Scroll untuk baca artikel
Iklan MMI
Iklan MMI
Sudut OpiniPolitik

Antara Rekonsiliasi Dan Oposisi

234
×

Antara Rekonsiliasi Dan Oposisi

Sebarkan artikel ini
antara-rekonsiliasi-dan-oposisi
Menurut Hananto Widodo jika tidak ada oposisi, maka dapat dikatakan jika negara kita ini gagal dalam membangun demokrasi I MMP I ilustrasi

Antara Rekonsiliasi Dan Oposisi

Oleh : Hananto Widodo

mediamerahputih.id – Ketua MPR Bambang Soesatyo mengatakan agar pemerintahan yang akan datang tidak perlu ada oposisi. Lebih baik kita mengedepankan rekonsiliasi ketimbang oposisi. Pernyataan Bambang Soesatyo ini seolah-olah menuduh bahwa oposisi itu bertentangan dengan rekonsiliasi. Seakan-akan oposisi merupakan upaya untuk membangun konflik untuk melawan rezim yang sah.

Pandangan ini aneh jika dilihat dalam perspektif demokrasi. Dalam negara demokrasi, keberadaan oposisi merupakan keniscayaan. Justru jika tidak ada oposisi, maka dapat dikatakan jika negara kita ini gagal dalam membangun demokrasi. Padahal secara konstitusional negara kita ini menganut negara demokrasi, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.

Baca juga:

Quo Vadis Hak Angket Kecurangan Pemilu

Siapa pelaksana dari kedaulatan rakyat tersebut ? Tentu adalah lembaga-lembaga negara yang orang-orangnya dipilih melalui pemilu. Menurut Pasal 22 E ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, “pemilu diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, anggota DPRD Provinsi, anggota DPRD Kabupaten/ Kota. Oleh karena itu, berbeda dengan UUD 1945 sebelum perubahan yang hanya memberikan legitimasi kepada DPR dan MPR, dalam UUD 1945 setelah perubahan pelaksana kedaulatan rakyat tidak hanya dilaksanakan oleh lembaga perwakilan rakyat, tetapi juga dilaksanakan oleh Presiden.

Bahkan secara politik, pemilu Presiden dan/atau Wakil Presiden ini dianggap lebih seksi ketimbang pemilu legislatif. Hal ini dapat dilihat pada isu kecurangan yang begitu kuat pada pemilu Presiden dari waktu ke waktu. Padahal secara empirik, isu kecurangan di dalam pemilu legislative juga tidak kalah santernya.

Baca juga:

Antara Hak Angket DPR dan Penyelesaian di MK

Begitu antusiasnya Masyarakat terhadap pemilu Presiden ini tentu bukan sesuatu yang tanpa pijakan kuat. Antusiasnya Masyarakat terhadap pemilu Presiden tentu dengan harapan agar Presiden yang dia pilih jika terpilih menjadi Presiden akan dapat mewujudkan harapan-harapan mereka agar mereka bisa hidup dengan lebih layak dibanding sebelumnya. Namun demikian, bukan berarti Presiden bisa berjalan sendiri ketika menjalankan kebijakan-kebijakannya.

Presiden tentu membutuhkan mitra dalam menjalankan tugas-tugasnya berupa dukungan yang konkrit dari mitra koalisinya di DPR yang telah Presiden bangun ketika Presiden maju sebagai Calon Presiden. Karena secara konstitusional, syarat untuk menjadi Capres/Cawapres adalah diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol. Dengan demikian, parpol atau gabungan parpol yang mendukungnya inilah yang akan menjadi mitra pendukung Presiden di parlemen.

Baca juga:

Pengertian Hak Angket DPR dan Perspektif Teori Hukumnya

Ketika pasangan Capres Cawapres ini memenangkan kontestasi, tentu ada kontestan atau pasangan Capres Cawapres yang mengalami kekalahan. Pasangan Capres-Cawapres yang mengalami kekalahan ini tentu juga didukung oleh parpol atau gabungan parpol. Parpol atau gabungan parpol yang mendukung Capres-Cawapres yang mengalami kekalahan idealnya akan membangun barisan oposisi di parlemen untuk melakukan kontrol terhadap pemerintah.

antara-rekonsiliasi-dan-oposisi
Masyarakat terhadap pemilu Presiden ini tentu bukan sesuatu yang tanpa pijakan kuat. Antusiasnya Masyarakat terhadap pemilu Presiden tentu dengan harapan agar Presiden yang dia pilih jika terpilih menjadi Presiden akan dapat mewujudkan harapan-harapan mereka agar mereka bisa hidup dengan lebih layak dibanding sebelumnya. Namun demikian, bukan berarti Presiden bisa berjalan sendiri ketika menjalankan kebijakan-kebijakannya I MMP I dok

Secara umum pengawasan yang dilakukan oleh oposisi bisa berupa dua hal. Pertama, mengawasi setiap RUU inisiatif dari Pemerintah. Dalam membahas substansi dari RUU inisiatif dari Pemerintah, oposisi harus benar-benar memastikan jika RUU yang dibahas tersebut benar-benar tidak akan merugikan masyarakat jika kelak diundangkan. Secara empiris, pengawasan terhadap RUU ini tidak berjalan sesuai dengan yang kita harapkan.

Yang terjadi, DPR malah secara kompak tanpa catatan yang berarti meloloskan RUU inisiatif Pemerintah, seperti UU Cipta Kerja dan UU Ibukota Nusantara (IKN). Dengan demikian, pemerintahan Jokowi yang bisa berjalan secara aman tanpa gangguan dari DPR bukan sesuatu prestasi jika dilihat dalam perspektif demokrasi. Justru pemerintahan Jokowi yang tidak pernah mendapat sentuhan kritik dari parlemen karena nir oposisi, seharusnya mendapatkan evaluasi dari kita semua. Artinya bukan malah menghilangkan oposisi sebagaimana disarankan oleh Bambang Soesatyo, tapi malah kita harus memikirkan agar bagaimana oposisi bisa terbangun secara konstruktif. Karena bagaimanapun juga tidak ada Pemerintah yang tidak melakukan kesalahan, sehingga dibutuhkan oposisi untuk menegur pemerintah jika pemerintah melakukan kesalahan.

Baca juga:

Polemik Boleh Tidaknya Presiden Berkampanye

Kedua, pengawasan DPR berupa kewenangan konstitusional DPR dalam melakukan pengawasan terhadap DPR, baik itu hak interpelasi, hak angket dan hak menyatakan pendapat. Hak konstitusional DPR ini merupakan hak yang bisa dilakukan oleh DPR, jika DPR menganggap pemerintah sudah salah jalan. Sayangnya, hak konstitusional DPR ini dapat dikatakan jarang digunakan oleh DPR. Penyebabnya adalah karena kurangnya tradisi oposisi dalam tradisi demokrasi kita.

Seakan-akan jika terdapat oposisi di negeri ini maka dianggap bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi kita. Oposisi dianggap sebagai praktik di negara-negara dengan tradisi demokrasi liberal, sedangkan demokrasi kit aini adalah demokrasi yang gotong royong. Menurut segelintir politisi, negara ini tidak mungkin bisa dibangun oleh sekelompok elite saja, tetapi harus dibangun bersama-sama oleh seluruh komponen, termasuk parpol yang pada awalnya merupakan rival dari parpol pendukung penguasa, sehingga merangkul rival politik untuk masuk dalam pemerintahan merupakan semangat gotong royong.

Baca juga:

Putusan MK yang aneh bin Ajaib

Pemaknaan terhadap makna gotong royong telah direduksi dengan sekedar bagi-bagi kekuasaan. Seakan-akan sikap oposan yang dibangun oleh oposisi merupakan hal yang sangat buruk. Padahal makna dari oposisi ini adalah untuk melakukan perimbangan terhadap rezim yang berkuasa agar penguasa tetap berjalan di rel yang benar. Oleh karena itu mengharamkan oposisi sama dengan mengharamkan demokrasi itu sendiri yang telah diakui dalam konstitusi kita.

Penulis adalah Dosen Hukum Tata Negara Program Studi Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Negeri Surabaya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *