Scroll untuk baca artikel
Iklan MMI
Iklan MMI
Politik

Bolehkah Mengkampanyekan Surat Suara Kosong?

904
×

Bolehkah Mengkampanyekan Surat Suara Kosong?

Sebarkan artikel ini
mengkampanyekan-surat-suara-kosong
Fenomena yang menarik, khususnya di kota Surabaya adalah ada upaya dari pihak-pihak tertentu untuk mengkampanyekan surat suara kosong, agar surat suara kosong tersebut keluar sebagai pemenang. Karena jika ada pasangan calon yang berkontestasi dengan surat suara kosong, maka pasangan calon tersebut harus berhasil menang dengan prosentase 50% plus 1 I MMP I ist

Bolehkah Mengkampanyekan Surat Suara Kosong?

Oleh : Hananto Widodo

mediamerahputih.id I Setiap warga negara memiliki hak untuk memilih dalam pemilihan kepala daerah atau pilkada, termasuk menggunakan surat suara. Namun, ada satu pertanyaan penting yang muncul apakah mengkampanyekan penggunaan surat suara kosong legal atau tidak?

Surat suara kosong, juga disebut golput, adalah cara untuk melakukan protes secara diam terhadap opsi yang tersedia. Seringkali, masyarakat yang memilih ini merasa bahwa partai atau kandidat tidak mewakili aspirasi mereka. Meskipun demikian, kampanye untuk surat suara kosong memiliki konsekuensi yang lebih luas dalam demokrasi.

Baca juga:

Memahami Makna Zaken Kabinet

Putusan MK No. 60/PUU-XXII/2024 yang diharapkan oleh publik dapat mengurangi pasangan calon Tunggal kepala daerah ternyata tidak bisa terlaksana dengan dengan maksimal. Sebagaimana kita ketahui, putusan MK tersebut membuat implikasi yang cukup signifikan terhadap konstelasi perpolitikan di level daerah. Hal ini disebabkan putusan MK ini telah melonggarkan ambang batas (threshold) pencalonan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah baik di level provinsi maupun kabupaten/kota.

Pada awalnya pengaturan terkait ambang batas (threshold) pencalonan kepala daerah sangat ketat. Harus memenuhi paling tidak 20% parpol yang memeroleh kursi di DPRD. Tentu dengan aturan threshold yang begitu ketat ini, membuat jumlah peserta pasangan Calon Kepala Daerah dan Calon Wakil Kepala Daerah menjadi terbatasi. Aturan threshold ini menjadi longgar ketika MK mengabulkan permohonan perkara No. 60/PUU-XXII/2024. Dalam putusan MK ini, MK membuat 4 kategori threshold pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh parpol. 4 Kategori ini disesuaikan dengan jumlah penduduk.

Baca juga:

Kontroversi Jokowi di Penghujung Jabatan

Daerah yang memiliki jumlah penduduk yang sedikit maka prosentase threshold nya menjadi lebih besar, yakni 10%. Semakin besar jumlah penduduknya maka semakin kecil prosentase threshold yang diperlukan. Untuk ukuran kabupaten/kota jika jumlah penduduknya lebih dari 2 juta, maka prosentase thresholdnya cukup 6.5%. Sedangkan untuk provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 12 juta, maka threshold nya cukup 6.5%.

mengkampanyekan-surat-suara-kosong
Jika menang, maka akan memiliki akibat hukum yang tidak baik. Mengapa ? Karena jika surat kosong yang menang, maka pemilihan kepala daerah akan dilaksanakan lagi tahun depan dengan kontestan yang sama, yakni pasangan calon Tunggal dan surat suara kosong I MMP I Grafis I Antonius Andhika

Oleh karena itu, memang ada beberapa daerah antara lain DKI yang terancam hanya diikuti oleh satu pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah. Awalnya DKI hanya diikuti oleh pasangan Ridwan Kamil-Suswono, karena hampir semua parpol mendukung pasangan tersebut. Setelah berlakunya putusan MK No. 60, maka muncul pasangan calon yang lain, yakni Pramono Anung-Rano Karno yang didukung PDIP dan Hanura.

Baca juga:

Gerakan Kotak Kosong di Surabaya Menolak Calon Tunggal Pilwalkot 2024

Namun, ada juga beberapa daerah yang masih hanya diikuti oleh satu pasangan calon saja, antara lain Surabaya, Gresik dan Sidoarjo. Dengan demikian, pasangan calon di ketiga daerah kabupaten/kota tersebut akan berkontestasi dengan suara suara kosong. Pasal 54 C ayat (2) UU No. 10 Tahun 2016 menyatakan “Pemilihan 1 (satu) pasangan calon dilaksanakan dengan menggunakan surat suara yang memuat 2 (dua) kolom yang terdiri atas 1 (satu) kolom yang memuat foto pasangan calon dan 1 (satu) kolom kosong yang tidak bergambar.”

Fenomena yang menarik, khususnya di kota Surabaya adalah ada upaya dari pihak-pihak tertentu untuk mengkampanyekan surat suara kosong, agar surat suara kosong tersebut keluar sebagai pemenang. Karena jika ada pasangan calon yang berkontestasi dengan surat suara kosong, maka pasangan calon tersebut harus berhasil menang dengan prosentase 50% plus 1. Ini tentu merupakan tugas yang berat bagi pasangan calon dan tim suksesnya agar pasangan calon tersebut dapat memenangkan kontestasi dengan suara minimal 50% plus 1.

Baca juga:

Memperdebatkan Sifat Putusan MK

Tugas dari pasangan calon Tunggal dan tim suksesnya mejadi lebih berat manakala ada pihak-pihak yang berusaha agar surat suara kosong itu yang menang. Pihak-pihak yang berkeinginan agar surat suara kosong ini menang adalah dengan cara mengkampanyekan surat suara kosong ini agar yang memilih jumlahnya lebih banyak dibandingkan pangan calon Tunggal. Pertanyaannya bisakah kita mengkampanyekan surat suara kosong agar dia bisa memenangkan kontestasi, karena bagaimanapun juga surat suara kosong juga merupakan kontestan dalam Pilkada ini ?

Beberapa anggota KPU di daerah tidak melarang pihak-pihak yang mengkampanyekan surat suara kosong agar menang dalam kontestasi ini. Namun, apakah pernyataan beberapa anggota KPU di daerah itu didasarkan pada logika yang benar atau hanya sekedar lips service belaka? Untuk menjawab ini, maka kita harus paham dulu terkait dengan definisi kampanye. Jika merujuk pada peraturan perundang-undangan pemilu yang pernah berlaku, maka ada satu unsur penting yang harus dipenuhi dalam kampanye.

Baca juga:

Antara Putusan MK Dan Revisi UU Pilkada

Unsur penting itu adalah bahwa kampanye bagi kontestan itu harus menyertakan visi dan misi. Pertanyaannya apakah surat suara kosong ini memiliki visi dan misi ? jawabannya tentu tidak. Lalu bagaimana jika ada yang mengatakan jika visi-misi dari surat suara kosong ini diwakili oleh pihak-pihak yang mengkampanyekan surat suara kosong ? Tentu jawabannya tidak bisa, karena dua hal.

Pertama, visi-misi hanya bisa melekat pada kontestan pasangan calon, karena pasangan calon ini merupakan subyek hukum yang jelas. Kedua, visi-misi dari kontestan Pilkada ini akan diterjemahkan dalam program kerja dan akan dilaksanakan jika pasangan calon tersebut menang. Jika yang menang adalah surat suara kosong, maka surat suara kosong ini tidak bisa melaksanakan visi-misi apabila surat suara kosong yang menang.

Baca juga:

Mencermati Putusan Nomor 604/G/2023/PTUN.JKT terkait Anwar Usman

Justru jika surat suara kosong yang menang, maka akan memiliki akibat hukum yang tidak baik. Mengapa ? Karena jika surat suara kosong yang menang, maka pemilihan kepala daerah akan dilaksanakan lagi tahun depan dengan kontestan yang sama, yakni pasangan calon Tunggal dan surat suara kosong. Dan selama satu tahun masa tunggu ini, daerah yang telah dimenangkan oleh surat suara kosong ini akan dipimpin oleh penjabat Kepala Daerah.

Baca juga:

Permintaan Maaf Jokowi

Pihak-pihak yang ingin surat suara kosong menang bisa melakukan upaya dengan cara menyampaikan kelemahan dari pasangan calon Tunggal (negative campaign). Namun bagaimanapun juga, fenomena pasangan calon Tunggal ini lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya, karena bagaimanapun juga dengan adanya pasangan calon yang tidak memiliki rival politik yang jelas dari pasangan calon lainnya menunjukkan bahwa demokrasi di Tingkat lokal tidak begitu bagus. Apalagi dalam Pilkada di samping diberi peluang bagi parpol untuk mengusung pasangan calon, juga diberi peluang bagi pasangan calon perseorangan untuk maju sebagai kontestan di Pilkada serentak ini.

Penulis adalah Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Negeri Surabaya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *