RKUHAP Dan Kecurigaan Publik
Oleh : Hananto Widodo
mediamerahputih.id | Tulisan ini beranjak pada perdebatan publik seputar proses pembahasan RKUHAP yang selama ini dicurigai publik akan membawa potensi berbahaya jika diberlakukan. Terkait dengan RKUHAP yang baru saja disetujui bersama antara Pemerintah dan DPR, memang memiliki dua sisi mata uang. Di satu sisi, bagaimanapun juga harus ada KUHAP baru yang menggantikan UU No. 8 Tahun 1981, karena UU No. 8 Tahun 1981 sudah tidak relevan untuk dipertahankan.
UU No. 8 Tahun 1981 tidak bisa lagi dipertahankan lagi karena UU ini dibentuk sebagai hukum formil dari KUHP yang lama. Sedangkan KUHP nasional akan berlaku efektif pada bulan januari 2026. Dengan demikian, KUHP nasional harus segera memiliki hukum acara yang baru yang sesuai dengan semangat KUHP nasional.
Baca juga :
Namun di sisi lain, RKUHAP yang baru saja disahkan ini mengundang banyak perdebatan di berbagai kalangan. Yang menjadi kritik dari beberapa pihak antara lain kewenangan penyidik untuk melakukan penyadapan. Lalu penangkapan tanpa parameter yang jelas. Bagaimanapun juga partisipasi dari public wajib untuk ditindaklanjuti oleh pembentuk undang-undang.
Berbeda dengan hukum materiil pidana yang diatur dalam KUHP yang di mana materi muatannya lebih pada mengatur perilaku seseorang, sehingga norma hukum yang diatur dalam hukum pidana adalah norma perilaku, seperti perintah dan larangan, sedangkan norma hukum yang diatur dalam KUHAP bukan norma perilaku, melainkan norma kewenangan. Oleh karena itu sebenarnya KUHAP tidak masuk dalam ruang lingkup hukum pidana, tetapi masuk dalam ruang lingkup hukum administrasi.
Baca juga :
Terdapat perbedaan prinsip utama dalam hukum pidana dan hukum administrasi. Dalam hukum pidana yang berlaku adalah asas legalitas atau nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali. Yang arti “tiada suatu perbuatan yang dapat dipidana kecuali ada aturan yang mengatur sebelumnya.” Dengan demikian, jika tidak ada larangan terhadap perbuatan tertentu, maka perbuatan itu diperbolehkan.

Sementara itu, dalam hukum administrasi, juga mengenal asas legalitas. Namun pengertian asas legalitas dalam hukum pidana berbeda dengan asas legalitas dalam hukum administrasi. Dalam hukum administrasi, asas legalitas mengandung pengertian bahwa setiap tindakan pemerintah harus ada dasar hukumnya. Oleh karena itu, filosofi asas legalitas dalam hukum pidana berbeda dengan hukum pidana.
Baca juga :
Filosofi asas legalitas dalam hukum pidana adalah untuk mengatur perilaku apa saja yang boleh dan apa saja yang tidak diperbolehkan oleh aturan. Asas legalitas dalam hukum pidana beranjak pada logika mala in prohibita bukan mala in se. Yang artinya perbuatan itu jahat karena hukum yang mengatakan demikian. Sedangkan asas legalitas dalam hukum administrasi secara filosofis dalam rangka untuk membatasi kewenangan dari penguasa.
Asas legalitas dalam hukum administrasi seringkali memiliki paradoks jika dilihat dalam praktik hukum sehari-hari. Memang pejabat Pemerintah harus mendasarkan dirinya pada kewenangan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Namun seringkali suatu aturan ketika dihadapkan pada fakta di lapangan akan menjadi sulit jika akan diterapkan. Seringkali dinamika di Masyarakat lebih cepat dibandingkan aturan itu. Di samping itu, pembentuk undang-undang tidak akan mungkin bisa mengatur seluruh aspek kehidupan Masyarakat.
Baca juga :
Menyoal Pemilihan Kepala Desa Dipilih Melalui Mekanisme Parpol
Untuk mengatasi kebuntuan ini, maka pejabat Pemerintah akan diberi ruang kebebasan dalam menggunakan kewenangannya. Ruang kebebasan dalam menggunakan kewenangan oleh pejabat ini yang lebih kita kenal dengan istilah diskresi. Diskresi hanya diberikan kepada badan atau pejabat melalui peraturan perundang-undangan.
Pasal 2 UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI menyatakan “fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban Masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada Masyarakat.” Dari bunyi Pasal 2 tersebut, maka polisi merupakan pejabat yang memiliki kewenangan di bidang pemeliharaan keamanan, ketertiban Masyarakat, penegakan hukum dan kewenangan polisi dalam bidang penegakan hukum ini antara lain diatur dalam KUHAP. Dengan demikian, KUHAP pasti akan memberikan diskresi kepada polisi dalam hal melakukan penyelidikan dan penyidikan.
Baca juga :
Meskipun pengaturan terhadap diskresi dalam peraturan perundang-undangan diperbolehkan dalam teori perundang-undangan, tetapi pengaturan terhadap diskresi dalam suatu peraturan perundang-undangan sebisa mungkin harus dimininalisir. Dalam menggunakan kewenangan diskresi memang tidak bisa digunakan sebebas-bebasnya. Artinya tetap ada batasan dalam penggunaannya.
Dalam hukum administrasi, batasan penggunaan kewenangan diskresi adalah peraturan perundang-undangan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Kedua batasan ini mungkin bisa efektif jika diterapkan pada lapangan birokrasi sipil, tetapi apakah kedua batasan ini bisa efektif jika diterapkan pada lapangan birokrasi non sipil ?
Baca juga :
Oleh karena itu, suatu undang-undang yang berpotensi melahirkan pejabat yang sewenang-wenang dan cenderung menyalahgunakan wewenang, maka dalam proses pembentukan harus dilakukan secara hati-hati. Memang KUHP nasional akan segera berlaku efektif dalam beberapa bulan ke depan, sehingga membutuhkan hukum formil yang memadai agar KUHP nasional itu bisa berlaku efektif. Namun jika KUHAP yang baru ini justru berpotensi melahirkan aparat penegak hukum yang sewenang-wenang, maka usul agar RKUHAP ini ditunda keberlakuannya merupakan pilihan yang bijak. Persoalannya adalah RKUHAP sudah disetujui Bersama dan secara konstitusional maksimal 30 hari setelah persetujuan Bersama antara Presiden dan DPR, maka Presiden harus mengesahkan.
Penulis adalah Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Negeri Surabaya





