Scroll untuk baca artikel
Iklan MMI
Iklan MMI
Sudut Opini

Dilema Santri dalam Pilkada Antara Pilihan Sendiri atau ikut Kyai

619
×

Dilema Santri dalam Pilkada Antara Pilihan Sendiri atau ikut Kyai

Sebarkan artikel ini
dilema-santri-dalam-pilkada-sumenep
Santri masuk kancah politik dapat membawa harapan untuk kebijakan publik akan lebih berwarna dengan landasan keadilan dan nilai-nilai moral I MMP I ilustrasi I Ist

Dilema Santri dalam Pilkada Antara Pilihan Sendiri atau ikut Kyai

Oleh : Muhammad Hafaz Zamani

mediamerahputih.id I Dilema santri dalam Pilkada Kabupaten Sumenep semakin terasa, menjadi sebuah realitas yang menarik menjadi bahan perbincangan hangat. Hal ini terjadi ketika pesantren mulai memasuki panggung politik Sumenep, atau dengan kata lain, politik identitas berbasis pesantren mulai muncul. Pilkada Sumenep 2024 menjadi sorotan publik, terutama karena pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati memiliki latar belakang yang serupa keduanya adalah pengasuh pondok pesantren dengan reputasi besar di daerah tersebut.

Bagi sebagian masyarakat, hal ini dianggap sebagai simbol keberhasilan kalangan pesantren dalam dunia politik. Namun, bagi sejumlah kalangan santri, situasi ini menimbulkan dilema. Banyak di antara mereka merasa bingung dalam menentukan pilihan: apakah mereka harus memilih berdasarkan suara hati mereka sendiri atau mengikuti arahan dari kyai mereka.

Baca juga :

Seperti Apa Budaya Etika seorang Muslim? Begini menurut Dalil Al-Quran

Berawal dari pembahasan perpolitikan lokal di Madura, wabil khususnya daerah Sumenep, memang sudah sejak lama mendarah daging dengan dunia pesantren. Pada kalangan yang masih berprinsip teguh dengan tradisi dan ajaran-ajaran keagamaan, seorang kyai atau pengasuh pondok pesantren kerap kali dilihat sebagai sosok yang dianut banyak umat, tidak hanya didalam urusan ajaran keagamaan, namun juga dalam urusan sosial, dan yang terjadi baru-baru ini adalah politik. Jadi, tidak membuat heran jika dalam penyelenggaraan Pilkada Sumenep kali ini, calon pemimpin daerah berasal dari ruang lingkup pesantren.

Tetapi, hal ini juga melahirkan tanda tanya besar, bagaimana dari para santri, yang latar belakangnya adalah murid dari para calon pemimpin daerah tersebut. Lalu bagaimana mengambil sikap dalam hal ini? Apakah para santri ini akan sepenuhnya memberikan dukungan Kyai mereka? Atau bahkan terjebak dalam dilema yang terlampau besar ini?

Baca juga:

Mengapa perlu mempelajari Ilmu Hukum? Begini Metodenya!

Kabupaten sumenep adalah daerah yang memiliki banyak pesantren kecil dan besar, yang menjadi pusat dalam kajian dan berpendidikan agama bagi masyarakat yang jumlahnya ribuan. Dalam hal ini, pesantren bukan hanya difungsikan sebagai Yayasan Pendidikan Agama semata, namun juga sebagai Lembaga sosial dengan dampak yang cukup besar. Jika seorang pengasuh pesantren mencalonkan dirinya dalam Pilkada, maka secara otomatis akan membawa lembaga pesantrennya, bahkan santri, alumni, warga sekitar, atau bahkan partisipannya ke dalam ranah politik.

Kejadian ini memang di sisi lain memiliki nilai positif. Pesantren di kancah pemerintahan dapat membawa harapan untuk kebijakan publiknya akan lebih berwarna landasan keadilan dan nilai-nilai moral. Tetapi, yang perlu diketahui adalah politik bukan hanya melulu soal idealisme saja bukan? Ada diskusi, negosiasi, dan berbagai momen kompromi yang terkadang juga berbenturan dengan nilai-nilai, yang ada di Pesantren.

Baca juga:

Ketika KPU dan Bawaslu Ad Hoc

Yang menjadi masalah disini adalah, bagaimana jika diantara kedua calon, pemimpin daerah tersebut berasal dari lembaga pesantren yang berbeda? Kontestasi politik maka hanya akan melahirkan pecah belahnya umat, dan berpotensi memporak-porandakan dunia pesantren itu sendiri.

dilema-santri-dalam-pilkada-sumenep
Warga berpartisipasi memilih calon kepala daerah yang berharap dalam membangun kesejahteraan bagi warganya dalam pilkada serentak 2024 I MMP I Ist

Kaum santri dalam Pilkada di Sumenep ini memiliki Ujian yang teramat berat. Loyalitas mereka akan dipertanyakan terhadap kiai dan pesantren mereka. Kerap kali bersinggungan dengan pilihan pribadi politik mereka yang mungkin perbedaanya berasal dari hati nurani yang mereka miliki. Jika dibayangkan fenomena seperti ini, seorang santri yang ta’dzim kepada kyai A ternyata memiliki pilihan politik yang berbeda. Namun, belum tentu santri tersebut akan secara terbuka berani mendukung calon yang lain.

Baca juga:

Menyoal Pemilihan Kepala Desa Dipilih Melalui Mekanisme Parpol

Dunia pesantren hingga saat ini memberikan sajian yang unik, yang sulit diterima oleh para peneliti dan pemerhati. Salah satu contohnya adalah “Nderek Kiai”. Ucapan atau dawuh dari seorang kyai menjadi hal yang perlu dipegang teguh dalam mengambil sikap sosial keseharian santri, hal ini juga mencakup penyelenggaraan Kontestasi pemimpin daerah. Seringkali santri merasa, mendukung kyai atau guru mereka adalah kewajiban yang harus dilakukan oleh mereka, karena dirasa itu adalah bagian dari rasa ta’dzim kepada guru mereka. Hal ini mengakibatkan beban moral yang teramat berat bagi kaum santri.

Bukan hanya soal datang dan memilih di TPS. Dilema ini dapat berdampak pada hubungan sosial antara santri sendiri, utamanya jikalau mereka berasal dari lembaga pesantren yang berbeda. Perbedaan dalam memilih ini yang awalnya bersifat pribadi bisa saja sewaktu-waktu akan berubah menjadi konflik berkepanjangan.

Baca juga :

Lapor Mas Wapres

 Dalam studi kasus Sumenep, kedua calon yang berlatar belakang pesantren ini, sangat sulit jika tidak membawa nama pesantren dengan pilihan politik. Sedangkan, idealnya adalah pesantren dapat menjadi naungan yang netral serta menjadi penyeimbang dan juga memberikan arahan moral kepada masyarakat. Tapi pertanyaannya adalah bagaimana jika pemilik pesantren itu sendiri yang maju dalam kontestasi?

Yang perlu kita ingat bersama, dunia politik adalah dunia yang dinamis dan penuh akan kompromi. Apa yang terlihat sebagai nilai perjuangan bisa saja berubah menjadi permainan kalangan penguasa. Jika kita tidak cermat, terlibatnya pesantren dalam politik ini akan membawa dampak masyarakat akan hilang rasa kepercayaan kepada lembaga atau yayasan pesantren ini.

Baca juga:

Penguatan Nilai-Nilai Pancasila Jelang Pilkada 2024 di Desa Pesanggrahan Mojokerto

Fenomena politik identitas berbasis pesantren yang terjadi di Sumenep ini, memang membawa tantangan extreme tersendiri. Dari satu pandangan, ini perlu diakui bahwa pesantren memiliki peranan yang besar dalam membangun nilai moralitas dan pendidikan keagamaan pada masyarakat. Namun di bagian yang lainnya, politik identitas justru memberikan resiko membuat pecah belahnya kultur dan nilai-nilai agama tertentu.

Santri adalah harapan bangsa yang akan melanjutkan estafet perjuangan baik dalam beragama maupun bernegara, santri memiliki potensi yang besar menjadi penyeimbang dalam fenomena seperti ini. Santri dapat memilih kyai nya untuk bentuk ta’dzim kepada guru, namun juga harus menunjukan rasa kemandirian dalam menentukan pilihan mereka dalam hal politik. Pentingnya pesantren memberikan ajaran-ajaran bahwasanya berbeda dalam pilihan politik bukanlah hal yang sama dengan permusuhan. Begitupun sebaliknya, perbedaan justru adalah rangkaian demokrasi yang sehat. Kyai ataupun pemangku pondok pesantren juga harus memiliki rasa tanggung jawab yang besar untuk menjaga agar euforia kontestasi politik tidak akan memecah belah atau bahkan membuat hilangnya nilai kebersamaan di dalam pondok pesantren tersebut.

Baca juga :

Makna Equiality Before the Law dan Penerapannya

Namun pada akhirnya, Pilkada ini hanya satu episode rangkaian perjalanan panjang demokrasi Indonesia. Yang paling penting, kita harus tetap menjaga nilai-nilai yang selama ini menjadi pondasi awal bagi masyarakat. Saling mendukung namun juga tidak lupa bahwa politik adalah alat dan juga senjata, bukan tujuan akhir. Maka jika Pilkada hanya melahirkan Perpecahan, maka sebaiknya pilkada tidak diadakan.

Penulis adalah Mahasiswa Prodi Ilmu Politik Universitas Negeri Sunan Ampel Surabaya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *