Ketika KPU dan Bawaslu Ad Hoc
Oleh : Hananto Widodo
mediamerahputih.id I Fraksi Partai Gerindra DPR RI mengusulkan agar lembaga penyelenggara pemilu yakni KPU dan Bawaslu menjadi lembaga ad hoc. Bukan lembaga permanen seperti sekarang ini. Usul ini mengemuka, karena kinerja kedua lembaga tersebut hanya efektif dua tahun menjelang pemilu, mulai dari tahapan yang paling awal sampai tahapan pencoblosan dan rekapitulasi. Apalagi Pilkada diadakan di tahun yang sama dengan perhelatan pemilu, sehingga otomatis kerja dari lembaga penyelenggara pemilu hanya dua tahun.
Oleh karena itu, jika kerja lembaga penyelenggara pemilu hanya dua tahun, maka akan sangat logis jika perlu dipikirkan lagi terkait dengan status lembaga penyelenggara pemilu ini, apakah tetap permanen atau ad hoc. Karena jika permanen, maka hal ini akan membuat anggaran negara akan menjadi lebih berat. Pertanyaannya apakah mungkin untuk membuat lembaga penyelenggara pemilu berubah status dari permanen menjadi ad hoc. Ad hoc dalam artian, ketika semua tahapan pemilu dan Pilkada sudah selesai, maka KPU dan Bawaslu menjadi bubar.
Baca juga:
Paling tidak ada dua kendala yang akan dihadapi jika status KPU dan Bawaslu berubah menjadi ad hoc. Kendala pertama adalah kendala konstitusional. Sedangkan kendala kedua adalah kendala politik. Kendala konstitusional berkaitan dengan bunyi Pasal 22 E ayat (5) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan “Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.” Dari bunyi Pasal 22 E ayat (5) ini, maka kita tidak bisa mengubah status KPU RI dan Bawaslu RI menjadi ad hoc.

Perubahan status dari permanen ke ad hoc hanya bisa dilakukan terhadap penyelenggara pemilu di level daerah. Baik itu KPU Provinsi maupun Kabupaten/Kota dan Bawaslu Provinsi serta Kabupaten/Kota. Oleh karena itu, perubahan status dari permanen menjadi ad hoc bisa dilakukan terhadap penyelenggara pemilu di level daerah, karena konstitusi hanya mengamanatkan kalau yang bersifat tetap adalah penyelenggara pemilu di level nasional.
Baca juga:
Namun demikian, untuk mengubah status penyelenggara pemilu di daerah bukan hal yang mudah. Karena tentu ada dampak secara kelembagaan terhadap kedua lembaga tersebut. Jika KPU Daerah dan Bawaslu Daerah merupakan lembaga ad hoc, maka konsekuensinya DKPP yang berwenang untuk menangani dugaan pelanggaran etik oleh penyelenggara pemilu juga akan berubah menjadi lembaga ad hoc juga. Secara statistic, DKPP lebih banyak menangani dugaan pelanggaran etik yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu yang ada di daerah.
Jika KPU dan Bawaslu di daerah berubah menjadi lembaga ad hoc, maka DKPP tidak memiliki kewenangan lagi untuk menangani dugaan pelanggaran etik yang ada di daerah. Padahal laporan dugaan pelanggaran etik terhadap penyelenggara pemilu cukup banyak. Pertanyaannya bagaimana jika terjadi dugaan pelanggaran etik yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu di daerah ? Potensi pelanggaran etik oleh penyelenggara pemilu akan menjadi besar tatkala lembaga penyelenggara pemilu di daerah menjadi lembaga ad hoc.
Baca juga:
Mengapa demikian ? Karena lembaga ad hoc merasa tidak memiliki keterikatan terhadap pekerjaan yang mereka lakukan. Hal ini berbeda jika lembaga penyelenggara pemilu di daerah merupakan lembaga permanen. Dengan demikian, KPU dan Bawaslu di daerah akan memiliki keterikatan dan tanggung jawab yang lebih besar dibandingkan jika KPU dan Bawaslu di daerah adalah lembaga ad hoc.
Di samping itu, jika lembaga penyelenggara pemilu itu ad hoc, maka jika terjadi pelanggaran etik akan kesulitan untuk menerapkan sanksinya. Sanksi yang biasanya dikenakan pada penyelenggara pemilu oleh DKPP antara lain, peringatan, peringatan keras terakhir dan pemberhentian baik sebagai ketua maupun anggota. Pertanyaannya bagaimana bisa sanksi itu diterapkan, jika penyelenggara pemilu di daerah adalah ad hoc ?
Baca juga:
Harus diakui bahwa Indonesia merupakan negara yang memiliki lembaga penyelenggara pemilu terlengkap di dunia. Bahkan check and balances yang paling efektif hanya terjadi di lembaga penyelenggara pemilu antara KPU dan Bawaslu. Di dunia ini hanya ada dua negara yang memiliki lembaga pengawas pemilu, yakni Indonesia dan Ekuador.
Lahirnya banyak lembaga penyelenggara pemilu yang bersifat tetap ini, juga disebabkan pada fenomena lahirnya banyak lembaga negara independen (state auxiliary bodies). Lahirnya banyak state auxiliary bodies ini disebabkan munculnya ketidakpercayaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga yang sudah mapan. Memang, KPU sekarang berbeda dengan Lembaga Penyelenggara Pemilu (LPU) pada masa Orde Baru. KPU merupakan lembaga negara yang independen, sedangkan LPU merupakan lembaga di bawah Departemen Dalam Negeri.
Baca juga:
Namun demikian, kecurigaan masyarakat terhadap tindakan penyalahgunaan wewenang dari KPU pasti ada, sehingga dibutuhkan suatu lembaga pengawas yang mandiri untuk senantiasa mengawasi setiap tahapan pemilu yang dilakukan oleh KPU. Masyarakat juga tentu juga tidak begitu percaya dengan keberadaan Bawaslu yang berwenang mengawasi jalannya pemilu. Oleh karena itu dibentuk lembaga etik yang berwenang untuk menangani dugaan pelanggaran etik, baik yang dilakukan oleh anggota KPU dan Bawaslu.
Kesimpulannya, agar dipikirkan ulang rencana mengubah status lembaga penyelenggara pemilu dari permanen menjadi ad hoc. Sebenarnya ada masalah krusial yang perlu dipikirkan terkait dengan lembaga penyelenggara pemilu ini, khususnya terkait dengan proses rekrutmen anggotanya. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa untuk bisa menjadi anggota penyelenggara pemilu harus memiliki relasi dengan organisasi yang memiliki jejaring politik di parpol.
Baca juga:
Bahkan panitia seleksi yang dibentuk untuk merekrut anggota KPU dan Bawaslu, khususnya di daerah merupakan orang-orang yang sebagian besar tidak memiliki kompetensi di bidang kepemiluan. Hal ini tentu akan berdampak pada kualitas orang-orang yang akan menjadi anggota KPU dan Bawaslu di level daerah. Kurangnya kualitas anggota KPU dan Bawaslu tentu akan berdampak pada kualitas pemilu dan Pilkada.
Penulis Adalah Koordinator Konsentrasi Hukum Pemerintahan Dan Dosen Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Negeri Surabaya