Gagasan Koalisi Permanen
Oleh: Hananto Widodo
mediamerahputih.id I Gagasan Prabowo untuk membangun koalisi permanen dalam koalisi Indonesia Maju (KIM) mendapat sambutan yang cukup positif dari beberapa petinggi parpol, antara lain Muhaimin Iskandar. Muhaimin merespon positif usul gagasan koalisi permanen ini. Pertanyaannya, kenapa ide ini muncul ? Karena bagaimanapun selama pemerintahan pasca Orde Baru, gagasan koalisi permanen ini tidak pernah muncul, apalagi terjadi dalam praktik ketatanegaraan.
Paling tidak ada dua kemungkinan kenapa gagasan ini muncul. Pertama, Prabowo ingin memperkuat pemerintahannya. Dalam sistem presidensiil, efektivitas pemerintahan akan sangat dipengaruhi oleh dukungan riil Presiden dari parlemen. Presiden merupakan penanggungjawab utama dari jalannya pemerintahan. Oleh karena itu, berhasil tidaknya suatu pemerintahan akan sangat ditentukan oleh dukungan parlemen. Jangan sampai program-program dari pemerintah mendapatkan “serangan,” dari parlemen.
Baca juga :
Sebagaimana ditegaskan oleh Scott Mainwaring (1994), sistem presidensiil dengan kombinasi multipartai yang tidak solid dapat berakibat pada instabilitas demokrasi. Dengan demikian, kepiawaian Presiden dalam melakukan komunikasi dengan koalisinya, khususnya parpol yang memiliki wakil di DPR akan sangat menentukan efektivitas pemerintahannya. Sistem multipartai di Indonesia pasca Orde Baru secara ketatanegaraan merupakan bentuk konvensi ketatanegaraan yang baru. Oleh karena itu, sistem multipartai di Indonesia merupakan realitas politik yang tidak bisa dihindari sampai kapanpun.

Upaya untuk melakukan penyederhanaan melalui Parlementary Threshold bukan merupakan upaya yang mudah. Bahkan dapat dikatakan upaya untuk melakukan penyederhanaan parpol adalah hal yang tidak mungkin. Dengan demikian, membangun pemerintahan dengan format koalisi merupakan sesuatu yang tidak bisa dihindarkan dalam waktu yang lama.
Baca juga :
Kedua, usulan gagasan koalisi permanen ini merupakan dampak dari lahirnya putusan MK No. 62/PUU-XXII/2024 yang menghapus batas ambang parpol dalam mengajukan Capres dan Cawapres atau Presidential Threshold (PT) 0 %. Putusan MK ini secara politik tentu membawa kekhawatiran terhadap parpol, khususnya parpol besar. Sebagaimana diketahui, sejak lama penolakan terhadap pemberlakuan PT sudah didengungkan oleh banyak pihak, khususnya pegiat pemilu, tetapi kritik terhadap pemberlakuan PT ini tidak pernah mendapatkan tanggapan serius dari DPR. Bahkan setelah beberapa kali permohonan Judicial Review (JR) ke MK, baru pada putusan No. 62 ini, permohonan JR dikabulkan oleh MK.
Baca juga :
Menyoal Pemilihan Kepala Desa Dipilih Melalui Mekanisme Parpol
Bagaimanapun harus diakui, penghapusan PT oleh MK akan membuat konstelasi politik akan berubah. Jika pada waktu pemberlakuan PT, koalisi akan dapat dibangun dengan mudah oleh parpol, khususnya parpol penguasa, tetapi ketika PT dihapus, maka koalisi tentu tidak bisa dibangun dengan lebih mudah. Parpol yang lain tentu akan memikirkan dirinya sendiri untuk berusaha agar dirinya bisa mengajukan pasangan Capres-Cawapres pada Pemilu 2029.
Pertanyaannya adalah bukankah jika ada banyak pasangan Capres-Cawapres di pemilu 2029 pasti akan ada yang lahir sebagai pemenang dan koalisi atau parpol yang sebelumnya menjadi rivalnya bisa merapat ke pasangan Capres-Cawapres pemenang pemilu 2029 ? Bukankan hal ini sudah biasa terjadi dalam praktik politik, sejak pemilu 2014 ? Pada pemilu 2014 Jokowi hanya didukung oleh PDIP, PKB, Partai Nasdem dan Partai Hanura. Namun, ketika Jokowi memenangkan kontestasi, parpol pendukung Prabowo, seperti Golkar dan PAN merapat ke Jokowi.
Baca juga :
Kalau kita lihat pada usulan koalisi permanen yang digagas oleh Prabowo, Prabowo ingin agar koalisi ini dibangun berdasarkan visi-misi dan program yang kokoh. Jika koalisi dibangun berdasarkan pada politik akomodasi semata, maka takutnya parpol yang telat bergabung dalam KIM di tahun 2029 tidak akan memahami visi-misi dan program yang akan dijalankan oleh Pemerintahan Prabowo jika Prabowo menang pada Pemilu 2029.
Masih banyak PR yang harus diselesaikan oleh Prabowo dan Prabowo bertekad untuk menyelesaikannya. Untuk menyelesaikan PR ini tentu tidak cukup hanya diselesaikan dalam 1 periode jabatannya. Oleh karena itu, Gerindra secara resmi sudah merilis bahwa Prabowo akan maju lagi di Pilpres 2029.
Baca juga :
PR yang harus diselesaikan oleh Prabowo antara lain adalah terkait dengan keberlanjutan pembangunan IKN. Program yang ditinggalkan oleh Jokowi ini akan diselesaikan oleh Prabowo. Isu terkait keberlanjutan Pembangunan IKN ini merupakan isu yang memicu pro dan kontra di ranah public. Di kalangan parpol sendiri, ada kemungkinan tidak semuanya akan mendukung keberlanjutan IKN ini. Jika tidak semua parpol mendukung keberlanjutan IKN ini, maka ini tentu akan sangat menyulitkan Prabowo.
Belum lagi program Prabowo yang lain, yang harus mendapatkan sokongan konkrit dari DPR seperti Makan Bergizi Gratis (MBG). Program ini harus diakui memang bagus ditataran kebijakan, tetapi dalam praktiknya di lapangan terdapat banyak kendala yang tidak mudah. Oleh karena itu, dengan membangun koalisi permanen sejak dini, maka diharapkan program-program pemerintahan Prabowo di periode 2029-2034 akan dapat diamankan.
Baca juga :
Apalagi usulan gagasan koalisi permanen ini mendapatkan basis legitimasi hukum yang kuat dengan diperbolehkan Presiden untuk membentuk Kementerian sesuai dengan kebutuhan Presiden. Dengan berlakunya UU No. 61 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas UU No. 39 Tahun 2008 Tentang Kementerian Negara, Presiden dapat membentuk Kementerian tanpa dibatasi lagi jumlahnya.
Penulis adalah Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Negeri Surabaya dan Pengurus Wilayah Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) Jawa Timur