Scroll untuk baca artikel
Iklan MMI
Iklan MMI
Sudut OpiniBerita TerbaruPolitik

Antara Putusan MK Dan Revisi UU Pilkada

224
×

Antara Putusan MK Dan Revisi UU Pilkada

Sebarkan artikel ini
antara-putusan-mk-dan-revisi-uu-pilkada
Delapan fraksi di Badan Legislasi (Baleg) DPR RI menyepakati hasil pembahasan perubahan keempat UU Pilkada pada Rabu (21/08) malam. Namun, Fraksi PDI Perjuangan di Baleg menjadi satu-satunya yang menolak hasil pembahasan revisi UU Pilkada tersebut. Kedelapan fraksi yang mendukung memiliki pandangan yang sama, yaitu agar revisi UU Pilkada segera dibawa ke pembahasan tingkat II atau disahkan dalam rapat paripurna DPR. Fraksi-fraksi tersebut antara lain Partai Gerindra, Partai Golkar, Partai Amanat Nasional, Partai Demokrat, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Keadilan Sejahtera, dan Partai Persatuan Pembangunan. I MMP I tmp / ist

Antara Putusan MK Dan Revisi UU Pilkada

Oleh : Hananto Widodo

mediamerahputih.id – Revisi UU Pilkada yang tidak mengikuti arahan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dapat menyulitkan penyelenggaraan Pilkada serentak 2024. Hal ini disebabkan oleh potensi gugatan terhadap proses pencalonan kepala daerah yang tidak sesuai dengan putusan MK, yang kemudian bisa diajukan melalui sengketa perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU).

Baru saja publik mendapat secercah harapan dengan lahirnya putusan MK No. 60/PUU-XXII/2024 dan putusan MK No. 70/PUU-XXII/2024 yang cukup progresif, publik dikejutkan dengan langkah politisi yang ada di DPR yang secara kasat mata berniat untuk mengakali putusan MK yang progresif ini. Kedua putusan ini dapat dikatakan cukup progresif disebabkan dua hal. Pertama, MK mengakomodasi kepentingan publik dan parpol medioker terkait dengan syarat ambang batas pengajuan Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (threshold). Sebagaimana ditegaskan dalam putusan MK No. 60, MK telah menurunkan prosentasi syarat bagi parpol untuk mengajukan Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dari yang 25% menjadi sesuai dengan rasio jumlah penduduk.

Baca juga:

Menanggapi Reshuffle Di Ujung Masa Jabatan

Untuk wilayah provinsi threshold antara 6.5 % sampai dengan 10% tergantung pada jumlah penduduknya. Sedangkan untuk kabupaten/kota threshold antara 6.5% sampai dengan 10% juga tergantung jumlah penduduknya. Di samping itu dalam putusan MK ini syarat bahwa hanya parpol yang memperoleh kursi di DPRD dihapus.

antara-putusan-mk-dan-revisi-uu-pilkada
Secara tak terduga, Baleg mempercepat pembahasannya setelah Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan terkait uji materi Pasal 40 UU Pilkada yang mengatur ambang batas pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah, serta Pasal 7 ayat 2 huruf e UU Pilkada yang menyangkut batas usia minimal calon gubernur dan wakil gubernur I MMP I tmp I dok

Tentu putusan ini merupakan putusan yang patut diapresiasi oleh kita semua, karena putusan ini telah menguatkan prinsip demokrasi sesuai dengan Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan “Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai Kepala Pemerintahan Daerah dipilih secara demokratis. Dengan menghargai suara parpol yang tidak lolos parlemen untuk dapat mengusung pasangan Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, maka sama dengan menghargai suara yang diberikan rakyat kepada parpol.

Baca juga:

Mencermati Putusan Nomor 604/G/2023/PTUN.JKT terkait Anwar Usman

Kedua, terkair dengan putusan MK No. 70. Putusan MK No. 70 ini juga dianggap cukup progresif, karena putusan ini dianggap “menganulir” putusan MA yang memutus terkait batas usia Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang sebelumnya adalah berusia 30 tahun terhitung sejak pelantikan menjadi berusia 30 tahun terhitung sejak ditetapkan sebagai pasangan calon. Frasa “terhitung sejak pelantikan pasangan terpilih,” secara nalar hukum dapat dikatakan tidak masuk akal, karena ketika pasangan sudah dilantik maka mereka bukan lagi dianggap sebagai pasangan calon, tetapi pasangan calon terpilih.

Kedua putusan MK ini langsung memantik reaksi dari Badan Legislasi (Baleg) DPR RI untuk merevisi UU Pilkada sebagai tindak lanjut dari putusan MK. Pertanyaannya apakah Langkah dari Baleg ini salah ? Lalu kenapa Langkah dari Baleg ini memantik reaksi keras dari publik ?

Baca juga:

Permintaan Maaf Jokowi

Secara konstitusional, yang berwenang atau yang wajib menindaklanjuti putusan MK memang DPR bukan KPU. Karena yang diuji oleh MK adalah UU bukan PKPU, sehingga ketika ada UU yang dibatalkan oleh MK, maka yang berwenang untuk menindaklanjuti putusan MK adalah DPR atau Presiden, tergantung UU yang dibatalkan MK ini merupakan inisiatif dari DPR atau Presiden. Jika UU yang dibatalkan ini merupakan UU inisiatif DPR, maka DPR yang wajib untuk menindaklanjuti. Jika UU yang dibatalkan ini merupakan UU inisiatif Presiden, maka Presiden yang wajib untuk menindaklanjuti.

Selama ini memang ada beberapa putusan MK yang ditindaklanjuti bukan oleh pembentuk UU, tetapi oleh lembaga lainnya, karena putusan ini membutuhkan tindaklanjut yang cepat, sedang proses pembentukan UU ini membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Kita tentu ingat dengan putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 yang kontroversi, karena dianggap memberikan tiket bagi Gibran Rakabuming Raka sebagai Cawapres mendampingi Prabowo Subianto. Pada waktu itu yang menindaklanjuti putusan MK ini bukan DPR dan Presiden, tetapi KPU dengan melakukan revisi terhadap KPU.

Baca juga:

Revisi UU Wantimpres Menumpulkan Demokrasi

Yang memantik reaksi negative public terkait dengan revisi UU Pilkada adalah justru Baleg DPR telah bersepakat untuk mengabaikan putusan MK No. 70 dan malah memilih untuk mengikuti putusan MA terkait dengan batas usia Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, yakni menggunakan frasa “terhitung sejak pelantikan pasangan terpilih,” bukan menggunakan frasa “sejak ditetapkan sebagai pasangan Calon.”

Putusan MA terkait batas usia Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah merupakan hasil dari pengujian terhadap PKPU yang dianggap bertentangan dengan UU Pilkada. Oleh karena itu, harusnya DPR tidak memilih frasa yang telah diputuskan oleh MA, tetapi harusnya DPR memilih frasa yang telah diputuskan oleh MK. Karena MK menguji UU, sehingga jika ada Pasal yang telah diputus oleh MK, maka pembentuk UU harus terikat dengan putusan MK bukan putusan MA.

Baca juga:

Menyoal Penjabat Kepala Daerah Yang Akan Maju Pilkada

Sementara itu untuk putusan MK No. 60, Baleg DPR berusaha untuk memilah antara parpol parlemen dan non parlemen. Untuk parpol parlemen, maka threshold tetap 20%, sedangkan parpol non parlemen, threshold sesuai dengan putusan MK. Ini jelas bertentangan dengan putusan MK dan merupakan kemunduran demokrasi. Kenapa dikatakan sebagai kemunduran demokrasi ? Karena dalam praktik ketatanegaraan, tepatnya praktik Pilkada kita pernah mengalami Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang diusung oleh parpol parlemen dan parpol non parlemen sekaligus.

Pada tahun 2013 Pilkada Jawa Timur, yang mengusung Pak De Karwo sebagai Calon Gubernur adalah parpol parlemen dan 22 parpol non parlemen. Sedangkan Khofifah hanya didukung oleh PKB sebagai parpol parlemen dan 5 parpol non parlemen. Jika terdapat pemilahan antara parpol parlemen dan parpol non parlemen, maka dapat dipastikan akan terjadi kemunduran demokrasi dalam penyelenggaraan Pilkada.

Baca juga:

Politisasi RUU MK

Baik putusan MK No. 60 maupun putusan MK No. 70 sama-sama dianggap mengganggu kepentingan elite politik yang sekarang sedang dijalankan, yakni agar Calon Tunggal itu marak di mana-mana, sehingga elite politik dapat memenangkan kontestasi dengan mudah. Kepentingan ini terganjal dengan lahirnya putusan MK No. 60, karena dengan melonggarkan threshold, maka potensi Calon Tunggal menjadi mengecil. Kepentingan elite politik lainnya adalah agar Kaesang Pangarep bisa maju sebagai Calon Gubernur atau Wakil Gubernur. Kepentingan ini terganjal dengan lahirnya putusan MK No. 70. Jadi, public langsung tahu arah dari kepentingan dari revisi UU Pilkada ini.

Penulis adalah Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Negeri Surabaya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *