Memahami Makna Zaken Kabinet
Oleh : Hananto Widodo
mediamerahputih.id I Rumor terkait zaken kabinet atau kabinet yang diisi oleh orang-orang profesional pada pemerintahan Prabowo-Gibran terus menjadi perbincangan di wilayah publik. Sebenarnya perbincangan mengenai zaken kabinet ini merupakan perbincangan yang cukup usang, karena pada awal Orde Reformasi, pada setiap pembentukan pemerintahan baru, isu ini selalu muncul. Artinya setiap akan ada pergantian pemerintahan, janji dari pemerintah baru untuk membentuk zaken kabinet selalu dinyatakan oleh pemerintahan baru tersebut.
Oleh karena itu, janji dari pemerintahan Prabowo-Gibran untuk membentuk zaken kabinet sebenarnya merupakan isu klise. Karena secara empiris, kabinet selalu diisi oleh orang-orang dari parpol. Tentu pemerintah bisa berkilah bahwa orang-orang parpol banyak yang profesional. Apakah benar demikian ?
Baca juga:
Untuk menjawab pertanyaan itu, maka harus ada pertanyaan yang harus dijawab terlebih dahulu, yakni apa parameter dari Menteri yang berasal dari orang yang profesional? Berbicara mengenai profesionalisme, maka tidak lepas dari latar belakang dari Menteri yang bersangkutan. Bukan saja apakah dia berasal dari akademisi atau berasal dari parpol, tetapi lebih pada latarbelakang Pendidikan dan pengalaman yang dia miliki.

Kita tentu paham ada beberapa Menteri yang tidak memiliki latar belakang sesuai dengan Kementerian yang dia pimpin. Sebutlah nama Nadiem Makarim. Dia bukan merupakan Menteri yang memiliki pemahaman yang baik dengan masalah Pendidikan. Dia merupakan penguasaha Gojek. Akibatnya banyak kebijakan dari dia mendapat banyak kritik dari beberapa kalangan.
Baca juga:
Profesionalisme tentu terkait dengan masalah visi, misi dan program yang akan dijalankan oleh Menteri yang bersangkutan. Bagaimana bisa seseorang dengan latar belakang pengusaha menjadi Menteri Pendidikan. Tentu ini merupakan sesuatu yang tidak sinkron dengan fitrah Pendidikan yang tentu sangat berbeda dengan dunia bisnis.
Namun demikian, profesionalisme dalam arti sebenarnya sulit untuk diwujudkan karena semua visi-misi dan program dari Menteri akan sangat ditentukan oleh visi-misi Presiden. Visi-misi dari Presiden Jokowi lebih menekankan pada aspek bisnis, karena itu jangan heran manakala Presiden Jokowi memilih Nadiem Makarim yang memiliki latar belakang pengusaha sebagai Menteri Pendidikan, karena Jokowi memang ingin mengarahkan Pendidikan dengan dunia bisnis.
Baca juga:
Mencermati Putusan Nomor 604/G/2023/PTUN.JKT terkait Anwar Usman
Artinya Presiden Jokowi ingin agar peserta didik khususnya lulusan perguruan tinggi bisa terserap di dunia kerja dengan cepat. Oleh karena itu, program Merdeka Belajar Kurikulum Merdeka (MBKM) dari Nadiem Makarim sejalan dengan visi dan misi Jokowi. Pemahaman frasa “mencerdaskan kehidupan bangsa,” sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 hanya dimaknai sebagai sejauh mana para lulusan Perguruan Tinggi bisa laku di pasaran kerja. Jika lulusan perguruan tinggi laku di pasar kerja, maka negara dapat dianggap sudah berhasil mencerdaskan masyarakatnya.

Dengan demikian, untuk melihat profesionalisme pada pemerintahan Prabowo-Gibran akan sangat dipengaruhi oleh visi-misi dari Presiden Prabowo. Profesionalisme dalam konteks politik tidak akan ditentukan oleh keahlian dari Menteri an sich, tetapi juga akan dilihat pada visi-misi dari pemerintahan dalam hal ini adalah Prabowo Gibran. Jika dilihat pada jargon yang diusung oleh Prabowo-Gibran pada waktu Pilpres, maka dapat dipastikan kalau visi-misi Prabowo dapat dikatakan mirip dengan Jokowi, karena jargon pasangan Prabowo-Gibran ketika Pilres adalah melanjutkan program dari pemerintahan Jokowi.
Baca juga:
Dari pendekatan historis politik ketatanegaraan yang kita lacak pada masa pemerintahan pasca Orde Baru, maka dapat dipastikan bahwa arti dari profesionalisme itu bukan sekedar keahlian yang didasarkan pada Pendidikan formal, tetapi lebih didasarkan pada penyesuaian keahlian Menteri terhadap program besar yang diusung oleh pemerintah. Maka jangan heran ketika ada yang mengatakan orang parpol juga bisa disebut sebagai seseorang yang professional, karena secara politik orang parpol cenderung fleksible dengan program besar dari pemerintah.
Problem yang kemungkinan akan muncul pada masa pemerintahan Prabowo-Gibran adalah terkait dengan tuntutan akomodasi bukan hanya dari parpol pendukungnya, tetapi juga dari parpol rivalnya yang akan diakomodasi demi efektivitas pemerintahannya. Prabowo tentu ingin menduplikasi cara Jokowi dalam melakukan akomodasi terhadap semua kekuatan politik yang ada di parlemen. Sebagaimana diketahui, Jokowi pada periode 2019-2024 telah didukung oleh 82% kekuatan politik yang ada di parlemen.
Baca juga:
Persoalannya di sini adalah terkait dengan makna efektivitas pemerintahan yang direduksi hanya sekedar tidak mendapat gangguan dari lawan-lawan politiknya yang ada di parlemen. Padahal efektivitas pemerintahan tidak bisa hanya diukur dengan ukuran politis semata. Memang pemerintahan yang terlalu banyak gangguan dari lawan-lawan politiknya akan berpengaruh terhadap kinerja dari pemerintah, tetapi jika pemerintahan berjalan tanpa ada perimbangan yang signifikan dari parlemen, maka pemerintahan yang berjalan tidak akan mengetahui kesalahan-kesalahan yang mereka buat, karena tidak ada pihak lain yang memperingatkan kalau mereka telah berbuat salah.
Baca juga:
Pemberlakuan UU Kementerian Negara yang memberi hak preogratif yang luas kepada Presiden terkait dengan jumlah Menteri yang akan diangkat, akan bisa membuat pemerintahan hanya terkesan mempertahankan kekuasaannya dengan cara membagi-bagi kue kekuasaan di cabinet. Dengan demikian, makna keleluasaan Presiden dalam mengangkat Menteri sesuai dengan kebutuhan malah menjadi “sandera politik,” dari Presiden karena adanya ancaman dari lawan-lawan politiknya jika mereka tidak mendapatkan “tempat,” di kabinet.
Penulis adalah Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Negeri Surabaya