Scroll untuk baca artikel
Iklan MMI
Iklan MMI
Sudut Opini

Memperdebatkan Sifat Putusan MK

202
×

Memperdebatkan Sifat Putusan MK

Sebarkan artikel ini
memperdebatkan-sifat-putusan-mk
Perdebatan terkait putusan MK No. 60/PUU-XXII/2024 dan putusan MK No. 70/PUU-XXII/2024 tidak kunjung selesai. Padahal DPR telah berketetapan untuk menunda revisi terhadap UU Pilkada I MMP I ist

Memperdebatkan Sifat Putusan MK

Oleh : Hananto Widodo

mediamerahputih.id I Perdebatan terkait putusan MK No. 60/PUU-XXII/2024 dan putusan MK No. 70/PUU-XXII/2024 tidak kunjung selesai. Padahal DPR telah berketetapan untuk menunda revisi terhadap UU Pilkada. Secara politik pernyataan DPR yang tidak akan melakukan revisi dalam waktu dekat terhadap UU Pilkada ini masih belum mendapat kepercayaan sepenuhnya dari publik.

Buktinya hingga hari ini, massa yang terdiri atas mahasiswa, buruh dan massa lainnya masih melakukan demonstrasi dengan tuntutan yang sama, yakni menolak upaya DPR untuk menyimpangi putusan MK. Tentu tuntutan massa demonstran ini merupakan tuntutan yang serius, karena DPR berupaya menyimpangi putusan MK dengan melakukan revisi terhadap UU Pilkada yang isinya bertentangan dengan putusan MK. Padahal secara konstitusional, DPR tidak memiliki kewenangan untuk menolak putusan dari MK. DPR hanya memiliki kewenangan untuk menindaklanjuti putusan dari MK tersebut.

Baca juga:

Antara Putusan MK Dan Revisi UU Pilkada

Ketika putusan MK No. 60 dan 70 ini keluar, memang terdapat beberapa perdebatan terkait dengan sifat dari putusan MK ini. Habiburrakhman bahkan mengatakan bahwa MK telah mengambil alih hak DPR dalam membentuk UU. Memang secara teoritik, MK dalam putusannya tidak boleh menciptakan norma baru (positive legislator). MK hanya memiliki kewenangan untuk menyatakan bahwa Pasal dalam UU ini bertentangan dengan UUD. Dengan demikian kewenangan MK hanya sebatas negative legislator.

memperdebatkan-sifat-putusan-mk
Secara tak terduga, Baleg mempercepat pembahasannya setelah Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan terkait uji materi Pasal 40 UU Pilkada yang mengatur ambang batas pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah, serta Pasal 7 ayat 2 huruf e UU Pilkada yang menyangkut batas usia minimal calon gubernur dan wakil gubernur I MMP I tmp I dok

Namun dalam praktiknya memang MK telah beberapa kali melakukan penciptaan norma baru (positive legislator). Tentu, penciptaan norma baru yang dilakukan oleh MK ini harus sesuai dengan nilai-nilai keadilan dan harus sesuai dengan kaidah logika hukum yang benar. Penentuan threshold untuk pencalonan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dalam putusan MK No. 60 memang merupakan bentuk penciptaan norma baru, yang seharusnya merupakan kewenangan dari pembentuk UU.

Baca juga:

Menanggapi Reshuffle Di Ujung Masa Jabatan

Ketika MK menciptakan norma baru, sebagaimana dalam putusan MK No. 60 ini, tentu didasarkan pada alasan keadilan. Sebagaimana kita ketahui, kelonggaran threshold  yang diputus MK dalam putusan No. 60 ini karena ada pelanggaran terhadap prinsip keadilan. Karena terdapat perbedaan syarat threshold antara Pasangan Calon Perseorangan dan Pasangan Calon yang diusung oleh parpol.

Dalam pasangan calon perseorangan, syarat untuk bisa maju sebagai pasangan calon perseorangan dapat dikatakan lebih mudah dibandingkan syarat untuk maju sebagai pasangan calon melalui parpol. Di samping itu, dalam putusan MK ini parpol yang tidak memiliki kursi di DPRD dapat menjadi parpol pengusung. Hal ini sesuai dengan prinsip demokrasi, di mana suara sekecil apapun yang diperoleh oleh parpol tetap dihargai dengan diberi hak untuk mengusung pasangan calon secara bersama-sama dengan parpol lainnya hingga mencapai ambang batas pencalonan.

Baca juga:

Politisasi RUU MK

Lalu bagaimana dengan putusan MK No. 70 ? Isu terkait putusan MK ini seputar apakah perlu putusan MK ini ditindaklanjuti dengan cara melakukan revisi terhadap PKPU yang baru saja direvisi untuk menindaklanjuti putusan MA No. 23P/HUM/2024 yang memutuskan bahwa batas usia pasangan Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah itu dihitung sejak pelantikan pasangan terpilih.

MK memutuskan bahwa tafsir yang benar adalah batas usia pasangan Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah terhitung sejak ditetapkan sebagai pasangan calon. Tafsir MK ini sesuai dengan rumusan dalam PKPU No. 9 Tahun 2020 sebelum diubah oleh KPU untuk menindaklanjuti putusan MA No. 23P/HUM/2024. Artinya KPU harus mengembalikan rumusannya sesuai dengan syarat usia sebagaimana diatur dalam PKPU No. 9 Tahun 2024.

Baca juga:

Apakah Putusan MK terkait PHPU Presiden 2024 bercorak konservatif?

Perdebatan terkait apakah harus direvisi dan disesuaikan dengan putusan MK ini, karena tahapan pendaftaran pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah akan dibuka pada tanggal 27 Agustus 2024. Oleh karena itu, tentu ada kekhawatiran dari publik, kalau revisi terhadap PKPU ini akan mengalami ketidaklancaran. Karena PKPU ini harus dikonsultasikan pada Komisi II DPR RI dan Pemerintah. Kekhawatirannya adalah Komisi II DPR RI akan melakukan hambatan terhadap revisi PKPU ini.

Seharusnya tidak perlu ada kekhawatiran, karena pengajuan revisi PKPU terhadap Komisi II DPR RI dan Pemerintah sifatnya hanya konsultasi. Karena sifatnya hanya konsultasi, maka tidak akan memberikan akibat apapun terhadap PKPU yang dikonsultasikan tersebut. Komisi II DPR RI dan Pemerintah hanya memberikan saran kepada KPU. Apakah saran tersebut akan dipakai atau tidak oleh KPU, itu semua akan tergantung sepenuhnya pada KPU.

Baca juga:

Memahami Peran Amicus Curiae

Makna konsultasi sangat berbeda dengan makna persetujuan. Jika PKPU itu harus mendapat persetujuan dari Komisi II DPR RI, maka DPR terikat terhadap semua masukan dari DPR. Namun, PKPU itu bukan UU yang harus mendapat persetujuan dari DPR, sehingga PKPU ini merupakan kewenangan penuh dari KPU. Keharusan untuk melakukan konsultasi hanya bersifat administratif semata.

Namun bagaimanapun juga, putusan MK ini bersifat final dan mengikat. Oleh karena itu, putusan MK ini bisa menjadi dasar hukum bagi KPU untuk menentukan sikap ketika Kaesang Pangarep mendaftarkan dirinya sebagai Calon Gubernur atau Wakil Gubernur. Apabila KPU nanti menetapkan bahwa Kaesang Pangarep tidak memenuhi syarat (TMS), maka Kaesang masih dapat untuk melakukan upaya hukum untuk membatalkan Keputusan dari KPU itu.

Baca juga:

Mempersoalkan Hukum Acara Mahkamah Konstitusi

Mekanisme terhadap seseorang yang ditetapkan TMS oleh KPU, yakni melakukan upaya administrasi melalui Bawaslu dan Bawaslu akan memrosesnya dalam waktu 3 hari. Jika Bawaslu menguatkan Keputusan KPU, maka yang bersangkutan dapat mengajukan banding ke Peradilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN). Mekanisme ini dalam konsep sengketa Pilkada disebut sebagai sengketa proses.

Namun, jika merujuk pada pertimbangan hakim dalam putusan No. 70, jika Kaesang nanti berhasil menang dalam proses sengketa proses ini dan KPU mengubah statusnya dari TMS menjadi memenuhi syarat (MS), ini tetap tidak menyelesaikan masalah. Karena kalau nanti Kaesang menang dalam kontestasi, dan kemudian status dia digugat dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah ke MK, maka MK akan langsung menyatakan tidak sah dan mendiskualifikasi Kaesang. Inilah yang akan menjadi dilemma bagi Kaesang dalam perhelatan Pilkada tahun ini.

Penulis adalah Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Negeri Surabaya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *