan Capres dan Cawapres ? Kalau itu yang dituntut, pertanyaan selanjutnya apa kerugian dari PDIP dengan ditetapkannya Gibran Rakabuming Raka sebagai Cawapres dari Prabowo ? Pertanyaan ini penting untuk diajukan, karena syarat formil seseorang untuk melakukan gugatan dalam hal apapun dia harus bisa menunjukkan kerugiannya.
Baca juga:
Untuk mengabulkan gugatan dari PDIP ini tentu akan memiliki implikasi yang tidak sederhana. Kita tentu ingat dengan peristiwa dikabulkannya gugatan Partai Prima kepada KPU oleh Peradilan Negeri Jakarta Pusat. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam sengketa onrechmatige overheidsdaad ini pada amarnya memerintahkan untuk menunda pemilu menjadi 2025. Jika PTUN mengabulkan gugatan dari PDIP, maka PTUN akan dianggap melampaui kewenangannya. Karena PTUN tidak bisa mengadili sengketa hasil pemilu, sebab sengketa hasil pemilu itu merupakan kewenangan MK dan MK sudah membacakan putusannya.
Baca juga:
PDIP boleh saja berkilah bahwa gugatannya tidak berkaitan dengan hasil pemilu, tetapi publik pasti bisa melihat bahwa gugatan dari PDIP ini untuk mempermasalahkan keabsahan dari Gibran Rakabuming Raka. Oleh karena itu, persoalan yang dipermasalahkan oleh PDIP tidak lepas dari persoalan pemilu, karena yang dipermasalahkan adalah Pencawapresan Gibran Rakabuming Raka. Kalau PDIP tetap bersikukuh bahwa gugatannya ini tidak ada kaitannya dengan pemilu, lalu apa kepentingan dari PDIP dalam gugatan ini ? Tentu kita tidak akan menemukan jawaban lainnya, kecuali kepentingan elektoral dari PDIP, khusus Capres dan Cawapres yang diusungnya.
Penulis adalah Koordinator Konsentrasi Hukum Pemerintahan dan Dosen Program Studi Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Negeri Surabaya