mediamerahputih.id I SURABAYA – Menjelang akhir masa jabatan Presiden Joko Widodo (Jokowi), berbagai kebijakan dan langkah politik yang diambilnya mengundang perdebatan publik. Pengamat politik dan praktisi hukum tata negara dari Universitas Negeri Surabaya (Unesa), Hananto Widodo, menyoroti beberapa keputusan yang dianggap kontroversi Jokowi di penghujung jabatan yang memicu kekhawatiran terkait kelangsungan demokrasi di Indonesia.
Menurut Hananto, isu perpanjangan masa jabatan presiden hingga tiga periode pernah mengemuka selama pemerintahan Jokowi. Meskipun wacana tersebut akhirnya gagal, langkah-langkah politik yang diambil Jokowi setelahnya, termasuk pencalonan anak-anaknya di kancah politik nasional, memunculkan dugaan bahwa Jokowi berupaya membangun dinasti politik.
Baca juga:
Jokowi Apresiasi Stabilitas Harga Pangan di Pasar Soponyono Surabaya
“Publik curiga bahwa ada upaya untuk mempertahankan kekuasaan dan memuluskan jalan bagi keluarganya dalam pilkada serentak 2024,” jelas Hananto.
Pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden dan Kaesang Pangarep yang disebut-sebut akan maju dalam Pilkada, menurutnya, menjadi bagian dari polemik ini. Selain itu, Hananto juga membandingkan legacy Jokowi dengan pendahulunya, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang dinilai berhasil menyelamatkan demokrasi dengan membatalkan RUU Pilkada melalui Perppu di akhir masa jabatannya. Berbeda dengan Jokowi, yang justru langkah-langkahnya dinilai merusak demokrasi.
Baca juga:
Tak hanya itu, dalam konteks negara hukum, pembatasan tersebut tidak bisa dilanggar, meskipun atas nama rakyat. Hananto menyebutkan bahwa loyalitas partai politik pendukung presiden cenderung memudar pada periode kedua, sehingga koalisi pendukung sering kali mulai pecah.

Banyak pihak mencurigai bahwa Jokowi terlibat dalam dinamika politik yang dianggap berupaya membangun dinasti politik di Indonesia, meskipun ada pembelaan bahwa fenomena ini tidak hanya terjadi pada Jokowi tetapi juga di partai politik lainnya. Bagi Hananto, legacy Jokowi meninggalkan “luka” pada demokrasi, terutama terkait dugaan upaya mempertahankan kekuasaan di penghujung masa jabatannya.
Baca juga:
Jokowi: Golkar, Partai Politik yang Sudah Matang dan Punya Pengalaman
Kontroversi ini, menurut Hananto, mencederai demokrasi Indonesia dan menimbulkan kekhawatiran di kalangan intelektual serta masyarakat luas. “Legacy politik Jokowi di penghujung jabatannya akan terus menjadi topik diskusi panas di berbagai kalangan politik dan hukum di tanah air,” terangnya.
Jokowi Berpamitan di Surabaya
Presiden Jokowi menyempatkan diri mengecek harga dan stok kebutuhan pokok di Pasar Soponyono, Kecamatan Rungkut, Surabaya, pada Jumat (6/9/2024) pagi. Kunjungan tersebut meninggalkan kesan tersendiri bagi warga Surabaya.
Baca juga:
Secara spontan, Jokowi naik ke sebuah tangga di luar pasar dan meminta megafon dari ajudannya. Dengan penuh kehangatan, ia berpamitan kepada para pedagang dan pengunjung, mengingat masa jabatannya yang akan berakhir pada 20 Oktober 2024.

“Saya mohon pamit. Saya ingin mohon maaf, pangapunten, jika ada hal-hal yang kurang berkenan di hati Bapak, Ibu semuanya. Terima kasih,” ujar Jokowi, menutup kunjungannya dengan rasa haru.(ton)