Scroll untuk baca artikel
Iklan MMI
Iklan MMI
Sudut Opini

Kontroversi Putusan MA

1089
×

Kontroversi Putusan MA

Sebarkan artikel ini
putusan-ma-yang-non-executable
Putusan MA No. 23 P/HUM/2024 merupakan hasil putusan yang menangani sengketa publik, di mana putusan itu mengikat secara erga omnes. Pertanyaannya apakah putusan itu bisa memaksa pejabat selain KPU untuk melaksanakan putusan MA tersebut ? I MMP I ist

Kontroversi Putusan MA

Oleh : Hananto Widodo

mediamerahputih.id I Setelah lahirnya putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 yang kontroversial, karena dianggap memberi tiket kepada Gibran Rakabuming Raka untuk mendaftar sebagai Cawapres mendampingi Prabowo Subianto, sekarang ini giliran Mahkamah Agung (MA). Kontroversi putusan MA yang dimaksud itu adalah putusan kontroversial berupa pembatalan syarat usia Calon Kepala Daerah yang diatur dalam Pasal 4 huruf d  PKPU No. 9 Tahun 2020. Pasal 4 ayat (1) huruf d PKPU No. 9 Tahun 2024 terkait persyaratan usia minimal Calon Kepala Daerah. Pasal 4 ayat (1) huruf d menyatakan “Warga Negara Indonesia dapat menjadi Calon Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota dengan memenuhi persyaratan, berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk Calon Gubernur dan Wakil Gubernur dan 25 (dua puluh lima) tahun untuk Calon Bupati dan Wakil Bupati atau Calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota terhitung sejak penetapan Pasangan Calon.”

Baca juga:

Apakah Putusan MK terkait PHPU Presiden 2024 bercorak konservatif?

Namun oleh MA melalui putusan Putusan Nomor 23 P/HUM/2024, syarat itu diubah menjadi “….berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk calon gubernur dan wakil gubernur dan 25 (dua puluh lima) tahun untuk calon bupati dan wakil bupati atau calon wali kota dan wakil wali kota terhitung sejak pelantikan pasangan calon terpilih” Putusan ini tentu langsung mendapatkan sambutan negatif dari sebagian public, khususnya para pegiat pemilu. Kritik terhadap putusan MA ini tentu, dengan alasan kecurigaan sebagian public itu bahwa putusan MA ini akan memberikan karpet merah terhadap Kaesang yang tidak lain dan tidak bukan adalah putra bungsu dari Jokowi.

Baca juga:

Koalisi Super Gemuk adalah Inkonstitusional

Memang menggunakan hak untuk melakukan pengujian terhadap peraturan perundang-undangan, baik ke MK maupun MA adalah hak setiap warga negara yang merasa haknya dirugikan akibat berlakunya suatu peraturan perundang-undangan tersebut. Namun demikian, untuk bisa melakukan hak uji terhadap peraturan perundang-undangan baik melalui MK maupun MA harus didasari pada alasan yang jelas. Alasan yang jelas di sini adalah terkait dengan legal standing dan substansi dari peraturan perundang-undangan yang akan diuji tersebut.

kontroversi-putusan-ma
Untuk bisa melakukan hak uji terhadap peraturan perundang-undangan baik melalui MK maupun MA harus didasari pada alasan yang jelas. Alasan yang jelas di sini adalah terkait dengan legal standing dan substansi dari peraturan perundang-undangan yang akan diuji I MMP I ist

Untuk melakukan pengujian terhadap suatu peraturan perundang-undangan, maka seseorang yang melakukan permohonan itu harus bisa menunjukkan kerugian yang dideritanya akibat dari berlakunya peraturan perundang-undangan tersebut. Kontroversi dari Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 juga bermula dari legal standing dari pemohon yang bermasalah. Almas Tsaqibbirru sebenarnya tidak bisa membuktikan kerugian yang dideritanya, sehingga seharusnya Almas tidak memiliki kedudukan sebagai legal standing dalam putusan No. 90/PUU-XXI/2023.

Baca juga:

Politisasi RUU MK

Dalam putusan MA No. 23 P/HUM/2024 yang mengajukan pengujian hak uji materiil terhadap Pasal 4 ayat (1) huruf f PKPU No. 9 Tahun 2024 adalah Partai Garuda. Pertanyaannya apakah Partai Garuda memiliki legal standing untuk menjadi pemohon dalam pengujian PKPU No. 9 Tahun 2024 ke MA ? Dalam konteks ini, memang agak sulit untuk menilai karena jarak antara putusan MA ini dengan masa pendaftaran Calon Kepala Daerah cukup lama. Sedangkan dalam putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023, jarak antara lahirnya putusan MK ini dengan masa pendaftaran Capres-Cawapres cukup dekat. Bahkan, putusan MK ini dapat dikatakan lahir di penghujung masa pendaftaran Capres Cawapres.

Oleh karena itu, akan sangat sulit untuk menilai terkait dengan persoalan apakah Partai Garuda memiliki kedudukan sebagai legal standing atau tidak. Apalagi Partai Garuda merupakan parpol yang memiliki hak untuk mencalonkan kadernya atau kader di luar partainya untuk menjadi Calon Kepala Daerah atau Calon Wakil Kepala Daerah. Apakah nanti Partai Garuda akan mencalonkan seseorang untuk menjadi Calon Kepala Daerah itu merupakan urusan lain.

Baca juga:

Menyoal Gugatan PDIP Ke PTUN

Namun demikian, dengan tidak ada masalah terkait dengan persoalan legal standing bukan berarti putusan MA ini tidak problematik. Kalau dilihat pada putusan MA ini, maka problemnya terkait dengan penafsiran dari MA yang nampaknya kebablasan. Kenapa bisa dikatakan kebablasan ? Tafsir yang mengatakan bahwa usia Calon Kepala Daerah yang berusia minimal 30 tahun terhitung sejak pelantikan calon terpilih merupakan tafsir yang sesat.

Kenapa dikatakan tafsir yang sesat ? Berdasarkan penafsiran gramatikal, maka bunyi Pasal 4 ayat (1) huruf f merupakan penafsiran yang tepat dari KPU. KPU menafsirkan bunyi Pasal 7 huruf e UU No. 10 Tahun 2016 yang menyatakan Warga negara Indonesia yang dapat menjadi Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota adalah yang memenuhi persyaratan berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur serta 25 (dua puluh lima) tahun untuk Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota.

Baca juga:

Keanehan Berpikir PDIP

Tafsir KPU terhadap bunyi Pasal 7 huruf e UU No. 8 Tahun 2016 bahwa usia minimal 30 tahun untuk Calon Gubernur terhitung sejak penetapan pasangan Calon adalah tafsir yang tepat. Tafsir dari MA yang justru problematic, karena frasa “terhitung sejak pelantikan pasangan calon terpilih” tidak sesuai dengan konteksnya. Frasa “terhitung sejak pelantikan pasangan calon terpilih,” maka ini sudah menunjuk pada sudah ditetapkannya pasangan calon terpilih dan sudah dilantik. Jika pasangan calon kepala daerah baik itu, calon gubernur, calon wakil gubernur, calon bupati, calon wakil bupati serta calon walikota dan calon wakil walikota sudah dilantik, maka dia bukan lagi sebagai pasangan calon lagi.

Baca juga:

Quo Vadis Hak Angket Kecurangan Pemilu

Dengan adanya tafsir aneh yang dilakukan oleh MA ini, maka akan semakin menguatkan kecurigaan public, bahwa putusan MA ini memang didesain untuk meloloskan seseorang yang belum memenuhi syarat sebagai Calon Kepala Daerah menjadi memenuhi syarat untuk menjadi Calon Kepala Daerah. Jika Kaesang memanfaatkan putusan MA untuk maju sebagai Calon Kepala Daerah, maka dapat dipastikan kegaduhan akan kembali terjadi. Dugaan kecurangan yang akan dilakukan oleh pemerintah akan kembali terjadi, walaupun dugaan itu sulit untuk dibuktikan.

Penulis adalah Koordinator Konsentrasi Hukum Pemerintahan Fakultas Hukum Universitas Negeri Surabaya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *