Scroll untuk baca artikel
Iklan MMI
Iklan MMI
Nasional

Hak Angket Putusan Mahkamah Konstitusi

435
×

Hak Angket Putusan Mahkamah Konstitusi

Sebarkan artikel ini

hiruk pikuk putusan MK meloloskan Gibran Cawapres

hak-angket-putusan-mahkamah-konstitusi
ilustrasi rapat klarifikasi dugaan pelanggaran etik Hakim Konstitusi I mkri

Hak Angket Putusan Mahkamah Konstitusi

Oleh : Hananto Widodo

Di tengah hiruk pikuk kontroversi putusan MK yang meloloskan Gibran Rakabuming Raka sebagai Cawapres, tiba-tiba muncul gagasan yang dianggap aneh oleh publik. Gagasan itu adalah terkait usulan hak angket DPR yang diusulkan oleh politisi PDIP Masinton Pasaribu. Usulan hak angket itu untuk menyelidiki putusan Mahkamah Konstitusi yang dianggap membawa kegaduhan politik. Tentu usulan Masinton ini menjadi perbincangan publik, dan ada sebagian yang mencibir usulan Masinton ini dengan nada yang merendahkan Masinton. Salah satu cibiran ini keluar dari mulut politisi Golkar Nusron Wahid. Nusron Wahid mengatakan kalau Masinton ini tidak paham dengan konsep ketatanegaraan.

Menurut Nusron, hak angket itu ditujukan pada Pemerintah. MK yang notabene merupakan lembaga yudisial tidak bisa menjadi obyek hak angket. Apakah pernyataan Nusron ini benar ? Untuk menjawab ini, maka kita harus melihat pada definisi hak angket yang diatur dalam hukum positif kita. Hukum positif yang mengatur mengenai hak angket adalah UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3). Pasal 79 ayat (3) UU MD3 menyatakan Hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

hak-angket-putusan-mahkamah-konstitusi

Baca juga:

Putusan MK yang aneh bin Ajaib

Dari rumusan Pasal 79 ayat (3) UU MD3 memang hak angket ini ditujukan kepada Pemerintah, mulai dari Presiden,  Wapres hingga para Menteri. Pertanyaan, apakah dengan demikian, DPR tidak bisa menggunakan hak angket untuk menyelidiki putusan MK yang mengundang kegaduhan public ? Kalau memang hak angket ini hanya digunakan untuk menyelidiki putusan MK tentu tidak boleh, karena jika DPR menggunakan hak angket untuk menyelidiki putusan MK, maka itu sama dengan DPR melakukan intervensi terhadap independensi pengadilan.

Namun demikian yang harus diingat, kegaduhan putusan MK ini bukan sesuatu yang berdiri sendiri. Beberapa pihak menduga jika lahirnya putusan MK ini tidak lepas dari skenario istana agar MK bersedia untuk mengabulkan permohonan judicial review terhadap Pasal 169 huruf q UU Pemilu agar Gibran Rakabuming Raka bisa melaju sebagai Cawapres. Kecurigaan public ini menjadi menguat, mengingat begitu MK dalam putusan No. 90/PUU-XXI/2123 mengabulkan sebagian permohonan pemohon, Gibran langsung mendaftarkan diri sebagai Cawapres Prabowo di KPU.

Baca juga :

Prabowo dan Tuduhan Pelanggaran HAM

Oleh karena itu, jika DPR berkehendak untuk menggunakan hak angket, maka dalam hak angket ini, putusan MK No. 90 bukan merupakan obyek yang akan diselidiki oleh DPR, tetapi putusan MK ini merupakan pintu masuk (entry point) dari DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap Presiden yang diduga kuat melakukan skenario untuk mengkondisikan MK agar MK membuat putusan yang menguntungkan pihak istana. Dugaan terhadap keterlibatan Presiden pada lahirnya putusan MK ini, tentu tidak bisa diabaikan begitu saja. Karena Ketua MK Anwar Usman merupakan adik ipar dari Presiden Jokowi, sehingga dugaan public terkait keterlibatan Presiden sangat beralasan.

Dugaan terkait keterlibatan Presiden Jokowi ini tentu tidak akan terjawab jika berhenti pada sekedar dugaan. Tentu diperlukan tindakan nyata agar bagaimana supaya dugaan public terkait dengan keterlibatan Presiden Jokowi ini menjadi terjawab. Apakah jawabannya nanti Jokowi terlibat atau tidak terlibat itu menjadi sangat penting. Jalan konstitusional yang dapat ditempuh agar dugaan public terkait keterlibatan Presiden dalam skandal putusan MK ini bisa terjawab antara lain adalah dengan menggunakan hak angket.

Baca juga:

Catatan Terhadap Putusan MK terkait revisi UU KPK

Terlepas dari konfigurasi politik di parlemen yang sebagian besar dikuasai oleh pendukung Pemerintah, sehingga Upaya untuk menggulirkan hak angket menjadi sia-sia, tetapi Upaya ini harus tetap diapresiasi. Sebab isu dugaan keterlibatan Presiden dalam kasus ini merupakan isu yang sangat serius. Jika Presiden memang terbukti terlibat dalam kasus ini, maka Presiden Jokowi bisa dianggap telah melakukan perbuatan tercela, sehingga Presiden Jokowi secara konstitusional bisa dimakzulkan.

Paling tidak ada 3 alasan untuk memakzulkan Presiden dan Wakil Presiden. Pertama, alasan moral, yakni Presiden atau Wakil Presiden melakukan perbuatan tercela. Kedua, alasan hukum, yakni jika Presiden atau Wakil Presiden terbukti melakukan korupsi, suap, tindak pidana berat lainnya dan pengkhianatan terhadap negara. Ketiga alasan administratif, jika Presiden atau Wakil Presiden tidak memenuhi syarat sebagai Presiden dan atau/Wakil Presiden.

Baca juga:

Putusan Penundaan Pemilu Yang Tidak Nalar

Setelah perubahan UUD 1945, paradigma pemberhentian Presiden telah bergeser dari paradigma politis menjadi paradigma hukum dan moral. Sehingga Presiden sekarang ini tidak bisa diberhentikan dengan alasan politis. Harus ada bukti bahwa Presiden telah melakukan pelanggaran hukum pidana atau perbuatan tercela. Mekanisme untuk membuktikan bahwa Presiden telah melakukan pelanggaran hukum pidana dan perbuatan tercela adalah dengan menggunakan mekanisme hak angket.

Baca juga:

Menyoal Perpu Cipta Kerja

Jika dalam melakukan penyelidikan ini, DPR menemukan bukti keterlibatan Jokowi dalam kasus putusan MK ini, maka tidak serta merta DPR bisa langsung memberhentikan Jokowi sebagai Presiden. DPR harus menyerahkan hasil penyelidikan kepada MK untuk diuji, jika MK menyatakan Presiden terlibat dalam kasus putusan MK ini, maka DPR akan mengundang MPR untuk menggelar sidang guna memberhentikan Presiden.

Persoalannya sekarang ini sebagian hakim MK, yang nanti akan menjadi pengadil jika DPR menyatakan Presiden terlibat dalam perbuata tercela, sedang tidak baik-baik saja. Pertanyaannya realistiskah usulan hak angket di tengah Marwah MK yang sedang babak belur ini ?

*Penulis adalah Dosen Hukum Tata Negara dan Ketua Pusat Kajian Hukum Dan Pembangunan Universitas Negeri Surabaya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *