Keanehan Berpikir PDIP
Oleh : Hananto Widodo
mediamerahputih.id I Ada hal yang menarik dari gugatan PDIP ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) terkait dengan Keputusan KPU yang menetapkan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka sebagai Capres dan Cawapres. Letak menariknya dari gugatan PDIP terkait dengan perubahan terhadap petitum atau tuntutan yang diajukan ke PTUN. Apa yang diubah oleh PDIP terkait dengan petitumnya? Adakah keanehan berpikir, pada awalnya PDIP ingin agar sebelum KPU menetapkan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming sebagai pemenang pada pemilu Presiden 2024, PTUN menyatakan tidak sah atau batal terkait dengan pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai Cawapres dari Prabowo Subianto.
Namun demikian, ternyata putusan MK lebih cepat keluarnya dibandingkan dengan putusan PTUN, sehingga PDIP tidak mungkin untuk bersikukuh terhadap petitum awalnya, yakni membatalkan Keputusan KPU yang telah menetapkan Gibran Rakabuming Raka sebagai Cawapres dari Prabowo Subianto. Oleh karena itu, PDIP melakukan perubahan terhadap petitum itu. Petitum itu berubah menjadi agar PTUN mengeluarkan putusan yang menyatakan bahwa KPU telah melakukan pelanggaran hukum dengan menerima pendaftaran Gibran Rakabuming Raka sebagai Cawapres. Dari situ, PDIP akan mendorong MPR untuk menolak pelantikan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka sebagai Presiden dan Wakil Presiden 2024-2029.
Baca juga:
Pertanyaannya, realistiskah petitum dari PDIP tersebut ? Untuk menjawab hal ini, maka kita harus memahami karakteristik dari Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) ini. PTUN ini dibentuk dengan tujuan untuk melindungi rakyat dari kesewenang-wenangan tindakan Pemerintah. Dalam UU PTUN yang menjadi tergugat adalah Pejabat atau Badan Tata Usaha Negara. Pejabat atau Badan Tata Usaha Negara ini adalah Pejabat atau Badan yang melaksanakan fungsi Pemerintahan.
Untuk membedakan seseorang itu termasuk dalam kategori Pejabat Pemerintahan atau Pejabat tata usaha negara dan Badan Pemerintahan atau Badan tata usaha negara, maka kita akan melihat pada pelaksanaan kewenangannya. Jika yang melaksanakan kewenangannya ini dapat melaksanakan kewenangannya secara mandiri, maka dia disebut sebagai Pejabat. Pengertian mandiri di sini ketika dia mengeluarkan Keputusan itu bukan didasarkan pada Keputusan bersama tetapi Keputusan dari dia sendiri. Dengan demikian, biasanya Pejabat Pemerintahan yang memiliki kewenangan secara mandiri disebut dengan istilah Kepala.
Baca juga:
Sementara itu, jika yang melaksanakan kewenangannya ini tidak dapat melaksanakan kewenangannya secara mandiri, maka dia disebut sebagai Badan. Dalam mengeluarkan Keputusan, keputusan ini harus didasarkan pada Keputusan bersama dalam suatu badan yang dia Kelola. Oleh karena itu, hubungan antara dia dan anggota lainnya bersifat kolektif kolegial. Pimpinan dari suatu badan itu disebut dengan istilah Ketua. Namun demikian, ketika suatu badan tata usaha negara mengeluarkan suatu Keputusan, maka Keputusan itu bukan merupakan Keputusan Ketua, tetapi Keputusan Badan tata usaha negara sesuai dengan nomenklatur dari badan tata usaha negara tersebut.
KPU merupakan badan tata usaha negara, sehingga Keputusan yang dipermasalahkan oleh PDIP adalah Keputusan KPU bukan Keputusan Ketua KPU. Oleh karena itu, dalam gugatan yang dilayangkan oleh PDIP yang merupakan pihak tergugat adalah KPU, sehingga petitum yang bisa dimintakan oleh PDIP adalah menyatakan tidak sah atau menyatakan kalau Keputusan KPU itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Baca juga:
Jika gugatan dari PDIP ini dikabulkan oleh PTUN, maka KPU wajib untuk mencabut Keputusan KPU yang menetapkan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka sebagai pasangan Capres dan Cawapres 2024. Dengan dikabulkannya gugatan PDIP ini, maka semua yang berkaitan dengan persoalan ini juga akan mendapatkan akibatnya. Lalu apa logika dari PDIP menggunakan putusan PTUN untuk memaksa MPR menolak pelantikan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka sebagai Presiden dan Wakil Presiden 2024-2029 merupakan Langkah yang tepat.
Tentu dikabulkannya suatu gugatan itu tidak serta merta memiliki akibat hukum terhadap suatu peristiwa hukum. Kita tentu akan melihat pada petitum mana dari gugatan itu yang dikabulkan ? Jika putusan PTUN itu menyatakan tidak sah terhadap Keputusan KPU terhadap penetapan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka sebagai Capres dan Cawapres tentu ini juga akan berakibat secara serius terhadap proses pelantikan dari Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Namun, jika PTUN dalam amarnya tidak menyatakan bahwa Keputusan KPU ini tidak sah, maka MPR tentu tidak memiliki kewenangan untuk menolak pelantikan terhadap Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
Baca juga:
Legalitas utama dari Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka bukan terletak pada Keputusan MPR tentang pelantikan Presiden dan Wakil Presiden 2024-2029, tetapi pada Keputusan KPU tentang penetapan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih. Keputusan MPR tentang pelantikan Presiden dan Wakil Presiden hanya bersifat deklaratif. Artinya MPR hanya mengukuhkan saja terhadap suatu peristiwa yang sudah ada, yakni terkait peristiwa penetapan pasangan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden sebagai pemenang oleh KPU. MPR tidak memiliki kuasa untuk menolak pasangan Capres dan Cawapres sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih.
Baca juga:
Apakah Putusan MK terkait PHPU Presiden 2024 bercorak konservatif?
Lalu bagaimana jika PTUN mengabulkan gugatan PDIP ? Jika PTUN mengabulkan gugatan dari PDIP, maka akan berimplikasi terhadap kekacauan ketatanegaraan, karena bagaimanapun MK telah memutus menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya. Dan dalam permohonan perselisihan hasil pemilu (PHPU) Presiden, para pemohon juga mempermasalahkan proses pendaftaran dari Gibran Rakabuming Raka sebagai Presiden. Dengan demikian, akan menjadi aneh jika MK menolak tetapi justru PTUN mengabulkan gugatan PDIP.
Penulis adalah Dosen Hukum Tata Negara Program Studi Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Negeri Surabaya