Putusan MA Yang Non Executable
Oleh : Hananto Widodo
mediamerahputih.id I Putusan MA No. 23 P/HUM/2024 yang kontroversial dan kemungkinan akan menjadi landasan bagi Kaesang untuk maju dalam Pemilihan Kepala Daerah serentak pada tahun 2024 ini, sampai saat ini terus menuai masalah. Mengapa terus menuai masalah ? karena bagaimanapun juga putusan ini tidak hanya dianggap tidak berkeadilan, tetapi putusan ini juga memiliki problematic pada wilayah eksekutorial.
Bagaimanapun juga suatu putusan pengadilan di level mana pun pasti harus bisa dilaksanakan. Begitu putusan itu dibacakan, maka putusan ini akan mengikat bagi pihak yang berperkara (inter partes) atau mengikat secara umum (erga omnes), tergantung pada sengketa apa yang di tangani oleh peradilan. Jika peradilan itu menangani sengketa privat, maka putusannya hanya mengikat para pihak, tetapi jika pengadilan itu menangani sengketa public, maka putusannya tidak hanya mengikat pihak yang berperkara, tetapi juga mengikat secara umum.
Baca juga:
Putusan MA No. 23 P/HUM/2024 merupakan hasil putusan yang menangani sengketa public, di mana putusan itu mengikat secara erga omnes. Pertanyaannya apakah putusan itu bisa memaksa pejabat selain KPU untuk melaksanakan putusan MA tersebut ? Sebagaimana diketahui putusan MA ini telah mengubah isi dari Pasal 4 ayat (1) huruf d PKPU No. 9 Tahun 2024. Pasal 4 ayat (1) huruf d PKPU ini menyatakan “Warga Negara Indonesia dapat menjadi Calon Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota dengan memenuhi persyaratan, berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk Calon Gubernur dan Wakil Gubernur dan 25 (dua puluh lima) tahun untuk Calon Bupati dan Wakil Bupati atau Calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota terhitung sejak penetapan Pasangan Calon.”
Baca juga:
Apakah Putusan MK terkait PHPU Presiden 2024 bercorak konservatif?
MA lalu mengubah frasa terakhir dari Pasal 4 ayat (1) huruf d PKPU yakni “terhitung sejak penetapan Pasangan Calon menjadi.”… “terhitung sejak pelantikan pasangan calon terpilih” Pertanyaannya siapa yang akan melantik pasangan calon terpilih ? Kalau yang menetapkan pasangan calon terpilih pasti adalah KPU sesuai dengan tingkatan Kepala Daerahnya. Jika Gubernur dan Wakil Gubernur, maka yang menetapkan adalah KPU Provinsi, sedangkan jika Bupati, Wakil Bupati dan Walikota dan Wakil Walikota yang menetapkan adalah KPU Kabupaten dan KPU Kota.
Pertanyaannya apakah KPU juga akan melantik Pasangan Kepala Calon terpilih baik itu Gubernur, Wakil Gubernur atau Bupati, Wakil Bupati dan Walikota, Wakil Walikota ? Jawabannya tentu bukan. Yang berwenang untuk melantik pasangan gubernur dan wakil gubernur adalah Presiden, sedangkan yang berwenang untuk melantik pasangan bupati dan wakil bupati serta pasangan walikota dan wakil walikota adalah Menteri Dalam Negeri.
Baca juga:
Oleh karena itu jika kita baca putusan MA ini yang telah mengubah frasa “terhitung sejak ditetapkan sebagai pasangan calon,” menjadi “terhitung sejak dilantik sebagai pasangan calon terpilih,” maka putusan ini secara tidak langsung “memaksa” KPU untuk melakukan perubahan terhadap Pasal 4 ayat (1) huruf d. Implikasinya tentu PKPU itu mengatur sesuatu yang di luar materi muatannya.
Dalam Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 mengatur mengenai hierarkhi peraturan perundang-undangan. Mulai UUD NRI Tahun 1945, TAP MPR, UU/Perppu, PP, Perpres, Perda Provinsi, Perda Kabupaten/Kota. Memang dalam Pasal 7 ayat (1) ini tidak menyebut secara tegas Peraturan KPU (PKPU) sebagai bagian dari peraturan perundang-undangan. Namun, Pasal 8 ayat (1) dan (2) UU ini menyatakan bahwa peraturan perundang-undangan di luar peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud Pasal 7 ayat (1) tetap mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.
Baca juga:
Oleh karena itu, materi muatan dari PKPU akan dibatasi oleh kewenangan dari KPU dan pada perintah dari peraturan perundang-undangan di atasnya. Jika tidak ada perintah dari peraturan perundang-undangan, dalam hal ini UU pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), yakni UU No. 10 Tahun 2016 maka KPU bisa mengatur lebih lanjut materi dari UU yang menurut KPU perlu diperjelas, sehingga kepastian hukum dalam proses pemilihan kepala daerah menjadi lebih jelas.
Kewenangan KPU dalam mengatur materi muatan berdasarkan kewenangan atributif yang melekat pada KPU tentu tidak boleh sembarangan. Dalam hukum administrasi paling tidak ada 3 batasan penggunaan kewenangan, yakni materi, tempat dan waktu. Materi berbicara mengenai bahwa kewenangan yang digunakan sesuai dengan bidang tugasnya. Misalnya jika KPU akan membentuk PKPU, maka PKPU hanya dapat mengatur materi seputar pemilu, pilkada serta materi kewenangan dari KPU. KPU tidak boleh mengatur yang bukan menjadi kewenangannya, seperti mengatur materi terkait dengan pelantikan pasangan calon terpilih.
Baca juga:
Dengan demikian, putusan MA No. 23 P/HUM/2024 merupakan putusan yang non executable. Artinya KPU tidak bisa menindaklanjuti putusan MA ini dengan mengubah rumusan Pasal 4 ayat (1) huruf d PKPU No. 9 Tahun 2024. Karena jika KPU tetap mengubah rumusan Pasal 4 ayat (1) huruf d sesuai dengan putusan MA, maka KPU telah melakukan tindakan yang melampaui wewenangnya. Putusan MA tentang hak uji materiil ini sama dengan putusan MK tentang pengujian undang-undang, yakni bersifat final dan mengikat. Artinya putusan MA No. 23 P/HUM/2024 tidak dapat dilakukan Upaya hukum lagi.
Baca juga:
Namun, dalam praktik di MA, putusan MA meskipun bersifat final dan mengikat bisa dilakukan Upaya hukum luar biasa, berupa Peninjauan Kembali. Praktik ini pernah terjadi pada putusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat tentang Sengketa Pilkada Depok yang dianggap kontroversial pada waktu itu. UU No. 32 tahun 2004 menyatakan kalau putusan Pengadilan Tinggi tentang sengketa Pilkada bersifat final dan mengikat.
Tetapi pada waktu itu Noor Mahmudi Ismail yang menjadi pihak yang dirugikan oleh putusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat mengajukan Peninjauan Kembali (PK) dan permohonan PK tersebut dikabulkan oleh MA. Oleh karena itu, KPU bisa mengajukan permohonan PK dengan alasan kelalaian hakim dan alasan bahwa putusan MA ini non executable.
Penulis adalah Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Negeri Surabaya