Refleksi Hari Parlemen Se-Dunia
Oleh : Hananto Widodo
mediamerahputih.id I Setiap tanggal 30 Juni selalu diperingati sebagai hari parlemen internasional atau hari parlemen se-dunia. Refleksi hari parlemen se-Dunia ini tentu penting bagi Indonesia, karena Indonesia merupakan bagian dari komunitas internasional. Peran parlemen tentu akan sangat berkaitan dengan persoalan politik dan ketatanegaraan suatu bangsa. Bagaimana peran parlemen dari suatu negara ? Tentu ini sangat ditentukan oleh sistem pemerintahan yang dipilih oleh negara itu.
Paling tidak ada dua sistem pemerintahan utama yang dianut oleh negara-negara di dunia. Pertama adalah sistem parlementer, sedang yang kedua adalah sistem presidensiil. Perbedaan paling fundamental antara sistem parlementer dan sistem presidensiil adalah terkait dengan apa yang menduduki kedudukan yang paling tinggi dalam sistem ketatanegaraan dari negara yang bersangkutan. Dalam sistem parlementer, parlemenlah yang menduduki posisi yang paling tinggi. Menurut A. V Dicey, dalam sistem parlementer, khususnya di Inggris, parlemen dapat berbuat apa saja, kecuali satu hal, yakni menjadikan laki-laki sebagai Perempuan dan menjadikan Perempuan sebagai laki-laki.
Baca juga:
Berbeda dengan sistem parlementer yang menempatkan parlemen sebagai lembaga yang lebih tinggi dibanding eksekutif atau yang lebih kita kenal sebagai sistem supremasi parlemen, dalam sistem presidensiil yang memiliki posisi yang paling tinggi dalam sistem ketatanegaraannya, yakni konstitusi. Oleh karena itu, dalam sistem presidensiil juga dikenal dengan sistem supremasi konstitusi. Sistem pemerintahan dari suatu negara dapat kita temukan dalam konstitusinya.
Dalam sistem parlementer, konstitusinya mengatur mengenai kedudukan dan kewenangan parlemen yang lebih tinggi dibanding eksekutif, yakni Perdana Menteri beserta kabinetnya. Bahkan di Inggris tidak memiliki konstitusi tertulis. Konstitusi di Inggris berupa konvensi ketatanegaraan. Sedangkan dalam sistem presidensiil, konstitusinya mengatur mengenai pembagian atau pemisahan kewenangan antar lembaga negara.
Baca juga:
Oleh karena itu, dalam sistem presidensiil terdapat check and balances antar lembaga negara. Dalam sistem presidensiil, tidak mengenal adanya lembaga yang lebih tinggi, sebagaimana yang terjadi dalam praktik ketatanegaraan di negara- negara yang menganut sistem parlementer. Dalam sistem parlementer, jika parlemen tidak setuju dengan kebijakan dari cabinet, maka parlemen dapat menjatuhkan mosi tidak percaya kepada cabinet. Mosi tidak percaya dari parlemen terhadap cabinet bisa berakibat pada bubarnya sebuah pemerintahan.

Berbeda dengan sistem parlementer, dalam sistem presidensiil, Presiden tidak dapat diberhentikan di tengah masa jabatannya dengan alasan politik. Presiden dalam sistem presidensiil, hanya dapat diberhentikan di tengah masa jabatannya, jika Presiden terbukti melanggar hukum pidana atau melakukan tindakan tercela (misdemeanor). Alasan sulitnya pemberhentian Presiden di tengah masa jabatannya, dengan alasan agar stabilitas politik bisa terjamin. Terjaminnya stabilitas politik tentu akan berdampak pada stabilitas ekonomi.
Baca juga:
Apakah Putusan MK terkait PHPU Presiden 2024 bercorak konservatif?
Pasca reformasi, tepatnya ketika MPR melakukan perubahan terhadap UUD 1945, terdapat 5 kesepakatan panitia ad hoc I MPR yakni, tidak mengubah pembukaan UUD 1945, mempertegas sistem presidensiil, tetap mempertahankan bentuk negara kesatuan republic Indonesia, Penjelasan UUD 1945 yang memuat hal normative dimasukkan dalam Pasal-Pasal dan melakukan perubahan secara addendum.
Dari kelima kesepakatan tersebut, yang paling menarik adalah terkait dengan pilihan sistem pemerintahan yang kita anut, yakni mempertegas sistem presidensiil. Dengan adanya frasa “mempertegas” berarti UUD 1945 sebelum perubahan telah menganut sistem presidensiil, tetapi tidak murni. Tidak murninya sistem presidensiil sebelum perubahan UUD 1945 adalah karena adanya lembaga MPR sebagai lembaga tertinggi negara.
Baca juga:
Sebagaimana diketahui, dalam sistem presidensiil tidak mengenal adanya lembaga negara yang lebih tinggi dibandingkan lembaga negara yang lain. Oleh karena itu, salah satu Upaya pemurnian sistem presidensiil sebagaimana dianut dalam UUD 1945 adalah dengan cara menghapus kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Jika ada lembaga negara yang memiliki kedudukan dan kewenangan yang lebih tinggi terhadap lembaga negara yang lain, maka mekanisme check and balances yang merupakan ciri utama dari sistem presidensiil tidak akan berjalan secara maksimal.
Bukan berarti dengan adanya pemisahan kekuasaan yang lebih jelas atau mekanisme check and balances yang lebih jelas, maka tidak ada lembaga negara yang lebih dominan dibandingkan lembaga negara yang lain. Kalau kita hitung secara matematika kekuasaan, maka Presiden merupakan lembaga yang memiliki kekuasaan yang paling luas dibandingkan lembaga negara yang lain. DPR hanya memiliki kewenangan legislasi, pengawasan dan anggaran. Pengadilan hanya memiliki kewenangan untuk mengadili dan memvonis. Residu atau sisa dari kewenangan DPR dan pengadilan adalah kewenangan Presiden. Maka kita dapat membayangkan betapa besarnya kewenangan Presiden dalam sistem presidensiil.
Baca juga:
Oleh karena itu, jika Presiden disokong oleh mayoritas kekuatan politik yang ada di DPR, maka dapat dipastikan Presiden akan tergoda untuk membangun sebuah rezim pemerintahan yang tirani. Mengapa demikian ? Karena jika semua kekuatan politik yang ada di DPR merupakan bagian dari Pemerintahan, maka pemerintahan akan berjalan tanpa adanya pengawasan. Pemerintahan yang berjalan tanpa adanya pengawasan, maka pemerintahan itu akan menjelma menjadi pemerintahan yang otoriter.
Baca juga:
Ingat adagium dari Lord Acton, “power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely” (kekuasaan itu cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut). Sebuah pemerintahan akan bertindak secara korup, jika dia didukung secara absolut oleh seluruh komponen politik yang ada. Dengan demikian, untuk mencegah adanya pemerintahan yang korup, maka harus ada pengawasan yang tegas dari lembaga yang lain, yakni DPR sebagai Upaya untuk melakukan mekanisme check and balances.
Penulis adalah Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Negeri Surabaya