Scroll untuk baca artikel
Iklan MMI
Iklan MMI
Sudut Opini

Penguatan Amendemen Undang-Undang Perlindungan Konsumen

433
×

Penguatan Amendemen Undang-Undang Perlindungan Konsumen

Sebarkan artikel ini

Preventif dan Represif Perlindungan Konsumen

Ilustrasi perlindungan konsumen I MMP I ist
Ilustrasi perlindungan konsumen I MMP I ist

Penguatan Amendemen Undang-Undang Perlindungan Konsumen

Oleh: N.G.N. Renti Maharaini Kerti dan Muhammad Said Sutomo

Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia (DPR-RI) telah memasukkan Amendemen Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2023. Gagasan amendemen UUPK ini sebenarnya telah lama digaungkan oleh beberapa pihak yang berkepentingan terhadap penguatan perubahan UUPK, terutama tentang tugas pokok Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), peran efektif Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) sejak terjadi perubahan sistem transaksi yang disruptif, dari pola transaksi konvensional berubah menjadi digital.

Pengaduan konsumen seolah tidak pernah berhenti meskipun UUPK sudah 23 tahun lebih berlaku. Keberadaan lembaga perlindungan konsumen amanat UUPK seperti  BPKN, BPSK dan LPKSM masih belum menjadi bagian utama penentu kebijakan. Oleh karena itu, revisi UUPK sangat penting dan mendesak untuk segera dilaksanakan.

Diharapkan pasca-amendemen UUPK dapat menguatkan ketiga kelembagaan perlindungan konsumen, UUPK menjadi bagian utama dalam penentu kebijakan ekonomi yang mana kebijakan ekonomi tidak hanya diukur dari peningkatan produksi namun juga peningkatan konsumsi masyarakat karena kepercayaan masyarakat sebagai konsumen sehingga mendorong pertumbuhan produktifitas yang akhirnya tercipta kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Amendemen UUPK sangat penting untuk penguatan perlindungan hukum bagi rakyat Indonesia baik preventif maupun represif mengingat nilai transaksi kebutuhan hidup perharinya masyarakat cukup besar, baik di pasar konvensional maupun digital, peningkatan nilai pajak konsumtif yang dibayar konsumen pada setiap transaksi yang wajib disetor ke kas negara oleh para pelaku usaha.

Penguatan secara Preventif

Perlindungan preventif adalah perlindungan yang diberikan oleh pemerintah dengan tujuan untuk mencegah terjadinya pelanggaran hak-hak normatif konsumen. Hal ini tertuang di dalam kewajiban dan larangan bagi pelaku usaha. Pelaku usaha wajib mematuhi apa yang menjadi menjadi kewajibannya serta wajib menghindari apa-apa yang menjadi larangannya.

Salah satu kewajiban pelaku usaha adalah wajib bertitikad baik dalam melakukan usaha. Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan oleh peraturan perundang-undangan. Kewajiban dan larangan pelaku usaha dalam UUPK bertujuan mencegah suatu pelanggaran dengan memberikan rambu-rambu atau batasan dalam berusaha.

Perlindungan konsumen preventif (perlindungan premarket) di bidang obat-obatan dan makanan umpamanya, pemerintah memberikan mandat kepada BPOM (Badan Pengawan Obat dan Makanan) dengan peraturan Presiden Indonesia Nomor 80 Tahun 2017 tentang BPOM.

BPKN-RI dalam amendemen UUPK sudah waktunya diberi wewenang perlindungan konsumen preventif dengan difasilitasi Laboratorium Klausula Baku untuk pengawasan klausula baku terhadap dokumen dan/atau perjanjian baku sebelum ditandatangani oleh konsumen. Laboratorium ini sekaligus dapat membantu dan memperkuat fungsi pengawasan klausula baku.

Penguatan BPKN-RI seperti ini dapat menghindari kerugian konsumen di sektor kebutuhan dasar papan berupa perumahan atau apartemen, mengingat Pasal 18 UUPK melarang pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa dengan mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian bersifat eksonerasi, baik substansi, letak, dan bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, serta pengungkapannya sulit dimengerti.

Penguatan BPKN-RI dalam pengawasan Klausula Baku di amendemen UUPK sangat penting untuk mencegak korban konsumen pascatransaksi seperti konsumen apartemen Meikarta di Jakarta, konsumen apartemen Puncak CBD (Central Business District) di Surabaya maupun konsumen perumahan yang muncul ke permukaan akhir-akhir ini di beberapa daerah lainnya. Itu karena umumnya pelaku usaha enggan memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur tentang kepastian status tanah yang sering menjadi obyek sengketa konsumen.

Pasal 18 UUPK dapat dipidana sebagaimana diatur dalam Pasal 62 ayat (1) UUPK. Hak konsumen atas kebenaran informasi status tanah, apakah perumahan/apartemen dibangun di atas tanah hal milik pelaku usaha sendiri, atau hak guna bangunan atau hak pakai atas tanah negara, ataukah hak guna bangunan ataukah hak pakai di atas hak pengelolaan? Informasi ini harus jelasdan detail tertuang di dalam dokumen Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) sebelum ditandatangani oleh konsumen.

Jangan sampai dalam proses transaksi (penandatangan PPJB), ada dugaan penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstanstandigheden) oleh pelaku usaha. Apalagi akhir-akhir ini banyak pelaku usaha (pengembang) pailit atau PKPU (Penundaan Kewjaiban Pembayaran Utang) yang tentunya sangat berdampak pada pemenuhan hak-hak konsumen, mengingat baik di UUPK, Undang-undang  Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU serta Undang-undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman serta Undang-undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun tidak tegas mengatur  begaimana kedudukan konsumen (pembeli) dalam hal adanya putusan pailit.

Oleh karena itu, sangat penting dimasukkan satu pasal mengenai kedudukan konsumen dalam hal pailit pelaku usaha di mana konsumen diberi hak istimewa oleh undang-undang untuk didahulukan pembayarannya sebagaimana Pasal 1149 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata).

Penguatan secara Represif

Perlindungan konsumen secara represif ini adalah perlindungan hukum setelah terjadi sengketa dalam bentuk upaya penyelesaian sengketa dan sanksi yang merupakan perlindungan akhir berupa sanksi, baik berupa administratif, perdata maupun pidana, termasuk pertanggungjawaban pidana korporasi dan/atau pengurusnya atas kerugian konsumen (Pasal 45 s/d Pasal 48 dan Pasal 60 s/d Pasal 63 UUPK). Penguatan perlindungan represif ini butuh penguatan dalam pelaksanaan eksekusi. UUPK merupakan payung hukum yang mengintegrasikan dan memperkuat penegakan hukum di bidang perlindungan konsumen.

Jadi perlindungan konsumen represif bukan dengan cara mengoordinasikan tapi dengan cara mengintegrasikan peraturan perundang-undangan sektoral yang mempunyai dimensi perlindungan konsumen guna memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara kesluruhan. Perlu political good will dari pemerintah menempatkan UUPK bersama institusi pelaksana UUPK sebagai bagian utama penentu kebijakan ekonomi.

Pentingnya penguatan Pasal 46 ayat (1) huruf d UUPK mengenai gugatan legal standing selayaknya dimandatkan kepada BPKN-RI untuk mewakili kehadiran negara sebagaimana amanat pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea 4. Penguatan amendeman UUPK secara langsung menguatkan tiga pilar strategi nasional perlindungan konsumen seperti gagasan Prersiden Republik Indonesia Joko Widodo dalam Peraturan Presiden Nomor 50 Tahun 2017.

Pilar pertama, penguatan peranan pemerintah pusat dan daerah. Pilar kedua, penguatan keberdayaan konsumen secara individual maupun komunal: Teliti Sebelum Membeli, Waspada Sebelum Terpadaya! Pilar ketiga, adalah kepatuhan pelaku usaha menjadikan perlindungan konsumen sebagai regulasi internal Good Corporate Governance (GCG) dalam tata kelola majemen perusahaan yang berorientasi Consumers Centris.

Penulis Dr. NGN. Renti Maharaini Kerti, SH. MH adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Trisaksi Jakarta, Anggota Komisioner BPKN-RI 2023. Sedangkan Muhammad Said Sutomo Anggota Komisioner BPKN-RI 2023 dari Unsur Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *