Menanggapi Reshuffle Di Ujung Masa Jabatan
Oleh : Hananto Widodo
mediamerahputih.id – Langkah Jokowi melakukan reshuffle di ujung masa jabatannya tentu memicu pertanyaan dari publik. Karena ini bukan merupakan sesuatu yang biasa. Presiden yang pernah melakukan perombakan cabinet di ujung masa kekuasaan, selain Jokowi adalah Soeharto. Soeharto pernah akan melakukan perombakan cabinet di ujung masa jabatan, ketika Soeharto mendapat tekanan public untuk mundur dari jabatannya sebagai Presiden di tahun 1998.
Soeharto pada waktu itu gagal untuk melakukan perombakan cabinet, tetapi justru banyak Menteri pada waktu itu mundur dari jabatannya, sehingga Soeharto tidak jadi melakukan perombakan cabinet. Sedangkan Jokowi merombak cabinet di penghujung masa jabatannya yang hanya tinggal dua bulan saja. Oleh karena itu, pertanyaan yang muncul dari public apakah Menteri yang diangkat dan hanya memiliki waktu dua bulan saja untuk bekerja dapat bekerja sesuai dengan harapan Jokowi ?
Baca juga:
Mencermati Putusan Nomor 604/G/2023/PTUN.JKT terkait Anwar Usman
Secara konstitusional, reshuffle cabinet merupakan hak preogratif Presiden. Pasal 17 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan “Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.” Dengan demikian, Presiden berhak untuk melakukan pemberhentian terhadap Menteri dan menggantinya dengan orang yang baru, tatkala Presiden menilai kalau kinerja Menteri yang bersangkutan di bawah standar.
Hak preogratif Presiden terkait pengangkatan dan pemberhentian Menteri dapat berjalan secara normal dan tidak mengundang perdebatan public, jika sistem pemerintahan yang kita anut adalah sistem presidensiil dengan sistem dwi partai. Oleh karena itu, jika terjadi perombakan cabinet, maka dapat dipastikan yang akan menggantikan Menteri yang diberhentikan berasal dari parpol yang sama, karena parpol lainnya akan memilih jalan sebagai oposisi. Dengan demikian, negara yang menganut sistem presidensiil dengan sistem dwi partai dapat dikatakan dinamika politik yang mengiringi hak preogratif Presiden dalam melakukan perombakan cabinet tidak begitu nampak.
Baca juga:
Berbeda dengan negara yang menganut sistem presidensiil dengan dua parpol yang cenderung lebih stabil secara politik, pada negara yang menganut sistem presidensiil dengan kombinasi multipartai tentu pengangkatan dan pemberhentian Menteri tidak sesederhana dengan negara yang menganut dwi partai. Pada negara dengan sistem presidensiil dengan kombinasi multipartai, tentu Presiden tidak dapat menggunakan hak preogratifnya dalam melakukan perombakan cabinet secara mandiri. Presiden ketika melakukan pemberhentian terhadap Menteri, tentu harus meminta “persetujuan”, kepada parpol pendukung yang mengusulkannya.
Presiden dalam melakukan pemberhentian Menteri tentu harus didasarkan pada alasan yang kuat, seperti Menteri yang bersangkutan terjerat kasus korupsi atau Menteri tersebut harus benar-benar tidak mampu mencapai target yang ditetapkan oleh Presiden. Meskipun ada alasan yang sangat kuat untuk memberhentikan Menteri, tetapi biasanya Menteri pengganti akan berasal dari parpol yang sama. Presiden tentu tidak berani mengambil resiko jika Presiden melakukan pemberhentian Menteri secara serampangan.
Baca juga:
Kita tentu ingat dengan konflik antara Presiden Gus Dur dan DPR pada waktu itu. Konflik yang terjadi pada awalnya disebabkan Gus Dur melakukan pemberhentian terhadap Laksamana Sukardi dari PDIP dan Jusuf Kalla dari Golkar sebagai Menteri di kabinetnya. Pointnya adalah karena Gus Dur didukung oleh Golkar dan PDIP, maka ketika Gus Dur melakukan pemberhentian terhadap Menteri, maka Gus Dur harus meminta “persetujuan,” kepada Golkar dan PDIP.
Yang menarik Jokowi kali ini dalam melakukan pemberhentian terhadap Menteri PDIP dan menggantinya dengan kader dari parpol lain, tidak meminta persetujuan kepada PDIP. Bukan hanya tidak meminta persetujuan, tetapi Jokowi juga tidak menjalin komunikasi dengan PDIP sebagai parpol pengusung utamanya akhir-akhir ini. Publik tentu akan menebak bahwa pencopotan kader PDIP sebagai Menteri di cabinet Jokowi disebabkan karena kurang harmonisnya hubungan antara Jokowi dan PDIP.
Baca juga:
Tebakan dari public ini memang masuk akal, tetapi ada pertanyaan susulan dari public, kenapa pemberhentian terhadap beberapa kader PDIP ini baru dilakukan pada penghujung masa jabatan Jokowi ? Kenapa tidak dilakukan oleh Jokowi sekitar 6 bulan yang lalu ? Kita semua tentu paham, bahwa ketidakharmonisan hubungan antara Jokowi dan PDIP dimulai ketika Gibran Rakabuming Raka ditetapkan sebagai Cawapres dari Capres Prabowo Subianto.
Jokowi dianggap tidak sejalan dengan PDIP, karena PDIP pada waktu itu mengusung kadernya Ganjar Pranowo sebagai Capres. Seharusnya pada waktu itu, Jokowi segera melakukan perombakan terhadap kabinetnya, khususnya terhadap kader PDIP. Ada beberapa kemungkinan kenapa Jokowi baru memberhentikan kader PDIP di ujung masa jabatannya, meskipun Jokowi masih menyisakan kader PDIP di kabinetnya, antara lain adalah Tri Rismaharini.
Baca juga:
Pertama, ketika terjadi disharmoni hubungan antara Jokowi dan PDIP ketika Gibran ditetapkan sebagai Cawapres Prabowo, Jokowi masih berusaha untuk memperbaiki hubungan dengan PDIP sebagai parpol pengusung utamanya. Namun, upaya Jokowi untuk memperbaiki hubungan dengan PDIP kemungkinan mengalami penolakan dari PDIP, sehingga baru pada dua bulan menjelang akhir jabatannya, Jokowi melakukan pencopotan terhadap Menteri yang berasal dari kader PDIP. Kedua, bagaimanapun pengganti dari kader PDIP di Kabinet Jokowi sekarang ini adalah kader yang merupakan bagian dari pemerintahan Prabowo-Gibran mendatang, sehingga Menteri yang diangkat menggantikan kader PDIP ini merupakan bagian dari pemerintahannya.
Baca juga:
Semenjak Prabowo-Gibran maju sebagai Capres-Cawapres, jargon yang diusung oleh mereka adalah melanjutkan program dari Jokowi. Oleh karena itu, tidak menjadi masalah serius ketika waktu yang tersisa hanya dua bulan bagi Menteri yang baru saja diangkat untuk bekerja. Karena Menteri yang baru diangkat ini juga akan menjadi bagian dari pemerintahan Prabowo-Gibran. Dengan demikian, ada kemungkinan Menteri yang baru saja diangkat ini akan menjadi Menteri pada pemerintahan Prabowo-Gibran.
Penulis adalah Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Negeri Surabaya