mediamerahputih.id I Jagad perpolitikan Indonesia kembali diguncang dengan peristiwa ketatanegaraan yang tidak lazim, tetapi terkesan dipaksakan. DPR RI telah memberlakukan Peraturan DPR tentang tata tertib atau tatib DPR, di mana substansi dari Tatib tersebut adalah DPR dapat mengevaluasi lembaga-lembaga negara dan evaluasi DPR yang berupa rekomendasi itu bersifat mengikat.
Pertanyaannya, apakah tindakan DPR dengan memberlakukan Tatib tersebut bukan merupakan tindakan yang kebablasan ? Untuk menjawab pertanyaan ini, maka yang harus dipahami adalah DPR ini merupakan lembaga politik, sehingga seberapa besar kekuatan DPR ini akan sangat bergantung pada konfigurasi politik saat ini. Setelah era reformasi, DPR yang sebelumnya hanya bersifat tukang stempel (rubber stump) terhadap setiap kebijakan Presiden, berubah menjadi lembaga politik yang super body.
Baca juga :
Masa Depan Demokrasi Pasca Penghapusan Presidential Threshold
Tidak ada satupun lembaga negara yang sanggup menghentikan sepak terjang dari DPR, kecuali satu yakni dengan jalan kompromi. Jumlah cabinet yang membengkak pada era Presiden Prabowo, tidak lain dan tidak bukan adalah untuk “membungkam,” keliaran dari DPR ini. Memang kabinet akan aman dari “serangan,” dari Presiden, tetapi lembaga yang lain belum tentu demikian.
Kita tentu ingat dengan peristiwa hak angket DPR terhadap KPK. Presiden Jokowi pada waktu itu memang aman dari “serangan,” DPR, karena Jokowi telah mengamankan pemerintrahannya dari “serangan” DPR dengan cara merangkul hampir 80% kekuatan parpol yang ada di DPR untuk masuk dalam pemerintahannya.
Baca juga :
Demikian juga dengan pemberlakuan Tatib DPR RI yang dapat mengikat lembaga negara yang lain. Secara teoritik, Tatib DPR ini tidak dapat berlaku keluar, karena Tatib ini merupakan peraturan yang tujuannya adalah untuk mengatur tentang tata tertib anggota DPR, seperti peran pimpinan dalam persidangan. Namun demikian, DPR pasti punya dasar untuk memberlakukan Tatib ini untuk bisa mengikat secara umum.

Apa dasar dari DPR sehingga berani untuk memberlakukan Tata Tertib ini untuk mengikat keluar ? Pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundangan mengatur hierarkhi peraturan perundang-undangan yang dimulai dari UUD NRI Tahun 1945, TAP MPR, UU/Perppu, PP, Perpres, Perda Provinsi dan Perda Kabupaten/Kota.
Baca juga :
Namun, Pasal 8 ayat (1) UU ini menyatakan Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat. Sementara itu, pada ayat (2) menyatakan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.
Baca juga :
Berdasarkan Pasal 8 ayat (1) dan (2) UU No. 12 Tahun 2011 ini, maka akan terlihat bahwa Peraturan DPR merupakan peraturan yang diakui keberadaannya oleh UU ini. Oleh karena itu, maka yang menjadi persoalan terbesar terkait dengan Tatib DPR yang dapat mengikat keluar ini, bukan semata-mata dari Tatib ini, tetapi lebih pada pengaturan Pasal 8 ayat (1) dan (2) ini yang membuat Tatib ini bisa mengikat keluar. Bentuk hukum dari Tatib adalah Peraturan DPR yang ditetapkan oleh DPR RI.
Pengakuan dari keberadaan Peraturan DPR ini memang menjadi pangkal masalah dari Tatib DPR yang kontroversial ini. DPR tentu akan mengatakan kalau Tatib DPR adalah Peraturan DPR yang keberadaannya diakui oleh UU. Jika kita kaji terkait dengan Peraturan DPR, maka dapat kita katakan bahwa hampir semua Peraturan DPR, materi muatannya tidak bisa mengatur secara umum. Mengapa Peraturan DPR secara materi muatan tidak bisa mengatur persoalan umum ? Karena memang hanya ada beberapa Peraturan DPR yang berkaitan dengan public. Antara lain adalah terkait Mahkamah Kehormatan Dewan, karena Mahkamah ini yang akan menerima aduan dari masyarakat terkait dugaan pelanggaran etik yang dilakukan oleh anggota DPR. Dan Peraturan DPR yang mengatur tata cara pelaksanaan partisipasi masyarakat terhadap pembentukan UU.
Baca juga :
Persoalan lainnya adalah sejauh mana DPR dapat melakukan evaluasi terhadap lembaga negara ? Jika evaluasi dari DPR terhadap lembaga negara lainnya dianggap sebagai salah satu pengawasan DPR, maka seharusnya yang menjadi obyek pengawasan dari DPR adalah kewenangan dari lembaga negara tersebut. Fit and proper test yang menjadi salah satu dalih dari DPR untuk memberlakukan Tatib ini bukan merupakan bentuk pengawasan DPR. Fit and proper test ini merupakan suatu rangkaian dari proses seleksi yang dilakukan oleh Pemerintah dan DPR. Fit and proper test ini merupakan konsekuensi dari prinsip keterbukaan dalam seleksi pejabat public.
Jabatan yang langsung bersentuhan dengan kewenangan DPR adalah hakim konstitusi. Sebagaimana kita ketahui, hakim MK yang berjumlah 9 orang ini, 3 orang diusulkan dari DPR, 3 orang dari Presiden dan 3 orang dari MA. Pertanyaannya apakah DPR bisa menarik hakim MK yang berasal dari usulan DPR ? Penarikan hakim MK tentu hanya bisa dilakukan oleh DPR berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Syarat pemberhentian hakim MK antara lain sudah memasuki usia pensiun, meninggal dunia, dan mengundurkan diri. DPR tidak bisa memberhentikan hakim MK yang berasal dari usulan DPR karena hakim MK itu kerap membatalkan UU.
Baca juga :
Untuk institusi lainnya dapat dikatakan mayoritas pejabatnya diangkat oleh Presiden, seperti Kapolri dan Panglima TNI. Kapolri diangkat oleh Presiden dengan persetujuan DPR. Dengan demikian, kewenangan pengangkatan Kapolri ada di tangan Presiden. DPR tidak bisa memberhentikan Kapolri, karena Kapolri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden, bukan DPR.
Dalam rangka check and balances tentu kewenangan DPR dalam melakukan pengawasan tidak serta merta bisa melahirkan rekomendasi yang bersifat mengikat. Artinya jika DPR merekomendasikan pada Presiden untuk memberhentikan Kapolri, maka Presiden tidak bisa serta merta harus patuh pada rekomendasi DPR. Karena Presiden yang sebenarnya berwenang untuk menilai kinerja dari Kapolri dan sifat rekomendasi dari DPR hanya bersifat saran dan masukan.
Penulis adalah Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Negeri Surabaya