Legacy Politik Jokowi
Oleh : Hananto Widodo
mediamerahputih.id I Presiden pada masa akhir periode jabatannya bagaimana seorang Presiden tersebut bisa meninggalkan warisan atau legacy bagi bangsa ini, sehingga dia akan dikenang sebagai Presiden yang lebih mementingkan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi atau golongannya. Namun langkah politik Jokowi di penghujung akhir masa jabatannya mengundang kecaman dari berbagai kalangan. Karena Langkah-langkah Jokowi ini dianggap merusak demokrasi.
Ketika kita sepakat untuk melakukan pembatasan terkait masa jabatan Presiden menjadi dua periode, maka pembatasan tersebut tentu pasti juga memiliki resiko yang tidak ringan. Resiko itu antara lain, ketakutan dari penguasa yang merasa tidak cukup dengan batasan tersebut. Dan hal itu terbukti ketika isu tiga periode begitu kuat pada masa Pemerintahan Jokowi. Alasan yang melatarbelakangi ini tentu bisa bermacam-macam, mulai dari adanya Pekerjaan Rumah dari Presiden yang membutuhkan waktu yang lebih panjang lagi untuk diselesaikan dan alasan bahwa rakyat masih mengharapkan Presiden tersebut untuk menjadi Presiden kembali.
Baca juga:
Indonesia memang menganut prinsip demokrasi, tetapi prinsip demokrasi juga harus dibatasi dengan prinsip yang lain, yakni prinsip negara hukum dan prinsip konstitusi. Oleh karena itu, tidak bisa dengan mengatasnamakan rakyat bahwa rakyat masih membutuhkan Jokowi, sehingga seyogyanya Jokowi diberi kesempatan untuk memimpin Indonesia kembali.
Namun demikian, ketakutan yang dialami oleh Presiden biasanya akan dialami ketika Presiden menjabat pada masa kedua periode jabatannya. Mengapa demikian ? Karena pada masa ini, loyalitas parpol pendukungnya mulai memudar. Parpol-parpol yang pada awalnya secara solid mendukung Presiden, maka pada periode terakhir jabatannya ini, koalisi pendukung Presiden biasanya mulai akan pecah.
Baca juga:
Oleh karena itu, biasanya yang akan dipikirkan oleh Presiden pada masa akhir periode jabatannya adalah pertama, bagaimana Presiden tersebut bisa meninggalkan warisan atau legacy bagi bangsa ini, sehingga dia akan dikenang sebagai Presiden yang lebih mementingkan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi atau golongannya. SBY merupakan Presiden yang berusaha untuk meninggalkan legacy di ujung pemerintahannya, berupa penerbitan Perppu untuk membatalkan UU Pilkada yang baru saja disahkan oleh DPR pada waktu itu.
Pada waktu itu, koalisi pemerintahan yang dikomandoi oleh Demokrat tidak mampu untuk menahan keinginan dari sebagian besar parpol untuk mengesahkan RUU Pilkada yang secara substansi berlawanan dengan aspirasi public. Publik menghendaki agar Pilkada dilakukan melalui mekanisme pemilihan secara langsung oleh rakyat, sedangkan DPR RI menghendaki mekanisme pemilihan Kepala Daerah dipilih melalui DPRD.
Baca juga:
Ketika terjadi voting pada rapat paripurna, kubu yang menghendaki agar pemilihan Kepala Daerah dilakukan melalui DPRD yang menang. Ketika SBY pulang dari lawatannya dari AS pada tahun 2014, SBY langsung melakukan gebrakan berupa pembatalan RUU Pilkada tersebut melalui Perppu dan memberlakukan sistem Pilkada secara langsung oleh rakyat.
Berbeda dengan SBY, meskipun sama-sama kontroversial, tetapi Langkah SBY di penghujung akhir masa jabatannya lebih diapresiasi oleh kalangan pegiat demokrasi, karena Langkah SBY dianggap menyelamatkan demokrasi. Sedangkan langkah Jokowi di penghujung akhir masa jabatannya mengundang kecaman dari berbagai kalangan. Karena Langkah-langkah Jokowi ini dianggap merusak demokrasi.
Baca juga:
Mulai dengan kecurigaan publik bahwa Jokowi ingin menunda pemilu, setelah upayanya untuk memperpanjang masa jabatannya menjadi tiga periode gagal, kemudian terjadinya perkawinan politik antara adik Jokowi dan Ketua MK Anwar Usman, lalu diteruskan dengan skandal putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 yang menjadi tiket bagi putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka sebagai Cawapres dari Prabowo Subianto. Setelah itu, kontroversi dari lahirnya putusan MA No. 23p/HUM/2024 yang dianggap memberi peluang bagi Kaesang Pangarep untuk maju sebagai Calon Gubernur. Dan yang terakhir terkait upaya pembangkangan yang dilakukan oleh sebagian besar anggota DPR RI untuk menentang putusan MK No. 60/PUU-XXII/2024 dan putusan MK No. 70/PUU-XXII/2024 dengan cara melakukan revisi terhadap UU Pilkada yang justru bertentangan dengan kedua putusan MK tersebut.
Publik curiga bahwa Jokowi terlibat dalam semua kegaduhan itu. Paling tidak ada dua alasan kenapa public curiga kalau Jokowi ada dibalik kegaduhan kegaduhan politik tersebut. Pertama, Jokowi menyatakan kalau dia akan menghormati Keputusan-keputusan dari tiap-tiap lembaga negara, dalam hal ini MK dan DPR. Penghormatan terhadap kedua lembaga ini baik terhadap DPR maupun MK secara proporsional, justru malah membuat kondisi menjadi gaduh.
Mengapa demikian ? Karena antara putusan MK dan kehendak DPR untuk merevisi UU Pilkada memiliki kepentingan yang berbeda. Apalagi pada waktu itu, publik lebih medukung putusan MK dan menentang rencana yang dilakukan DPR untuk melakukan revisi terhadap UU Pilkada, sehingga ketika Jokowi menyatakan menghormati sikap DPR dan MK, maka public akan menilai jika Jokowi cenderung berpihak pada DPR.
Baca juga:
Mencermati Putusan Nomor 604/G/2023/PTUN.JKT terkait Anwar Usman
Kedua, bahwa salah satu dari putusan MK itu dianggap menjegal putra Jokowi, yakni Kaesang Pangarep untuk maju sebagai Calon Gubernur, sehingga wajar kalau Jokowi dianggap dibalik upaya untuk menyelamatkan putranya agar bisa maju dalam Pilkada serentak 2024. Langkah-langkah Jokowi yang dianggap mencederai demokrasi ini, karena Jokowi dianggap ingin mempertahankan kekuasaannya dengan maksud untuk membangun dinasti Jokowi, antara lain dengan cara menjadikan Gibran sebagai Cawapres, Boby Nasution sebagai Cagub Sumut dan Kaesang Pangarep sebagai Cagub Jateng.
Baca juga:
Beberapa pihak yang melakukan pembelaan terhadap Jokowi mengatakan bahwa dinasti politik itu tidak hanya terjadi pada Jokowi tapi juga terjadi pada petinggi parpol seperti Puan di PDIP, AHY dan Ibas di Demokrat, dan beberapa parpol lainnya. Tuduhan public terhadap Jokowi yang dianggap berupaya untuk membangun dinasti politik, bukan hanya terkait dengan konteks parpol semata, tetapi ini lebih pada legacy yang ditinggalkan oleh Jokowi di penghujung masa jabatannya, yang dianggap oleh sebagian besar kalangan intelektual telah meninggalkan “luka” pada demokrasi kita.
Penulis adalah Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Negeri Surabaya