Memperbincangkan Dua Ketetapan MPR
Oleh : Hananto Widodo
mediamerahputih.id I Dua Ketetapan MPR yakni Ketetapan MPR No. II/MPR/2001 dan Ketetapan MPR No. XI/MPR/1998 menjadi perbincangan hangat di publik tatkala MPR berketetapan untuk mencabut Ketetapan MPR No. II/MPR/2001 dan menghapus frasa nama Soeharto dalam Ketetapan MPR No. XI/MPR/1998. Ketetapan MPR No. II/MPR/2001 terkait pemberhentian Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai Presiden, sedangkan Ketetapan MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dari Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme.
Alasan MPR di bawah kepemimpinan Bambang Soesatyo mencabut Ketetapan MPR No. II/MPR/2001 dan merevisi Ketetapan MPR No. XI/MPR/2001 adalah dalam rangka rekonsiliasi. Karena bagaimanapun juga Gus Dur dan Soeharto merupakan dua tokoh bangsa yang memiliki jasa yang signifikan dalam sejarah ketatanegaraan di Indonesia. Pertanyaannya, apa relevansi pencabutan dan revisi dari kedua TAP MPR itu terhadap rekonsiliasi bangsa ini dan sekaligus membersihkan nama kedua tokoh tersebut ?
Baca juga:
Untuk menjawab ini, maka kita akan melihat kedua Ketetapan MPR ini dalam perspektif teori perundang-undangan. Dalam praktik ketatanegaraan pada masa Orde Baru dan pasca Orde Baru, Ketetapan MPR memiliki dua karakter. Karakter pertama adalah Ketetapan MPR yang bersifat mengatur (regeling) dan Ketetapan MPR yang bersifat menetapkan (beschikking).
Ketetapan MPR No. II/MPR/2001 tentang pertanggung jawaban Presiden Republik Indonesia KH. Abdurrahman Wahid merupakan Ketetapan MPR yang bersifat menetapkan. Dalam Ketetapan MPR ini terdapat dua pasal dan pasal 2 berisikan tentang pemberhentian Abdurrahman Wahid sebagai Presiden Republik Indonesia. Kalau dilacak pada proses pemberhentian Gus Dur sebagai Presiden pada tahun 2001, maka kita harus melacak terkait alasan MPR pada waktu itu dalam memberhentikan Gus Dur sebagai Presiden.
Baca juga:
Jika melihat pada sejarah terpilihnya Gus Dur sebagai Presiden RI tidak terlepas dari peran poros tengah yang dimotori oleh Amien Rais dkk. Poros tengah berkehendak untuk mengusung Gus Dur, karena mereka tidak ingin Megawati yang menjadi Presiden RI keempat. Poros tengah berharap agar ketika Gus Dur menjadi Presiden, maka mereka dapat mengendalikan Gus Dur. Namun kenyataannya, Gus Dur tidak mudah untuk dikendalikan, bahkan Gus Dur akhirnya dalam posisi yang saling berhadap-hadapan dengan sebagian besar koalisi pendukungnya, yakni poros tengah dan Golkar.
Konflik antara Gus Dur dan kekuatan pendukungnya minus PKB semakin meruncing, ketika Gus Dur diduga melakukan korupsi Bulog dan hibah dari Sultan Brunei. Isu dugaan korupsi Bulog dan hibah dana dari Sultan Brunei dijadikan alat bagi lawan-lawan politik Gus Dur untuk mengguncang Gus Dur. DPR pada waktu itu bahkan juga mengeluarkan memorandum I dan II sebagai peringatan bagi Gus Dur yang telah dianggap melakukan pelanggaran terhadap haluan negara yang telah ditetapkan oleh MPR.
Baca juga:
Memorandum I dan II yang dikeluarkan oleh DPR ini akhirnya berujung pada pemberhentian Gus Dur sebagai Presiden. Dan instrument MPR dalam memberhentikan Gus Dur adalah dengan Ketetapan MPR No. II/MPR/2001. Pertanyaannya apakah dengan mencabut Ketetapan MPR ini, maka nama Gus Dur menjadi bersih ? Ingat, Ketetapan MPR ini merupakan Ketetapan dari MPR untuk memberhentikan Gus Dur sebagai Presiden. Dengan demikian, meskipun Ketetapan MPR ini dicabut tidak akan menghilangkan substansi dari ketetapan MPR ini bahwa Gus Dur telah diberhentikan sebagai Presiden sebelum masa jabatannya.
Oleh karena itu, kalau MPR berniat untuk membersihkan nama Gus Dur, maka bukan dengan cara mencabut Ketetapan MPR tentang pemberhentian Gus Dur. Namun, MPR dapat membentuk tim pengkaji yang berisikan para ahli hukum tata negara dan para ahli sejarah terkait dengan latarbelakang pemberhentian Gus Dur.
Dari hasil kajian itu maka akan dapat dilihat dengan jernih, apakah Gus Dur memang pernah melakukan kesalahan sebagaimana dituduhkan oleh lawan-lawan politiknya pada waktu itu. Jika Gus Dur tidak terbukti bersalah, maka MPR dapat membuat Ketetapan MPR yang berisikan kajian dari para akademisi tersebut sebagai dasar untuk menyatakan bahwa Gus Dur memang tidak pernah melakukan kesalahan sebagaimana dituduhkan oleh lawan-lawan politiknya.
Baca juga:
Sementara itu, terkait dengan penghapusan nama Soeharto dari Ketetapan MPR No. XI/MPR/1998 dengan alasan Soeharto sudah meninggal, maka seharusnya yang dilakukan oleh MPR bukan dengan cara menghapus nama Soeharto dari Ketetapan MPR tersebut. Namun, dengan mencabut Ketetapan MPR tersebut secara keseluruhan. Mengapa demikian ? Paling tidak ada dua alasan mengapa Ketetapan MPR No. XI/MPR/1998 harus dicabut.
Pertama, Dalam teori perundang-undangan, sebuah produk hukum yang bersifat mengatur (regeling) seharusnya memang tidak menyebut nama seseorang, karena produk hukum yang regeling itu mengatur secara umum. Tidak mengatur terhadap individu tertentu. Kedua, telah terdapat beberapa undang-undang yang telah mengatur terkait dengan larangan melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme seperti UU No. 28 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan Negara Yang Bersih dari KKN, UU No. 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan korupsi dan beberapa UU lainnya yang berkaitan dengan korupsi, kolusi dan nepotisme.
Baca juga:
Dengan berubahnya status MPR dari lembaga tertinggi negara menjadi lembaga negara yang sejajar dengan lembaga-lembaga negara lainnya, maka juga memiliki konsekuensi dari aspek ketatanegaraan. MPR tidak lagi bisa membuat produk hukum yang bisa mengikat lembaga negara lainnya. Oleh karena itu, Ketetapan MPR terdahulu yang secara substansi telah diatur oleh UU, maka seharusnya Ketetapan MPR tersebut dicabut, sehingga kepastian hukum menjadi lebih terjamin. Jangan sampai Ketetapan MPR yang masih berlaku, hanya sebagai aksesoris historis semata, karena substansi dari Ketetapan MPR tersebut telah diatur oleh UU.
Penulis adalah Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Negeri Surabaya