Masa Depan Demokrasi Pasca Penghapusan Presidential Threshold
Oleh : Hananto Widodo
mediamerahputih.id I Mahkamah Konstitusi pada Kamis, 2 Januari 2025, melalui putusan Nomor 62/PUU-XXII/2024, memutuskan untuk menghapuskan Presidential Threshold. Keputusan ini yang mengubah ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, disambut sebagai angin segar oleh para pegiat demokrasi. Bagaimana tidak dianggap angin segar ? Pasal 222 UU No. 7 Tahun 2017 telah berkali-kali diuji di MK, tetapi pengajuan permohonan pengujian terhadap Pasal ini selalu mengalami sesuatu yang tidak diharapkan. Mengapa demikian ? Karena tidak ada satupun permohonan terhadap penghapusan ambang batas pencalonan Presiden dan Wapres ini dikabulkan. Bahkan ada beberapa permohonan terhadap Pasal ini yang tidak dapat diterima, karena pemohon dianggap tidak memiliki kedudukan hukum.
Oleh karena itu, jangan heran ketika pada putusan No. 62/PUU-XXII/2024 ini MK mengabulkan permohonan pemohon, maka putusan ini disambut secara gegap gempita oleh sebagian besar para pegiat demokrasi ini. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah dengan adanya penghapusan ambang batas bagi parpol untuk mengusung pasangan Calon Presiden dan Wapres ini, maka pasangan Calon Presiden dan Wapres pada tahun 2029 akan menjadi banyak ?
Baca juga :
Satu hal yang perlu ditekankan di sini adalah penghapusan ambang batas pencalonan Presiden dan Wapres bukan merupakan jaminan kalau pasangan Capres-Cawapres pada tahun 2029 akan menjadi banyak, sehingga masyarakat akan memiliki banyak pilihan. Paling tidak ada dua alasan yang bisa dikemukakan di sini. Pertama, bagaimanapun juga perhelatan pemilu Presiden dan Wapres membutuhkan dana yang tidak sedikit.

Dengan demikian, modal ekonomi dan modal sosial akan sangat menentukan dalam hal pencalonan Presiden dan Wapres. Kedua, parpol akan melihat pada elektabilitas dari sosok yang akan diusungnya. Jika sosok yang diusungnya itu memiliki elektabilitas yang tinggi, maka kemungkinan besar parpol akan bersedia untuk mengusungnya. Namun, jika elektabilitasnya rendah, maka dapat dipastikan parpol tidak akan bersedia untuk mengusungnya.
Baca juga :
Oleh karena itu, penghapusan ambang batas tersebut hanya merupakan peluang bagi terciptanya kondisi politik yang lebih demokratis, tetapi bukan merupakan jaminan kalau dengan adanya penghapusan ambang batas tersebut membuat kehidupan demokrasi menjadi lebih baik. Untuk melihat pada peluang yang pernah diciptakan oleh MK, tetapi ternyata tidak mendapat sambutan yang massif dari masyarakat adalah terkait dengan dibolehkannya Calon Perseorangan untuk maju dalam Pilkada.
Pertanyaannya, berapa persen dari daerah-daerah yang terdapat Calon Perseorangan ? Jawabannya sangat sedikit. Bahkan dari setiap perhelatan Pilkada, jumlah orang yang maju sebagai pasangan Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dari jalur perseorangan semakin sedikit.
Baca juga :
Contoh lain dapat kita lihat pada implikasi dari putusan MK No. 60/PUU-XXII/2024 yang mengubah ambang batas pencalonan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dari minimal 20% kursi DPRD menjadi maksimal hanya 10%, disesuaikan dengan jumlah penduduk di tiap-tiap daerah. Ketika putusan ini dibacakan oleh MK, sebagian pegiat demokrasi memprediksikan kalau jumlah kotak kosong akan berkurang, karena syarat untuk mengusung Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah jauh lebih mudah daripada sebelumnya.
Lalu bagaimana kenyataannya ? Berdasarkan data dari KPU, terdapat 37 paslon Tunggal yang bertarung dengan kotak kosong pada Pilkada serentak 2024. Boleh saja kita berkata : Kalau tidak ada putusan MK No. 60/PUU-XXII/2024, maka jumlah Calon Tunggal akan semakin banyak. Apapun argumentasi yang kita ajukan untuk mendukung putusan MK itu, tetapi realitas empiric lah yang memiliki kebenaran yang tak terbantahkan bahwa jumlah Calon Tunggal pada Pilkada 2024 masih banyak.
Baca juga :
Menyoal Pemilihan Kepala Desa Dipilih Melalui Mekanisme Parpol
Dengan demikian, bagaimana agar bisa banyak pasangan calon Presiden dan Wapres yang akan bertarung pada tahun 2024 ? Itu akan sangat ditentukan oleh banyak faktor, terutama faktor politik. Hitung-hitungan dalam dunia politik tentu sangat berbeda dengan hitung-hitungan dalam dunia matematika. Ingat bagaimana Anies Baswedan yang memiliki elektabilitas yang tinggi untuk dicalonkan sebagai Calon Gubernur Daerah Khusus Jakarta, tetapi tidak ada satupun parpol yang bersedia mengusungnya.
Demokrasi juga tidak hanya ditentukan pada proses pemilu, di mana rakyat akan memiliki banyak pilihan untuk menentukan pemimpinnya. Namun, demokrasi juga akan sangat ditentukan ketika pasangan pemimpin itu mulai menjalankan pemerintahannya. Sudah cukup banyak pengalaman yang kita alami, di mana kita memilih pemimpin berdasarkan sosoknya, tetapi pada perjalanan waktu, pemimpin itu akhirnya dapat dikatakan berjalan tidak sesuai dengan janji yang didengungkan olehnya.
Baca juga :
Kita ingat pada tahun 2014, Jokowi yang diusung oleh PDIP, Hanura, Nasdem, PKB dan PKPI memenangkan kontestasi pada Pilpres 2014. Namun baru beberapa bulan berjalan, parpol yang sebelumnya menjadi rival politik Jokowi, seperti Golkar dan PAN, akhirnya bergabung dengan pemerintahan Jokowi.
Oleh karena itu ada kemungkinan ada Capres-Cawapres yang diusung oleh parpol non parlemen pada tahun 2029 dan tidak memiliki satupun kursi di DPR, tetapi Capres-Cawapres tersebut memenangi kontestasi Pilpres pada tahun 2029. Bagaimana kalau ini yang terjadi ? Semua kemungkinan bisa terjadi, tetapi yang jelas Presiden dan Wapres terpilih pasti harus mendapatkan dukungan politik riil di DPR. Dengan demikian, jika itu yang terjadi maka dapat dipastikan Presiden dan Wapres terpilih akan berusaha untuk mengkooptasi seluruh kekuatan politik yang ada di DPR.
Baca juga :
Apabila Presiden dan Wapres terpilih berhasil mengakomodasi sebagian besar kepentingan parpol di DPR, maka dapat dipastikan control DPR terhadap Presiden akan menjadi lemah. Lemahnya pengawasan DPR terhadap Presiden akan menjadi pintu masuk bagi lahirnya rezim otoritarian.
Penulis adalah Koordinator Konsentrasi Hukum Pemerintahan dan Dosen Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Negeri Surabaya