Menggugat UU TNI
Oleh : Hananto Widodo
mediamerahputih.id I Meskipun RUU TNI mengalami banyak penolakan, tetapi DPR dan Pemerintah tetap bersikukuh untuk sama-sama menyetujui RUU TNI untuk menjadi UU. Ketika DPR dan Pemerintah telah memberikan persetujuan bersama, maka tinggal dua tahapan lagi agar revisi UU TNI ini menjadi UU. Setelah persetujuan bersama antara DPR dan Pemerintah, maka tahapan selanjutnya adalah pengesahan dari Presiden. UUD NRI Tahun 1945 memberikan batas maksimal 30 hari pasca persetujuan bersama tersebut. Jika dalam waktu 30 hari Presiden tidak bersedia untuk mengesahkan RUU yang telah mendapatkan persetujuan bersama tersebut, maka RUU tersebut sah dan wajib diundangkan.
Jika melihat pada kronologis proses perubahan UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI ini, maka dapat ditebak secara mudah kalau Presiden Prabowo akan segera mengesahkan RUU TNI ini jauh sebelum 30 hari pasca persetujuan bersama antara DPR dan Pemerintah ini. Tebakan ini dapat dilihat pada salah 1 anggota DPR yang menemui Presiden satu hari sebelum rapat paripurna DPR.
Baca juga :
Langkah Presiden untuk segera mengesahkan RUU revisi UU TNI ini tentu juga akan dilanjutkan pada tahapan selanjutnya, yakni tahapan pengundangan. Ketika RUU revisi UU TNI ini diundangkan, maka revisi UU TNI ini akan mengikat seluruh masyarakat. Oleh karena itu, ketika sudah berbentuk UU, maka UU ini baru bisa dilakukan permohonan judicial review ke MK. Arah permohonan pengujian ke MK yang akan dilakukan oleh pemohon sudah bisa kita tebak arahnya, yakni mengarah pada pengujian formil.

Pertanyaannya, mengapa pemohon cenderung untuk memilih pengujian formil ketimbang pengujian materiil ? Paling tidak ada dua alasan yang bisa kita tebak. Pertama, kalau kita ikuti perdebatan di publik terkait proses perubahan UU TNI, memang perdebatannya itu tidak hanya mengarah pada persoalan substansi dari UU TNI, tetapi juga mengarah pada persoalan prosedur pembentukan UU yang dianggap dilanggar oleh pembentuk UU.
Baca juga :
Masa Depan Demokrasi Pasca Penghapusan Presidential Threshold
Salah satu hal yang paling penting dalam proses pembentukan UU adalah bahwa ketika pembentuk UU melakukan proses perubahan terhadap UU TNI, maka pembentuk UU harus melibatkan partisipasi yang bermakna. Praktiknya, revisi UU TNI ini dilakukan oleh DPR dengan tanpa melibatkan partisipasi masyarakat. Kalaupun DPR akhirnya melibatkan partisipasi masyarakat, tetapi itu karena ada NGO yang menerobos masuk ke rapat DPR, ketika rapat DPR ini digelar oleh DPR di sebuah hotel bintang lima di jakarta.
Meskipun akhirnya terjadi diskusi antara DPR dan NGO, tetapi NGO itu tidak memegang draft perubahan dari UU TNI tersebut. Bahkan konon di web DPR, draft rancangan perubahan UU TNI tidak ada. Jika benar demikian, maka DPR telah melanggar asas keterbukaan sebagaimana diatur dalam UU No. 12 Tahun 2011.
Baca juga :
Dalam aspek hukum administrasi, asas keterbukaan ini merupakan syarat dari lahirnya partisipasi masyarakat. Tidak mungkin ada partisipasi masyarakat tanpa adanya keterbukaan dari DPR. Apakah DPR benar-benar menerapkan asas keterbukaan akan terlihat pada kebijakan dari DPR ketika DPR mengunggah draft resmi rancangan perubahan UU TNI di web resmi DPR RI. Jika DPR tidak mengunggah draft rancangan perubahan TNI tersebut, maka DPR dianggap melanggar asas keterbukaan ini.
Asas keterbukaan merupakan syarat utama dari lahirnya partisipasi masyarakat, karena dengan adanya keterbukaan, maka masyarakat bisa mengajukan keberatan terhadap substansi dari revisi UU TNI, jika substansi dari revisi UU TNI ini dianggap merugikan masyarakat. Adanya keberatan dari masyarakat ini dan kemudian keberatan dari masyarakat ini direspon oleh DPR, maka proses deliberasi dapat dikatakan telah berjalan.
Baca juga :
Menyoal Pemilihan Kepala Desa Dipilih Melalui Mekanisme Parpol
Alasan kedua kenapa lebih memilih jalur pengujian formil ketimbang materiil karena di samping publik tidak mengetahui secara pasti dari substansi UU yang akan diujikan, sehingga hasil kajian yang akan menjadi dasar pengujian UU ini kurang kuat, juga akibat hukum jika dilakukan pengujian secara formil akan berbeda dengan pengujian materiil. Akibat hukum dari pengujian materiil adalah jika permohonan pengujian materiil ini dikabulkan oleh MK, maka hanya pasal-pasal yang dimohonkan oleh pemohon yang akan dibatalkan oleh MK. Berbeda dengan pengujian materiil, dalam pengujian formil jika dalil-dalil yang diajukan oleh pemohon itu terbukti, maka bukan hanya beberapa pasal yang akan dibatalkan oleh MK, tetapi juga seluruh revisi dari UU TNI ini akan dibatalkan secara keseluruhan.
Mengapa dalam pengujian formil ini bisa berakibat pada batalnya dari seluruh isi UU ? Karena UU ini dapat dikatakan cacat secara formil, sebab dalam prosesnya tidak berpedoman pada asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan. Namun, apakah MK nanti akan berani melakukan pembatalan terhadap seluruh isi dari UU tentang perubahan UU TNI?
Baca juga :
Dalam praktik pengujian UU di MK, MK baru pertama kali mengabulkan permohonan pengujian formil pada tahun 2020 dalam putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020. Namun demikian, MK tidak secara tegas mengabulkan permohonan pemohon, tetapi MK memutus UU No. 6 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja ini tidak konstitusional bersyarat (conditionally unconstitusional). MK pada waktu itu memberi putusan bahwa dalam waktu 2 tahun jika pembentuk UU tidak melakukan revisi terhadap UU Cipta Kerja itu, maka UU Cipta Kerja ini menjadi tidak konstitusional secara permanen.
Pertanyaannya apakah dalam permohonan pengujian formil terhadap UU tentang perubahan UU TNI ini, MK juga akan memberikan putusan serupa dengan putusan 91 ? Kemungkinan ke arah sana sangat terbuka lebar. Apalagi jika Presiden segera mengeksekusi pasal-pasal hasil revisi UU TNI, khususnya terkait dengan pengisian jabatan TNI di ranah sipil, seperti Bakamla, BNPP dan Badan Penanggulangan Terorisme. Jika pasal ini sudah terlanjur dieksekusi oleh Presiden, maka hasil pengujian formil ini tidak akan berpengaruh banyak terhadap revisi UU TNI yang sudah terlanjur diimplementasikan oleh Presiden, kecuali MK memerintahkan agar TNI yang sudah terlanjur menduduki jabatan sipil untuk dievaluasi.
Penulis adalah Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Negeri Surabaya