Scroll untuk baca artikel
Iklan MMI
Iklan MMI
Sudut Opini

Putusan Penundaan Pemilu Yang Tidak Nalar

353
×

Putusan Penundaan Pemilu Yang Tidak Nalar

Sebarkan artikel ini

opini publik

Ilustrasi pemilihan umum (Pemilu) kini kembali bergulir terkait dengan amar putusan PN Jakarta Pusat yang memerintahkan KPU RI untuk menunda pemilu hingga 2025. Putusan PN Jakarta Pusat ini seolah-olah melegitimasi pendapat para politisi yang berupaya agar pemilu tahun 2024 ditunda dengan alasan pemulihan ekonomi.
Ilustrasi pemilihan umum (Pemilu) kini kembali bergulir terkait dengan amar putusan PN Jakarta Pusat yang memerintahkan KPU RI untuk menunda pemilu hingga 2025. Putusan PN Jakarta Pusat ini seolah-olah melegitimasi pendapat para politisi yang berupaya agar pemilu tahun 2024 ditunda dengan alasan pemulihan ekonomi.

Putusan Penundaan Pemilu Yang Tidak Nalar

Oleh Hananto Widodo

Beberapa pendapat baik pendapat publik maupun pendapat para pakar hukum sudah banyak bertebaran di media massa, terkait putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang kontroversial itu. Memang tidak heran ketika publik dan para pakar pendapatnya langsung menghiasi headline media massa, karena putusan PN ini sangat peka jika dilihat dari aspek politik. Apa yang merupakan isu peka dalam putusan PN tersebut ?

Sebenarnya yang menjadi titik sentral kritik dari putusan PN tersebut bukan terkait dengan tidak berwenangnya PN Jakarta Pusat dalam memproses dan memutus perkara proses pemilu yang diajukan oleh Partai Prima. Namun terkait dengan amar putusan PN Jakarta Pusat yang memerintahkan KPU RI untuk menunda pemilu hingga 2025. Putusan PN Jakarta Pusat ini seolah-olah melegitimasi pendapat para politisi yang berupaya agar pemilu tahun 2024 ditunda dengan alasan pemulihan ekonomi.

Beberapa pakar langsung mengatakan bahwa putusan PN Jakarta Pusat ini bertentangan dengan Pasal 22 E ayat 1 UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.” Pasal ini mengandung pengertian bahwa pemilu diadakan secara periodic tiap lima tahun sekali. Oleh karena itu, jika ada yang mencoba untuk menunda pemilu, maka yang dilakukannya itu bertentangan dengan konstitusi, termasuk putusan PN Jakarta Pusat itu.

Terlepas dari isu sensitif terkait dengan penundaan pemilu itu, sebenarnya ada kajian menarik lainnya yang bisa jadikan basis perdebatan terkait dengan putusan ini. Yang pertama terkait dengan alasan perbuatan melanggar hukum oleh penguasa (Onrechtmatige Overheidsdaad) dan kedua terkait dengan akibat hukum dari putusan PN Jakarta Pusat.

Jika berbicara mengenai perbuatan melanggar hukum oleh penguasa, pada awalnya memang merupakan kewenangan dari Pengadilan Negeri. Perbedaan penyelesaian antara perbuatan melanggar hukum oleh penguasa yang diselesaikan melalui PN dan sengketa tata usaha negara yang diselesaikan di Peradilan Tata Usaha Negara, disebabkan adanya perbedaan obyek sengketa antara sengketa perbuatan melanggar hukum oleh penguasa yang bukan Keputusan Tata Usaha Negara dan obyek sengketa TUN yang obyeknya adalah Keputusan Tata Usaha Negara.

Perbedaan antara sengketa TUN dan perbuatan melanggar hukum oleh penguasa terletak pada subyek dan permasalahannya. Kalau dalam sengketa TUN itu yang menjadi subyek adalah Pejabat Tata Usaha Negara, sedangkan kalau dalam perbuatan melanggar hukum yang menjadi subyek adalah pemerintah sebagai badan hukum. Contohnya jika kita akan menggugat ke PTUN, maka yang digugat adalah Walikota Surabaya jika Walikota Surabaya mengeluarkan Keputusan yang merugikan badan hukum atau seseorang. Sedangkan kalau dalam perbuatan melanggar hukum oleh penguasa yang digugat bukan Walikota tetapi pemerintah kota Surabaya sebagai badan hukum.

Dalam sengketa TUN yang dimasalahkan adalah kewenangannya (bevogheid). Artinya dalam mengeluarkan keputusan tersebut, pejabat itu sesuai dengan kewenangannya atau tidak. Apakah ada penyalahgunaan kewenangan atau tidak. Sedangkan dalam perbuatan melanggar hukum  oleh penguasa itu yang dimasalahkan adalah kecakapannya (bekwaam) (PM Hadjon, 2019). Artinya apakah ada ketidakcakapan penguasa sehingga merugikan orang lain. Di samping itu petitum dalam sengketa TUN adalah dibatalkan atau dinyatakan tidak sah keputusan yang dikeluarkan oleh pejabat/badan tata usaha negara, sedangkan dalam perbuatan melanggar hukum oleh penguasa adalah ganti rugi.

Setelah berlaku undang-undang No. 30 Tahun 2014 baik sengketa pemerintahan yang obyeknya KTUN dan sengketa pemerintahan yang obyeknya perbuatan melanggar hukum oleh penguasa penyelesaiannya disatukan penyelesaiannya di PTUN. Perma No. 2 Tahun 2019 menyatakan “Sengketa Perbuatan Melanggar Hukum Oleh Penguasa oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan adalah sengketa yang di dalamnya mengandung tuntutan untuk menyatakan tidak sah dan/atau batal tindakan Pejabat Pemerintahan, atau tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat beserta ganti rugi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Di samping sekarang ini diselesaikan dalam PTUN, juga subyek dari perbuatan melanggar hukum oleh penguasa juga menjadi berubah dari pemerintah sebagai badan hukum menjadi badan dan/atau pejabat tata usaha negara. Obyeknya juga menjadi luas, yakni keputusan tata usaha negara, di mana hakim berwenang untuk menyatakan batal atau tidak sah suatu keputusan. Dengan demikian, perbuatan melanggar hukum oleh penguasa ini tidak sekedar ganti rugi, tetapi juga pembatalan suatu keputusan.

Jika dikaitkan dengan putusan PN Jakarta Pusat, seharusnya terkait dengan perbuatan melanggar hukum oleh penguasa jika didasarkan pada Perma No. 2 Tahun 2019, maka yang berwenang menangani sengketa perbuatan melanggar melanggar hukum oleh penguasa adalah PTUN bukan PN. Di samping itu secara konseptual, PN tidak memiliki kompetensi untuk menyatakan sah atau tidaknya suatu keputusan pejabat, karena sah atau tidaknya suatu keputusan pejabat adalah PTUN. PN hanya berwenang menangani sengketa keperdataan terkait dengan sengketa status kepemilikan. Dengan demikian, PN tidak berwenang memerintahkan untuk menunda pemilu, karena ini merupakan wilayah publik bukan privat.

Putusan PN terkait dengan gugatan Partai Prima bukan erga omnes, tetapi inter partes yang artinya putusan itu hanya mengikat pada pihak-pihak yang berperkara. Oleh karena itu, putusan PN Jakarta Pusat tidak bisa memengaruhi tahapan-tahapan dalam pemilu. Putusan PN Jakarta Pusat juga tidak bisa mengikat pada partai-partai politik lainnya yang tidak lolos verifikasi administrasi atau verifikasi faktual yang telah ditetapkan oleh KPU. Dengan demikian, putusan PN Jakarta Pusat tidak bisa dieksekusi karena memang putusan ini secara hukum tidak akan mengikat secara publik (erga omnes).

Penulis adalah Dosen Hukum Tata Negara Dan Hukum Administrasi Universitas Negeri Surabaya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *