mediamerahputih.id – Dalam sistem hukum di Indonesia, apabila terdapat kekosongan hukum namun terdapat kasus yang harus diputuskan oleh Hakim. Bila dihubungkan dengan peran dan fungsi hakim, apakah hakim dapat mengisi kekosongan hukum dan penafsiran hukum atau interpretasi hukum? Sertakan alasan dan dasar hukumnya.
Pertanyaan materi topik tersebut biasa diulas pada sesi diskusi mata kuliah (MK) Pengantar Ilmu Hukum (PIH). Untuk mengulas materi tersebut berdasarkan ringkasan Buku Materi Pelajaran (BMP) Pengantar Ilmu Hukum pada perguruan tinggi. Untuk itu kita ulasan bahasan topik tersebut berdasarkan sumber referensi yang terdapat didalam BMP Pengantar Ilmu Hukum.
Ulasan:
Dalam sistem hukum di Indonesia, hakim adalah sang pengadil wakil Tuhan di dunia dalam hukum, hakim memiliki peran penting dalam mengisi kekosongan hukum dan melakukan penafsiran atau interpretasi hukum.
Namun berbicara tentang kekosongan hukum dimulai dari memahami kata hukum dan kekosongan, karena memang belum ada definisi yang baku mengenai kekosongan hukum (rechtsvacuum).
Baca juga:
Sistem Hukum dan Politik Hukum Indonesia Menggunakan sistem Hukum Apa? Ini Penjelasannya!
Sementara dalam Kamus Hukum, hukum berarti recht (Belanda) yang artinya undang-undang atau hukum. Grotius mendefinisikan hukum adalah peraturan tentang perbuatan moral yang menjamin keadilan (dalam bukunya De Jure Belli ac Pacis). Van Vollenhoven mendefiniskan hukum adalah suatu gejala dalam pergaulan hidup yang bergejolak terus menerus dalam keadaan bentur dan membentur tanpa henti-hentinya dengan gejalagejala lainnya (dalam bukunya Het Adatrecht van Nederlance Indie)”.
Surojo Wignjodipuro, hukum yaitu Hukum adalah himpunan peraturan-peraturan hidup yang besifat memaksa, berisikan suatu perintah, larangan atau izin untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu serta dengan maksud untuk mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat”. Yang dimaksud “peraturan-peraturan hidup” adalah peraturan-peraturan yang tertulis dalam peraturan perundangundangan maupun yang tidak tertulis/adat atau kebiasaan (dalam bukunya “Pengantar Ilmu Hukum”.
Dalam arti sempit kekosongan hukum adalah suatu keadaan kosong atau ketiadaan peraturan perundang-undangan (hukum) yang mengatur tata tertib (tertentu) dalam masyarakat. Berdasarkan pengertian tersebut, kekosongan hukum dalam Hukum Positif lebih tepat dikatakan sebagai “kekosongan undang-undang/peraturan perundang-undangan I MMP I ilustrasi I ist
Sementara kekosongan adalah perihal (keadaan, sifat, dan sebagainya) kosong atau kehampaan”, yang dalam Kamus Hukum diartikan dengan Vacuum yang diterjemahkan atau diartikan sama dengan “kosong atau lowong”. Dalam arti sempit kekosongan hukum adalah suatu keadaan kosong atau ketiadaan peraturan perundang-undangan (hukum) yang mengatur tata tertib (tertentu) dalam masyarakat. Berdasarkan pengertian tersebut, kekosongan hukum dalam Hukum Positif lebih tepat dikatakan sebagai “kekosongan undang-undang/peraturan perundang-undangan.
Baca juga:
Namun ketika berbicara mengenai fungsi hakim maka hal itu, diatur dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman) dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2019 tentang Pedoman Penyelesaian Perkara di Pengadilan.
Pada dasarnya, hakim memiliki tugas dan wewenang untuk memutuskan perkara yang diajukan kepadanya berdasarkan hukum yang berlaku.
Namun, jika terdapat kekosongan hukum atau ketidakjelasan dalam suatu kasus yang dihadapinya, hakim dapat melakukan pengisian kekosongan hukum dan penafsiran atau interpretasi hukum. Hal ini disebut juga sebagai “yurisprudensi” atau pembentukan hukum oleh hakim.
Dasar hukum yang mengatur hal ini ada pada Pasal 4 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya dalam pengadilan umum, administrasi negara, dan agama.
Hakim memiliki wewenang yang independen untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara yang diajukan kepadanya.
Baca juga:
Apa Beda antara Hukum, Syariat dan Fiqh Berikut Ini Penjelasannya!
Sementara itu, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2019 mengatur tentang prosedur penyelesaian perkara di pengadilan.
Pasal 6 Peraturan tersebut menyatakan bahwa hakim dalam memutus perkara harus berpedoman pada hukum yang berlaku.
Lantas bagaimana jika terdapat kekosongan hukum, maka hakim dapat menggunakan prinsip keadilan, kemanfaatan, kemaslahatan, dan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat untuk mengisi kekosongan tersebut.
Dalam praktiknya, pengisian kekosongan hukum dan penafsiran hukum oleh hakim harus didasarkan pada argumen dan alasan yang jelas, logis, dan sesuai dengan prinsip-prinsip hukum yang berlaku tentunya. Sebab di dalam hukum yang saya pahami bukan saja hafalan Undang-Undang atau Pasal-Pasal terkait KUHPidana maupun Perdata, tetapi hukum lebih pada norma serta penalaran.
Sehingga keputusan hakim yang mengisi kekosongan hukum dan melakukan penafsiran hukum ini juga dapat menjadi preseden atau dasar untuk perkara serupa di masa depan.
Dalam melaksanakan pengisian kekosongan hukum dan penafsiran hukum, maka hakim harus memperhatikan prinsip-prinsip hukum yang menjadi dasar sistem hukum di indonesia.
Adapaun beberapa prinsip hukum dalam konteks ini sebagai berikut:
- Prinsip Legalitas:
Prinsip ini menekankan pada hakim harus memastikan bahwa pengisian kekosongan hukum dan penafsiran hukum yang dilakukan didasarkan pada hukum yang berlaku secara sah dan mengikat. Sehingga hakim tidak boleh membuat atau mengubah hukum sesuai kehendaknya sendiri, melainkan harus mengacu pada peraturan perundang-undangan yang ada.
- Prinsip Keadilan:
Prinsip keadilan ini yaitu pengisian kekosongan hukum dan penafsiran hukum yang dilakukan oleh hakim wajib berlandaskan pada prinsip keadilan. Dimana hakim harus mempertimbangkan kepentingan semua pihak yang terlibat dalam perkara dan memastikan keputusannya sesuai dengan rasa keadilan yang berlaku pada masyarakat yang berazaskan keadilan bagi semua pihak.
- Prinsip Kemaslahatan:
Prinsip ini hakim harus mengedepankan kemaslahatan umum dalam pengisian kekosongan hukum dan penafsiran hukum. Dimana keputusan yang diambil harus mampu memberikan manfaat bagi masyarakat secara luas dan memperkuat sistem hukum secara keseluruhan.
- Prinsip Preseden:
Pada prinsip preseden ini keputusan hakim yang mengisi kekosongan hukum dan melakukan penafsiran hukum dapat menjadi preseden atau dasar untuk perkara serupa di masa depan. Sehingga prinsip ini memastikan konsistensi dan kepastian hukum dalam penyelesaian suatu perkara.
Pada praktiknya, hakim dapat mengacu pada putusan-putusan sebelumnya, pendapat pakar hukum, pertimbangan moral dan etika, serta norma-norma sosial yang berlaku dalam masyarakat. Di sisi lain hakim juga dapat melakukan komparasi terhadap hukum yang berlaku di negara lain yang memiliki permasalahan serupa.
Tetapi, penting untuk dicatat serta dipahami bahwa pengisian kekosongan hukum dan penafsiran hukum yang dilakukan oleh hakim harus tetap mempertimbangkan batasan-batasan yang ditetapkan oleh undang-undang dan prinsip-prinsip hukum yang telah disepakati. Dalam konteks ini hakim tidak boleh secara sembarangan mengubah atau melanggar ketentuan hukum yang berlaku.
Baca juga:
Dari kesimpulannya maka seorang hakim adalah pengutus pengadilan yang vital sehingga pengisian kekosongan hukum dan penafsiran hukum oleh hakim juga dapat menjadi objek peninjauan melalui proses banding atau kasasi. Di mana pengadilan tingkat lebih tinggi akan menguji keputusan hakim tersebut untuk memastikan keabsahan dan kepatuhan terhadap hukum yang berlaku.
Demikian apa yang bisa menjadi referensi tersebut. Namun ulasan diatas tidak mutlak bisa dipergunakan sebagai acuan dasar berdasarkan sumber referensi Pengantar Ilmu Hukum lainnya. Semoga bahasan tersebut menjadi rujukan referensi mengenai kekosongan hukum dan penafsiran hukum atau interpretasi hukum. (ton)