Polemik Boleh Tidaknya Presiden Berkampanye
Oleh: Hananto Widodo
mediamerahputih.id – Jagad perpolitikan Indonesia kembali terguncang. Keguncangan jagad politik Indonesia tidak terlepas dari pernyataan Presiden Jokowi yang menyatakan bahwa Presiden boleh berkampanye. Dengan demikian karena Presiden boleh kampanye, maka Presiden berkampanye boleh memihak. Statement Jokowi ini tentu langsung menjadi perdebatan di jagad dunia maya dan dunia riil.
Dalam Pasal 299 UU No. 7 Tahun 2017 dinyatakan secara tegas bahwa Presiden dan Wapres boleh berkampanye. Dan ini yang menjadi dasar bagi Jokowi terkait dengan pernyataan dia yang menyatakan bahwa Presiden dan Wapres boleh berkampanye. Meskipun secara normative, Presiden dan Wapres boleh untuk melakukan kampanye, tetapi sebagian kalangan menolak pendapat Jokowi bahwa Presiden boleh berkampanye. Argumentasi mereka, Presiden itu harus berdiri di atas semua golongan, tidak boleh memihak pada salah satu calon legislative atau pasangan calon Presiden dan Wapres.
Baca juga:
Jika Presiden Jokowi melakukan kampanye, maka Presiden dianggap melanggar etika. Memang akhir-akhir ini, istilah etika seakan-akan menjadi kalimat sakti bagi sebagian orang untuk melayangkan kritik terhadap lawan politiknya. Sebenarnya persoalan memanasnya suhu politik jelang pemilu ini diawali dengan lahirnya putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 yang menjadi dasar bagi Gibran Rakabuming Raka sebagai Cawapres dari Capres Prabowo Subianto. Putusan MK ini menjadi polemik berkepanjangan hingga diprosesnya para hakim Konstitusi oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) yang dipimpin oleh Jimly Asshidiqie. MKMK memutuskan bahwa terbukti telah terjadi pelanggaran etik berat yang dilakukan oleh Anwar Usman, hingga Anwar Usman diberhentikan sebagai Ketua MK.
Baca juga:
Dengan terbuktinya pelanggaran etik berat oleh Anwar Usman, sebagian publik berharap agar putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 harusnya dibatalkan. Namun, Ketua MKMK Jimly Asshidiqie menolak untuk membatalkan putusan MK tersebut, karena MKMK tidak berwenang untuk membatalkan putusan tersebut. Meskipun putusan MK ini yang menjadi dasar bagi Gibran menjadi Cawapres dari Prabowo tidak bisa dibatalkan, tetapi sebagian kalangan tetap menganggap kalau putusan MK ini cacat secara moral.
Sejak polemik dari putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 maka istilah etik menjadi sering dilontarkan oleh sebagian kalangan. Sebenarnya ada 2 isu menarik yang bisa kita cermati terkait dengan pernyataan Jokowi ini. Pertama, mengapa Jokowi tiba-tiba melontarkan pernyataan bahwa Presiden boleh berkampanye atau memihak ? Kedua, apakah Jokowi nanti akan melakukan kampanye untuk mendukung salah satu paslon ?
Jika kita runut, sebenarnya pernyataan Jokowi ini tidak bisa dilepaskan dari dinamika yang mengiringi momentum jelang pemilu 2024 ini. Hal ini bisa kita cermati dari pernyataan Jokowi yang cenderung terkesan inkonsisten. Sebab, pada bulan November 2023, Jokowi dengan tegas menyatakan akan netral pada pemilu 2024 ini, tetapi pada bulan Januari ini, justru Jokowi mengatakan bahwa Presiden dan Wapres boleh kampanye dan memihak. Untuk memperkuat pernyataannya ini, Jokowi menunjukkan Pasal dari UU yang menjadi dasar hukum bagi bolehnya Presiden dan Wapres untuk berkampanye dan memihak.
Baca juga:
Paling tidak ada dua hal yang menjadi alasan bagi Jokowi untuk mengeluarkan pernyataan bahwa Presiden dan Wapres boleh berkampanye dan memihak. Pertama, Jokowi ingin menunjukkan bahwa dirinya merupakan warga negara yang taat terhadap aturan. Bahwa anggapan public yang mencurigai Jokowi telah berpihak kepada salah satu paslon bukan merupakan pelanggaran hukum. Meskipun keberpihakan ini tetap ada batas-batasnya, di mana Presiden tidak boleh mengarahkan jajaran pejabat mulai dari pusat hingga daerah untuk memihak salah satu paslon. Presiden juga tidak boleh menggunakan fasilitas negara ketika melakukan kampanye, kecuali pengamanan terhadap Presiden. Kedua, pernyataan Jokowi ini merupakan respon terhadap Gerakan dari sebagian orang yang menghendaki agar Jokowi dimakzulkan sebagai Presiden.
Dalam Pasal 7 A UUD NRI Tahun 1945, paling tidak ada 3 alasan untuk memakzulkan Presiden. Pertama, alasan pelanggaran hukum, seperti korupsi, menerima suap dan melakukan pengkhianatan terhadap negara. Kedua, Alasan moral, yakni Presiden diduga melakukan perbuatan tercela. Ketiga, alasan administratif, yakni Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
Dari ketiga alasan pemakzulan tersebut, alasan moral, yakni dugaan Presiden melakukan perbuatan tercela inilah yang akan dijadikan dasar bagi penggagas pemakzulan terhadap Jokowi ini. Karena memang untuk alasan pelanggaran hukum dan alasan administratif, hampir sulit ditemukan pelanggaran yang dilakukan oleh Jokowi. Mereka menjadikan dugaan cawe-cawe Jokowi terhadap proses pemilu dianggap sebagai perbuatan tercela.
Baca juga:
Oleh karena itu, pernyataan Jokowi bahwa Presiden boleh memihak ini merupakan penegasan dari Jokowi bahwa tuduhan cawe-cawe Jokowi terhadap proses pemilu ini tidak melanggar hukum, sehingga Jokowi tidak bisa dimakzulkan dengan alasan Jokowi dianggap memihak pada salah satu paslon. Memang jika melakukan kampanye secara formal, Presiden tidak bisa disalahkan, tetapi kalau Jokowi secara terang benderang, menggerakkan aparatnya untuk memenangkan salah satu paslon, maka ini bisa masuk dalam kategori perbuatan tercela.
Sementara itu terkait dengan apakah Jokowi akan melakukan kampanye untuk memenangkan paslon 02, maka tentu akan sangat beresiko terhadap elektabilitas paslon 02. Di samping itu, Jokowi ingin mencitrakan dirinya netral dalam proses pemilu ini. Hal ini terbukti bahwa pernyataan Jokowi mengenai bolehnya Presiden dan Wapres boleh berkampanye baru dilontarkan Jokowi hampir di penghujung masa kampanye. Dan jika dilihat pada tim sukses yang kemungkinan besar juga akan menjadi tim kampanye, nama Jokowi tidak ada di salah satu paslon Capres-Cawapres.
Penulis adalah Dosen Hukum Tata Negara Universitas Negeri Surabaya