Mencermati Putusan Nomor 604/G/2023/PTUN.JKT
Oleh : Hananto Widodo
mediamerahputih.id I Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta telah memutuskan untuk mengabulkan sebagian gugatan yang diajukan oleh Hakim Konstitusi, Anwar Usman, terkait dengan pencopotan dirinya sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi (MK). Gugatan tersebut diajukan oleh Anwar Usman pada tanggal 23 November 2023, dengan nomor perkara 604/G/2023/PTUN.JKT. Dalam putusan terhadap pokok perkara, PTUN memutuskan untuk membatalkan keputusan pengangkatan Hakim Konstitusi Suhartoyo sebagai Ketua MK, sebagaimana yang dimohonkan dalam gugatan tersebut.
Kekuatan suatu putusan terletak pada argumentasi yang dibangun oleh Majelis Hakim dan para pihak. Argumentasi itu tentu didasarkan pada dasar hukum dan fakta-fakta yang ada diajukan di pengadilan. Dalil terhadap suatu gugatan tentu akan diajukan oleh penggugat. Hal ini sesuai dengan asas actori incumbit probatio, yang artinya siapa yang mendalilkan maka dialah yang wajib untuk membuktikan.
Baca juga:
Pembuktian itu akan tergantung pada kasus apa yang sedang diajukan oleh penggugat. Jika dalam kasus sengketa tata usaha negara, maka pembuktian itu akan mengacu pada obyek sengketa (objectum litis) dari sengketa tata usaha negara itu. Obyek yang dipersengketakan itu akan diuji di pengadilan apakah obyek sengketa berupa Keputusan tata usaha negara (KTUN) itu sah atau tidak sah.
Dengan demikian, penggugat akan mengajukan argumentasi yang didasarkan pada alat bukti yang dia pegang bahwa KTUN yang sedang dia gugat tidak sah. Dalam Pasal 1 angka 9 UU No. 51 Tahun 2009 ditegaskan kalau unsur KTUN itu adalah penetapan tertulis, dikeluarkan oleh badan/atau pejabat tata usaha negara, bersifat konkrit, individual, final, berisi tindakan hukum tata usaha negara dan menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Baca juga:
Jika mengacu pada definisi KTUN yang diatur dalam UU No. 51 Tahun 2009, maka seharusnya gugatan Anwar Usman terhadap Keputusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia No. 17 Tahun 2003 adalah tidak dapat diterima (niet Ontvankelijke Verklaard). Karena Keputusan Mahkamah Konstitusi bukan merupakan KTUN, jika dilihat dalam perspektif UU No. 51 Tahun 2009. Oleh karena itu, terkesan aneh jika PTUN JKT mengabulkan sebagian dari gugatan Anwar Usman dengan cara membatalkan Keputusan MK tersebut.
Pasal 87 UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan memperluas makna dari KTUN, yang antara lain adalah Keputusan Badan dan/atau Pejabat Tata Usaha Negara di lingkungan eksekutif, legislatif, yudikatif, dan penyelenggara negara lainnya. Perluasan makna ini yang menjadi rujukan baik bagi penggugat, tergugat maupun hakim dalam berperkara di PTUN. Sehingga hakim akhirnya memutus mengabulkan sebagian dari gugatan Anwar Usman.
Baca juga:
Pertanyaanya adalah apakah Keputusan MK yang menjadi obyek sengketa ini termasuk KTUN menurut UU No. 30 Tahun 2014 ? Pasal 87 UU No. 30 Tahun 2014 ini memang menyatakan Keputusan di lingkungan eksekutif, legislative dan yudikatif. Namun yang harus dipahami adalah Keputusan ini merupakan Keputusan yang dikeluarkan oleh Badan dan/atau Pejabat Tata Usaha Negara. Oleh karena itu, jika menggunakan perspektif teori fungsi, maka yang dimaksud sebagai Badan dan/atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah Pejabat yang melaksanakan fungsi pemerintahan, yang tak lain adalah eksekutif.
Sebagaimana diketahui, baik di lingkungan eksekutif, legislative maupun yudikatif terdapat secretariat penunjang yang diisi oleh Aparatur Sipil Negara (ASN). Di lingkungan pengadilan, terdapat ASN yang berfungsi untuk menunjang fungsi dari pengadilan. Secara hierakhi kepegawaian, mereka tidak bertanggungjawab kepada para hakim, tetapi kepada ASN yang menugasi mereka dan yang menempatkan mereka di lingkungan pengadilan.
Baca juga:
Pertanyaannya, apakah para hakim konstitusi itu merupakan badan tata usaha negara ? Dengan demikian, apakah produk hukum MK berupa Keputusan ini dapat diuji oleh pengadilan lainnya ? Para hakim konstitusi ini tentu bukan merupakan badan tata usaha negara, tetapi para hakim konstitusi merupakan pelaksana fungsi kehakiman di lingkungan Mahkamah Konstitusi.
Jika berpikir secara progresif, maka argumentasi yang keluar bukan argumentasi formal terkait apakah Keputusan MK itu KTUN atau tidak, tetapi apakah Keputusan MK itu merugikan hak seseorang, dalam hal ini Anwar Usman atau tidak. Cara berpikir progresif harus mampu untuk melampaui sekat-sekat formal yang telah digariskan oleh peraturan perundang-undangan, karena cara berpikir progresif tidak hanya bertujuan untuk menjaga kepastian hukum, tetapi juga memfasilitasi seseorang yang telah dilanggar haknya agar memperoleh keadilan secara hukum.
Baca juga:
Anwar Usman merasa bahwa Keputusan MK ini telah merampas haknya sebagai Ketua MK, sehingga dia menggugat Keputusan ini agar haknya sebagai Ketua MK bisa dipulihkan. Artinya dia berharap agar bisa kembali menjabat sebagai Ketua MK. Masalahnya, lahirnya Keputusan MK ini merupakan tindak lanjut dari putusan MKMK yang telah memberhentikan Anwar Usman sebagai Ketua MK. Oleh karena itu, PTUN tidak berwenang untuk menilai suatu Keputusan yang merupakan hasil tindak lanjut dari suatu putusan pengadilan etik. Sehingga jika PTUN membatalkan Keputusan MK ini secara keseluruhan, maka secara logika PTUN juga menilai putusan dari MKMK yang bukan wewenangnya.
Amar putusan PTUN ini memerintahkan pada MK untuk mencabut Keputusan MK No. 17 Tahun 2023. Namun, putusan ini belum inkract karena MK masih bisa untuk melakukan banding. Banding yang paling tepat adalah untuk mempermasalahkan PTUN Jakarta yang telah menerima gugatan dari Anwar Usman ini. Padahal obyek gugatannya bukan merupakan KTUN sebagaimana dimaksud dalam UU No. 51 Tahun 2009 maupun UU No. 30 tahun 2014. Apakah cara berpikir progresif ini bisa dilakukan untuk menguji Keputusan MK ini ? Cara berpikir progresif tentu bisa dilakukan jika memang Keputusan MK ini benar-benar melanggar hak dari Anwar Usman.
Baca juga:
Putusan MKMK telah memutuskan kalau Anwar Usman terbukti melakukan pelanggaran etik berat terkait dengan proses lahirnya putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 yang berimplikasi pada majunya Gibran Rakabuming Raka sebagai Cawapres Prabowo. Dengan demikian, petitum dari Anwar Usman adalah agar dia bisa menjabat kembali sebagai Ketua MK. Pertanyaannya jika putusan PTUN ini membatalkan putusan Keputusan MK , tetapi di satu sisi PTUN menolak untuk memulihkan kembali hak dari Anwar Usman, lalu buat apa putusan PTUN ini mengabulkan gugatan Anwar Usman ?
Penulis adalah Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Negeri Surabaya