Politisasi RUU MK
Oleh : Hananto Widodo
mediamerahputih.id I Pemerintah dan DPR seolah tak pernah berhenti membahas UU yang menuai kontroversi publik. Salah satu yang terbaru yakni Rancangan Undang-Undang Perubahaan pada Mahkamah Konstitusi atau RUU MK. Politisasi RUU MK membawa risiko signifikan terhadap independensi, integritas, dan efektivitas Mahkamah Konstitusi. Hal ini dapat mengurangi kepercayaan publik terhadap lembaga yudisial, mengganggu stabilitas demokrasi, dan membuka peluang penyalahgunaan kekuasaan.
Oleh karena itu, penting untuk memastikan bahwa proses penyusunan dan pengesahan RUU MK dilakukan dengan transparansi dan mengutamakan prinsip-prinsip demokrasi serta supremasi hukum, agar MK dapat menjalankan fungsinya secara optimal dan bebas dari pengaruh politik yang merusak.
Baca juga:
Konstitusi dibentuk tak lain dan tak bukan adalah untuk melakukan pembatasan terhadap kekuasaan baik itu kekuasaan Presiden, DPR dan yudisial. Namun karena dalam sistem presidensiil yang merupakan sistem pemerintahan yang dianut oleh Indonesia, maka yang menjadi titik tekan pembatasan kekuasaan adalah kekuasaan Presiden. Dengan demikian, terhadap kekuasaan Presiden harus senantiasa dilakukan pengawasan.
Pengawasan bisa melalui lembaga politik, yakni DPR melalui pengawasan politiknya baik melalui hak interpelasi, hak angket dan hak menyatakan pendapat. Sementara itu, pengawasan secara hukum dilakukan oleh lembaga peradilan melalui mekanisme permohonan dan gugatan oleh pihak yang dirugikan. Jika bicara mengenai pengawasan politik, maka sifat dari pengawasan politik itu kurang bisa mencerminkan efektivitas dan kepastian hukum.
Baca juga:
Mengapa demikian ? karena parameter dari pengawasan politik yang utama adalah politik bukan hukum. Hukum hanya menjadi dasar hukum bagi DPR untuk melakukan pengawasan politik terhadap Presiden. Sedangkan pertimbangan untuk melakukan atau tidak melakukan pengawasan sepenuhnya tergantung pada pertimbangan politik DPR.
Pertimbangan politik di DPR akan sangat tergantung pada konfigurasi politik di DPR, apakah komposisinya banyak yang menjadi pendukung Presiden atau menjadi oposisi Presiden. Jika sebagian besar anggota DPR adalah pendukung Presiden, maka tidak mungkin pengawasan politik akan dilakukan oleh DPR. Oleh karena itu dibutuhkan lembaga peradilan untuk mengawasi kinerja dari Presiden dan lembaga lainnya.
Baca juga:
Pengawasan oleh peradilan baik melalui mekanisme permohonan atau gugatan ini lebih dapat diharapkan aspek kepastian hukumnya ketimbang pengawasan politik oleh DPR. Karena lembaga peradilan dalam menangani masalah, khususnya sengketa “dipagari” oleh hukum acara sehingga secara mekanisme penyelesaian di pengadilan akan lebih on the track. Namun demikian, setiap penguasa akan berusaha untuk “mengamankan” kekuasaannya dengan cara apapun.
Begitu juga dengan persoalan lembaga pengadilan. Presiden dan DPR akan berusaha untuk melakukan intervensi terhadap lembaga pengadilan agar lembaga pengadilan ini tidak “mengganggu” mereka. Oleh karena itu, kecurigaan publik terkait dengan rencana revisi UU MK adalah untuk membonsai kewenangan MK merupakan sesuatu yang dapat dimaklumi. Kecurigaan public tentu bukannya tanpa dasar. Paling tidak ada dua catatan terkait dengan revisi UU MK ini.
Baca juga:
Pertama, terkait dengan aspek prosedur. Revisi UU MK ini dilakukan oleh DPR ketika DPR sedang pada masa reses dan revisi UU MK ini dilakukan secara diam-diam. Bagaimanapun melakukan revisi UU secara diam-diam merupakan tindakan yang tidak dapat dibenarkan. Dalam UU No. 13 Tahun 2022 tentang perubahan ketiga dari UU No. 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan (P3) secara tegas menyatakan kalau setiap pembentukan UU harus melibatkan partisipasi masyarakat.
Bagaimana ada pelibatan partisipasi masyarakat, jika revisi terhadap UU MK ini dilakukan secara diam-diam. Ketika terjadi revisi UU yang dilakukan oleh DPR, maka public akan curiga bahwa ada sesuatu yang ingin disembunyikan dari masyarakat oleh DPR. Dan ini merupakan tindakan yang tidak benar, karena UU merupakan produk kebijakan dari DPR dan Presiden yang akan mengikat masyarakat, sehingga masyarakat berhak tahu terkait substansi apa yang akan direvisi oleh DPR.
Baca juga:
Kedua, terkait dengan substansi. Isu yang paling mencuat terkait dengan substansi adalah terkait dengan masalah rekonfirmasi jika hakim konstitusi telah melakukan tugasnya selama 5 tahun. Ketika hakim konstitusi telah menjalani jabatannya selama 5 tahun, maka hakim konstitusi harus mendapatkan persetujuan dari lembaga pengusul, apakah dia bisa menjabat lagi sebagai hakim konstitusi dalam 5 tahun ke depan. Jika lembaga pengusul menolak untuk menyetujui rekonfirmasi terhadap hakim konstitusi ini, maka hakim konstitusi ini tidak bisa menjadi hakim konstitusi pada periode berikutnya.
Mekanisme rekonfirmasi ini, tentu merupakan bentuk intervensi lembaga pengusul, khususnya hakim konstitusi yang lembaga pengusulnya adalah DPR dan Presiden. Jika harus melakukan rekonfirmasi ke DPR dan Presiden, maka ini akan mengganggu independensi dari hakim konstitusi. Sekali lagi, karena DPR dan Presiden ini merupakan lembaga politik, maka pertimbangan yang akan dilakukan oleh kedua lembaga itu adalah pertimbangan politik.
Baca juga:
Kita tentu ingat dengan peristiwa pemberhentian secara sepihak hakim konstitusi Aswanto yang kemudian digantikan oleh Guntur Hamzah. DPR secara terang-terangan mengemukakan alasan pemberhentian Aswanto sebagai hakim konstitusi. DPR menganggap kalau Aswanto ini kerap melakukan tindakan yang tidak menguntungkan DPR dengan melakukan dissenting opinion terhadap pengujian UU, di mana permohonan terhadap UU ditolak oleh MK. Artinya Aswanto dituding kerap menghendaki agar UU yang diuji dibatalkan oleh MK dan ini tentu sangat mengganggu DPR.
Oleh karena itu, mekanisme rekonfirmasi ini adalah untuk membangun legalitas agar hakim konstitusi yang dianggap tidak menguntungkan bagi DPR dan Presiden dapat di “Aswantokan.” Ini tentu merupakan sesuatu yang tidak bisa dibiarkan, karena ini akan sangat mengganggu independensi dan imparsialitas dari para hakim konstitusi. Hakim konstitusi tentu akan dibayangi oleh kecemasan dalam melakukan tugasnya sebagai hakim yang seharusnya independent dan imparsial.
Baca juga:
Pertanyaannya apakah revisi UU MK ini diperlukan ? Jawabannya adalah perlu, tetapi dengan tujuan untuk memperkuat independensi dan imparsialitas hakim konstitusi. Seperti memasukkan larangan bagi hakim konstitusi yang terikat hubungan persaudaraan dengan pihak yang berperkara baik langsung atau tidak langsung untuk menangani perkara yang terkait dengan pihak yang masih terikat saudara atau yang memiliki hubungan darah dengan hakim konstitusi. Hal ini perlu diatur agar kasus putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 yang meloloskan Gibran Rakabuming Raka sebagai Cawapres karena ada hubungan persaudaraan antara Gibran dan Anwar Usman tidak terulang lagi.
Penulis adalah Dosen Hukum Tata Negara Program Studi Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Negeri Surabaya