Mencermati Permintaan Maaf Jokowi
Oleh : Hananto Widodo
mediamerahputih.id I Permintaan maaf Jokowi kepada masyarakat Indonesia mengundang kontroversi. Banyak pihak yang menanggapi permintaan maaf Jokowi. Jika dicermati, banyak yang berkomentar negative terhadap permintaan maaf Jokowi ini. Permintaan maaf ini wajar dilakukan oleh Jokowi, karena selama masa kepemimpinannya ini pasti ada kesalahan yang dilakukan dan periode ini merupakan periode terakhir kepemimpinannya.
Memang pada periode kedua kepemimpinannya ini, Jokowi dianggap melakukan Langkah-langkah kontroversial yang cenderung negatif. Meskipun apakah ini benar-benar Langkah dia yang dilakukan secara sadar atau tidak. Publik tentu ingat dengan langkah Jokowi yang menyetujui revisi UU KPK yang dianggap oleh public sebagai Upaya untuk melemahkan KPK. Puncaknya adalah skandal putusan MK yang melibatkan adik iparnya Anwar Usman sebagai Upaya untuk menggolkan pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai Cawapres dari Prabowo.
Baca juga:
Pertanyaannya, apakah fair jika semua kesalahan ditimpakan pada Jokowi ? Ingat, Jokowi dalam melakukan langkah-langkah politiknya tentu tidak sendirian dan tentu ada peristiwa misteri yang tidak ditangkap oleh public. Namun yang perlu digarisbawahi adalah konstitusi kita, yakni UUD NRI Tahun 1945 meletakkan kewenangan yang sangat besar pada Presiden. Kekuasaan yang sangat besar dari Presiden ini merupakan konsekuensi dari pilihan sistem presidensiil yang telah dipilih oleh MPR.
Sistem presidensiil akan menjelma menjadi pemerintahan yang otoriter jika didukung oleh mayoritas kekuatan di parlemen. Mengapa demikian ? Karena jika semua kekuatan politik yang ada di DPR mendukung Presiden, maka dapat dipastikan tidak ada perimbangan kekuasaan yang terjadi antara DPR dan Presiden.
Baca juga:
Jika menilik pada sejarah politik pemerintahan Jokowi, pada awal pemerintahannya pada tahun 2014, Jokowi berusaha untuk memberi ruang bagi DPR untuk melakukan pengawasan terhadap kekuasaannya. Karena memang pada tahun 2014, Jokowi hanya didukung oleh PDIP, PKB dan PKPI sehingga parpol pendukung Jokowi di DPR tidak sampai 50%. Jokowi akhirnya menyerah dan merangkul hampir semua kekuatan politik yang ada di DPR dan menyisakan hanya Gerindra, PKS dan Demokrat.
Kekuasaan yang didukung oleh hampir semua elemen politik yang ada di DPR memang membuat Presiden terlena, apalagi jika setiap kebijakannya atau langkah-langkah politiknya meskipun salah tetap mendapat dukungan yang solid dari parpol pendukungnya. Dan jika kita amati selama ini, parpol akan selalu mendukung semua langkah dan kebijakan Jokowi tanpa syarat.
Baca juga:
Parpol pendukung tidak akan mendukung jika Langkah yang dilakukan oleh Jokowi ini merugikan parpolnya dan berakibat pada kekecewaan parpol tersebut. Kita tentu ingat, bagaimana getolnya PDIP mendukung semua langkah politik Jokowi. Tetapi begitu Gibran akhirnya menjadi Cawapres pendamping Prabowo, pada saat itulah hujan kritik terhadap Jokowi kerap dilontarkan oleh PDIP.
Ukuran moral yang hanya sekedar memperhitungkan untung rugi inilah yang membuat moral bangsa, khususnya moral elite politik patut dipertanyakan. Kita tentu ingat ketika revisi UU KPK, apakah PDIP menolak dan mengkritik Jokowi ? Apakah ketika Jokowi berinsiatif untuk membentuk UU Cipta Kerja yang secara substansi dianggap merugikan banyak orang, bagaimana sikap PDIP ? Begitu juga ketika DPR menggunakan jalur cepat (fast track) dalam proses pembentukan UU IKN ? Apakah PDIP menolak ?
Baca juga:
Oleh karena itu, jika kita lihat apakah langkah-langkah politik dari Jokowi yang dianggap oleh elite politik sebagai langkah amoral itu benar-benar menggunakan standar etika moral yang obyektif ataukah karena langkah Jokowi ini tidak sejalan dengan kepentingan para elite politik tersebut ? Terhadap permintaan maaf Jokowi ini Hasto Sekjend PDIP mengatakan tidak cukup hanya minta maaf, tapi Jokowi harus melakukan pertanggungjawaban. Pertanyaannya selama ini PDIP kemana saja ?
Pertanyaan selanjutnya, apakah Jokowi harus melakukan pertanggungjawaban pada rakyat akibat dari kepemimpinannya selama ini? Dan bagaimana bentuk pertanggungjawabannya? Menurut Hasto bentuk pertanggungjawaban Jokowi adalah dengan menjelaskan kebijakannya selama ini, misalnya terkait data riil dari impor beras. Pertanyaannya apakah penjelasan Jokowi terkait impor beras merupakan bentuk pertanggungjawaban ? Keharusan Jokowi dalam menjelaskan impor beras memang merupakan bentuk pertanggungjawaban jika dilihat dari aspek kebijakan public. Khususnya terkait dengan transparansi kebijakan.
Baca juga:
Namun, keharusan Jokowi dalam menjelaskan terkait impor beras ini bukanlah pertanggungjawaban jika dilihat dari aspek hukum tata negara. Pertanggungjawaban dari aspek hukum tata negara harus bisa diuji efektivitasnya. Dalam teori hukum tata negara paling tidak ada dua macam pertanggungjawaban Presiden. Pertama adalah pertanggungjawaban politik dan kedua adalah pertanggungjawaban hukum.
Pertanggungjawaban politik bisa kita lihat jika Presiden mencalonkan lagi sebagai Capres pada periode kedua. Jika dia tidak terpilih lagi sebagai Presiden pada periode kedua, maka dapat dipastikan kalau pertanggungjawaban politiknya ditolak oleh rakyat. Hukumannya berupa rakyat tidak akan mempercayakan lagi mandat kekuasaannya pada dia.
Baca juga:
Sekarang ini Jokowi tidak akan bisa maju sebagai Capres, karena dia sudah menjabat dua periode. Dengan demikian, Jokowi tidak lagi terikat dengan tanggungjawab politik yang akan dia sampaikan pada rakyat melalui kampanyenya. Dengan demikian, permintaan maaf Jokowi kepada rakyat merupakan bentuk pertanggungjawaban moral kepada rakyat. Permintaan maaf Jokowi pada rakyat juga bisa dimaknai sebagai Upaya agar citra dia sebelum lengser terkesan baik dan sejarah akan mencatat hal-hal baik tentang dirinya.
Meskipun tidak mungkin sejarah mencatat bahwa Jokowi merupakan Presiden Indonesia yang tidak memiliki cacat sejarah. Karena bagaimanapun setiap Presiden pasti memiliki karakteristik yang bisa dilihat pada aspek positif dan negative sekaligus. Pembangunan fisik merupakan aspek positif dari Jokowi dan pelemahan demokrasi merupakan aspek negative sekaligus sisi gelap Jokowi.
Penulis adalah Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Negeri Surabaya