Scroll untuk baca artikel
Iklan MMI
Iklan MMI
Nasional

Mencermati Putusan MKMK

418
×

Mencermati Putusan MKMK

Sebarkan artikel ini

pasca pemberhentian ketua MK Anwar Usman

mencermati-putusan-mkmk

Mencermati Putusan MKMK

Oleh Hananto Widodo

Summum ius summa iniuria , Keadilan yang setinggi-tingginya adalah ketidakadilan. Asas ini mengandung makna bahwa ukuran dari suatu keadilan itu sangat relatif dan subyektif. Oleh karena itu jangan heran, jika ada putusan pengadilan yang tidak bisa  diterima oleh semua pihak. Begitu juga dengan putusan MKMK yang oleh sebagian pihak tidak memuaskan.

Putusan MKMK dianggap tidak adil, karena dipicu dua hal. Pertama, MKMK telah menolak petitum agar MKMK memerintahkan kepada MK untuk mengkoreksi dan membatalkan putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 terkait batas minimal usia Capres dan Cawapres. Kedua, MKMK hanya memberikan sanksi pemberhentian dengan tidak hormat Anwar Usman dari jabatannya sebagai Ketua MK dan melarang untuk mencalonkan sebagai pimpinan MK serta melarang untuk ikut memeriksa dan memutus perselisihan hasil pemilu baik itu pemilu Presiden, pemilu DPR, DPD dan DPRD juga pemilihan Kepala Daerah yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan.

mencermati-putusan-mkmk

Baca juga:

Hak Angket Putusan Mahkamah Konstitusi

Pertanyaannya, dapatkah MKMK memerintahkan kepada MK untuk membatalkan putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 ? Denny Indrayana, dalam petitumnya mengatakan bahwa putusan MK ini tidak sah, karena diputus berdasarkan konflik kepentingan, di mana Anwar Usman yang merupakan paman dari Gibran Rakabuming Raka terlibat dalam pengambilan keputusan terhadap putusan No. 90 ini. Karena putusan MK ini tidak sah maka putusan ini bisa dibatalkan dengan cara MKMK memerintahkan pada MK untuk membatalkan putusan MK ini.

Kewenangan untuk membatalkan putusan MK ini didasarkan pada Pasal 17 UU No. 48 Tahun 2009. Pasal 17 ayat (5) UU No. 48 Tahun 2009 menyatakan “Seorang hakim atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak yang berperkara.” Sedangkan ayat (6) menyatakan “Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), putusan dinyatakan tidak sah dan terhadap hakim atau panitera yang bersangkutan dikenakan sanksi administratif atau dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.” Dengan demikian, karena Anwar Usman terlibat dalam rapat permusyawaratan hakim (RPH) untuk mengambil keputusan terhadap putusan No. 90, di mana dalam putusan ini menyebut nama Gibran Rakabuming Raka, yang notabene adalah ponakannya, maka seharusnya putusan MK ini harus dinyatakan tidak sah.

Baca juga:

Prabowo dan Tuduhan Pelanggaran HAM

Denny menyatakan kalau putusan MK bisa dibatalkan oleh MKMK dengan memerintahkan pada MK untuk mengevaluasi putusannya ini, karena DKPP pada tahun 2013 pernah melakukan tindakan pembatalan terhadap keputusan KPU dengan memerintahkan pada KPU untuk memulihkan hak Khofifah yang sebelumnya oleh KPU dinyatakan tidak memenuhi syarat (TMS) agar bisa berkontestasi dalam pemilihan Gubernur pada tahun 2013.

Putusan MKMK yang dibacakan oleh Ketua MKMK Jimly menolak petitum dari Denny Indrayana, dengan alasan obyek dari DKPP dan MKMK adalah berbeda. Obyek dari DKPP pada waktu itu adalah keputusan KPU Provinsi Jawa Timur yang menyatakan Khofifah TMS sehingga Khofifah tidak bisa berkontestasi dalam pemilihan Gubernur adalah keputusan tata usaha negara (beschikking) yang bersifat konkrit, individual. Sedangkan putusan MK itu bersifat mengikat umum (erga omnes). Alasan dari Jimly secara hukum dapat diterima, karena memang secara praktik untuk mengkoreksi suatu keputusan tata usaha negara itu lebih mudah dibandingkan dengan mengkoreksi putusan pengadilan.

Baca juga:

Putusan MK yang aneh bin Ajaib

Mengkoreksi putusan pengadilan harus melalui upaya hukum, baik itu banding, kasasi maupun peninjauan kembali. Namun karena MK merupakan pengadilan tingkat pertama dan terakhir yang berfungsi sebagai judex factie dan judex juris sekaligus, maka putusannya bersifat final dan mengikat. Putusan final dan mengikat mengandung pengertian bahwa tidak ada upaya hukum lagi yang bisa dilakukan untuk mengevaluasi putusan dari MK. Di samping itu tujuan dari putusan DKPP pada tahun 2013 adalah untuk memulihkan hak Khofifah yang terancam tidak bisa mengikuti kontestasi pemilihan gubernur pada tahun 2013, sedangkan pada putusan MK No. 90 ini tidak ada hak seseorang yang harus dipulihkan akibat dikeluarkan putusan MK ini.

Pertanyaan selanjutnya, kenapa MKMK tidak memutus Anwar Usman diberhentikan secara tidak hormat sebagai Hakim Konstitusi, tapi malah diberhentikan sebagai Ketua MK? Pertanyaan ini wajar muncul, karena dalam PMK No. 1 Tahun 2023 sanksi pelanggaran berupa, teguran lisan, teguran tertulis dan pemberhentian secara tidak hormat. Dalam Pasal ini memang tidak dijelaskan pemberhentian secara tidak hormat apakah sebagai hakim MK atau sebagai pimpinan MK, tetapi jika kita melihat pada Pasal 44 PMK ini di mana hakim yang dikenai sanksi pemberhentian secara tidak hormat wajib diberi kesempatan untuk membela diri, maka jika menggunakan interpretasi sistematis, maka dapat disimpulkan bahwa pemberhentian secara tidak hormat itu adalah sebagai hakim konstitusi bukan sebagai ketua MK. Karena putusan MKMK ini dengan tujuan agar Anwar Usman tidak melakukan banding. Dengan demikian secara normatif, putusan MKMK ini yang telah menjatuhi sanksi pemberhentian Anwar Usman sebagai Ketua MK tidak memiliki dasar hukum.

Baca juga:

Putusan Penundaan Pemilu Yang Tidak Nalar

Putusan ini menjadi menarik, karena Hakim yang diberhentikan dengan tidak hormat wajib diberikan kesempatan untuk melakukan pembelaan melalui mekanisme banding. Pembelaan diri dilakukan oleh Hakim terlapor melalui Majelis Kehormatan Banding. Majelis Kehormatan Banding ini komposisi anggota berbeda dengan MKMK, sehingga dikhawatirkan jika Majelis Kehormatan Banding ini dapat menganulir putusan MKMK yang memberhentikan Anwar Usman dengan tidak hormat. Kalau itu yang terjadi, maka usaha kita semua akan semakin sia-sia karena praktik konflik kepentingan akan terus terjadi di MK dan itu akan memengaruhi kualitas dari putusan MK. Oleh karena itu, putusan MKMK yang hanya memberhentikan Anwar Usman sebagai Ketua MK merupakan jalan tengah yang aman agar putusan ini tidak bisa diuji melalui Majelis Kehormatan Banding yang komposisi anggotanya tidak bisa kita prediksi, apakah memiliki integritas yang baik atau tidak.

*Penulis adalah Dosen Hukum Tata Negara dan Ketua Pusat Kajian Hukum Dan Pembangunan Fakultas Ilmu Sosial Dan Hukum Universitas Negeri Surabaya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *