Scroll untuk baca artikel
Iklan MMI
Iklan MMI
PolitikSudut Opini

Memaknai Kembali Arti Kedaulatan Rakyat

9
×

Memaknai Kembali Arti Kedaulatan Rakyat

Sebarkan artikel ini
memaknai-kembali-arti-kedaulatan-rakyat
Aksi demonstrasi unjuk rasa Mahasiswa semula berjalan damai di depan Gedung Grahadi, Surabaya, Jum’at (29/08) I MMP I Ist

Memaknai Kembali Arti Kedaulatan Rakyat

Oleh : Hananto Widodo

mediamerahputih.id – Akhir-akhir ini peran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kembali disorot tajam oleh publik. Bahkan gara-gara ulah sebagian anggota DPR, akhirnya memantik demonstrasi besar-besaran di seluruh wilayah negeri ini. Sorotan public terhadap ulah sebagian anggota DPR ini bermula dari aksi joget yang dilakukan oleh sebagian anggota DPR, menyusul rencana pemerintah untuk menaikkan tunjangan DPR. Fenomena ini menjadi alarm keras untuk kembali memaknai arti dari kedaulatan rakyat. Dalam sistem demokrasi, DPR adalah representasi suara rakyat bukan sekadar simbol kekuasaan.

Ketika sebagian anggota DPR mempertontonkan perilaku yang dinilai tak mencerminkan empati di tengah kondisi rakyat yang masih berjuang dengan masalah ekonomi, keadilan, dan kesejahteraan, maka legitimasi moral mereka pun dipertanyakan. Bukan hanya menciderai perasaan rakyat, tetapi juga menunjukkan kalau sebenarnya niat mereka untuk menjadi anggota DPR bukan untuk tujuan mulia, yakni memperjuangkan kepentigan rakyat, tetapi untuk kepentingan mereka sendiri, yakni agar mereka mendapatkan gaji dan fasilitas fantastis.

Baca juga :

Bisakah Bupati Pati Dimakzulkan?

Namun demikian, awal mula gaji dan tunjangan mereka yang fantastis tentu bukan karena sekedar keinginan mereka sendiri, tetapi karena ada dukungan penuh dari eksekutif. Dukungan fasilitas dari eksekutif kepada DPR ini tentu bukan karena tanpa alasan, tetapi karena ada alasan politik yang jelas. Selama ini, relasi antara DPR dan eksekutif dimaknai sebagai relasi yang bersifat kemitraan, dengan alasan kita tidak menganut demokrasi liberal yang mensyaratkan agar ada oposisi sebagai penyeimbang pemerintah.

Makna relasi antara pemerintah dan DPR yang bersifat kemitraan inilah yang akhirnya menciptakan hubungan politis yang lebih bersifat symbiosis mutualistis. Dalam hubungan yang bersifat symbiosis inilah yang akhirnya menciptakan relasi yang kolutif. Padahal DPR memiliki fungsi pengawasan sebagai fungsi sentral untuk senantiasa mengawasi setiap kebijakan dari rezim yang berkuasa.

Baca juga :

Mungkinkah Wapres Gibran Dimakzulkan?

Relasi yang kolutif ini sebenarnya sudah terjalin lama, tepatnya ketika Jokowi berkuasa. Pada awal kekuasaannya pada tahun 2014, Jokowi berusaha untuk menjalin koalisi yang sederhana. Pada waktu itu, Jokowi hanya didukung oleh PDIP, PKB dan beberapa parpol lainnya. Pemerintahan Jokowi yang hanya didukung oleh sebagian kecil kekuatan politik yang ada di DPR justru membuat Jokowi kesulitan untuk menjalankan kebijakan-kebijakannya.

memaknai-kembali-arti-kedaulatan-rakyat
Demonstrasi jangan hanya dimaknai sebagai salah satu bentuk kebebasan menyampaikan pendapat oleh masyarakat, tetapi demonstrasi juga harus dimaknai sebagai bentuk tuntutan yang harus direspon oleh penguasa I MMP I Ist

Pemerintahan Jokowi sempat terseok-seok sekitar 3 bulan di awal pemerintahannya. Hingga akhirnya, Golkar dan PAN bergabung ke dalam pemerintahannya. Setelah bergabungnya kedua parpol besar tersebut ke dalam pemerintahannya, pemerintahan Jokowi menjadi stabil tanpa ada gangguan yang berarti. DPR bahkan jarang menggunakan pengawasannya untuk mengawasi jalannya pemerintahan Jokowi.

Baca juga :

Menggugat UU TNI

Dalam sejarah pemerintahan Jokowi, DPR memang pernah menggunakan fungsi pengawasannya, tetapi tidak ditujukan pada pemerintah, tetapi ditujukan pada KPK, hingga akhirnya KPK mengalami pelemahan seperti sekarang ini. Prabowo sebagai penerus Jokowi bukannya berbeda dengan Jokowi, tetapi Prabowo malah mengamini cara-cara yang melanggar etik dengan merangkul Gibran untuk menjadi Cawapresnya, padahal semua tahu kalau Gibran bisa maju menjadi Cawapres, karena putusan MK No.90 Tahun 2023 yang sarat dengan masalah.

Era reformasi yang diharapkan oleh semua pihak agar kehidupan demokrasi menjadi lebih baik dibanding Orde Baru ternyata masih menyisakan keraguan oleh berbagai kalangan. Demokrasi ternyata masih dimaknai sebagai demokrasi elitis di mana ketika penguasa mengeluarkan kebijakannya, hanya didasarkan pada selera penguasa dengan dukungan DPR. UU Cipta Kerja yang merupakan produk peninggalan Jokowi dan UU TNI yang nir partisipasi merupakan bukti bahwa Daulat rakyat benar-benar diambil alih oleh penguasa.

Baca juga :

Memperdebatkan Sifat Putusan MK

Padahal konstitusi kita sudah sangat jelas menegaskan dalam Pasal 1 ayat (2) kalau kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Dengan demikian, konstitusi kita menjamin kedaulatan rakyat, termasuk demonstrasi merupakan perwujudan dari Daulat rakyat yang harus didengarkan oleh para elit penguasa. Kematian Affan Kurniawan akibat terlindas kendaraan rantis polisi justru yang membuat demonstrasi membesar. Jika tidak terjadi peristiwa kematian Affan, apakah penguasa akan mengabulkan tuntutan masyarakat agar tunjangan anggota DPR dibatalkan ?

Pemerintah selalu menyerukan agar demonstrasi dilakukan secara damai, tetapi pemerintah lupa terhadap substansi dari demonstrasi itu sendiri. Demonstrasi jangan hanya dimaknai sebagai salah satu bentuk kebebasan menyampaikan pendapat oleh masyarakat, tetapi demonstrasi juga harus dimaknai sebagai bentuk tuntutan yang harus direspon oleh penguasa. Memaknai demonstrasi hanya sebagai bentuk kebebasan menyampaikan pendapat justru akan memicu pada kekecewaan masyarakat yang bisa berujung pada kericuhan.

Baca juga :

Memperbincangkan Dua Ketetapan MPR

Sebagaimana kita ketahui, ketika terjadi aksi demonstrasi, bukannya mereka memilih menemui para demonstran untuk berdialog, tetapi sebagian anggota DPR malah ngumpet. Bahkan setelah itu mereka memilih untuk pergi ke luar negeri. Seharusnya sebagai wakil rakyat mereka harus mampu menjawab kegalauan yang sedang melanda rakyatnya.

Demonstrasi merupakan bentuk deliberasi, di mana partisipasi masyarakat akan terselesaikan dengan melalui proses diskusi dan dialog antara pemerintah dengan rakyat atau DPR dengan rakyat. Jika kita melihat demonstrasi pada tahun 1998 dengan demonstrasi sekarang ini, memang terdapat perbedaan yang cukup mencolok terkait dengan keterbukaan yang dilakukan oleh MPR/DPR pada waktu itu. Pada tahun 1998, kita dipertontonkan perdebatan antara mahasiswa dan DPR, sedangkan pada demo kali ini tontonan seperti itu tidak kita saksikan.

Baca juga :

Antara Pelantikan Dan Pengucapan Sumpah Presiden/Wapres

Padahal, dialog yang terjadi antara masyarakat dan DPR atau masyarakat dan Pemerintah akan bisa mengurai kebuntuan komunikasi yang sekarang ini terjadi. Dialog dan diskusi antara DPR/Pemerintah dan masyarakat sejak dini akan bisa mencegah terjadinya demonstrasi yang berujung pada kericuhan.

Penulis adalah Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Negeri Surabaya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *