Scroll untuk baca artikel
Iklan MMI
Iklan MMI
Sudut Opini

Menghadapi Hutan Beton Dengan Budaya Menanam Diantara Perkotaan

316
×

Menghadapi Hutan Beton Dengan Budaya Menanam Diantara Perkotaan

Sebarkan artikel ini
menghadapi-hutan-beton-menanam-di-perkotaan
Surabaya Urban Farming menjadi salah satu kota yang dikenal dengan urban farming. Setiap memasuki bulan September, ribuan pohon Tabebuya bermekaran di Kota Surabaya | MMP | dok Pemkot

Menghadapi Hutan Beton Dengan Budaya Menanam Diantara Perkotaan

Oleh : Lesmana Afriansyah

mediamerahputih.id | Kota-kota besar di Indonesia saat ini telah bertransformasi menjadi hutan beton yang terus berkembang. Gedung pencakar langit menggantikan pepohonan, aspal menutupi tanah, dan ruang terbuka hijau semakin terpinggirkan oleh kebutuhan akan lahan pembangunan. Data dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) menunjukkan bahwa hingga tahun 2022, Jakarta hanya memiliki sekitar 10,05% ruang terbuka hijau dari total luas wilayahnya, jauh dari amanat Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 yang mewajibkan minimal 30% ruang terbuka hijau di setiap kota. Dalam kondisi ini, manusia tidak hanya kehilangan ruang untuk bernapas, tetapi juga kehilangan hubungan yang intim dan menyembuhkan dengan alam.

Di tengah tantangan tersebut, praktik urban farming atau pertanian kota muncul sebagai gerakan yang tidak hanya relevan, tetapi juga mendesak. Kota yang didominasi beton dan baja ternyata masih menyimpan potensi untuk tumbuh. Melalui celah kecil di balkon apartemen, atap rumah, lorong gang, bahkan dinding bangunan, tanaman dapat tumbuh jika ada kemauan untuk menyemai. Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) mencatat bahwa lebih dari 800 juta orang di dunia kini mempraktikkan pertanian kota, dengan kontribusi terhadap pasokan pangan lokal di beberapa wilayah mencapai 15 hingga 20 persen. Ini menunjukkan bahwa bertanam di kota bukan sekadar wacana alternatif, melainkan kekuatan nyata untuk mendukung sistem pangan dan ekologi perkotaan.

Baca juga :

Ketika KPU dan Bawaslu Ad Hoc

Contoh keberhasilan praktik ini dapat ditemukan di berbagai kota di Indonesia. Komunitas seperti Jakarta Berkebun, Surabaya Urban Farming, dan Bandung Menanam aktif mendorong warga kota untuk memanfaatkan lahan sempit menjadi kebun produktif. Mereka tidak hanya menghasilkan sayur-mayur segar, tetapi juga memperkuat interaksi sosial antarwarga, membangun solidaritas, dan menciptakan kesadaran kolektif akan pentingnya hidup selaras dengan alam. Di kawasan padat seperti Kampung Akuarium di Jakarta Utara, warga bahkan mampu mengelola kebun kolektif yang menyuplai sebagian kebutuhan pangan harian mereka.

Di Sumatera Barat, praktik pertanian perkotaan juga mulai berkembang. Di Kota Padang, misalnya, Dinas Pangan bersama kelompok masyarakat telah mengembangkan Program Pekarangan Pangan Lestari (P2L) di beberapa kelurahan seperti Parak Gadang Timur dan Kuranji. Warga memanfaatkan halaman rumah dan gang sempit untuk menanam kangkung, bayam, cabai, dan tomat, serta membudidayakan ikan lele dalam ember.

Baca juga :

UNESA Membangun Karakter Bangsa Merintis 7 Desa Pancasila di Jatim

Menurut laporan Dinas Pangan Kota Padang tahun 2023, program ini berhasil meningkatkan ketahanan pangan rumah tangga di 42 kelompok wanita tani (KWT) dan mengurangi pengeluaran harian hingga 30%. Beberapa kelompok bahkan telah mulai menjual hasil panen mereka ke pasar lokal. Hal serupa juga terjadi di Bukittinggi dan Payakumbuh, di mana kebun komunitas mulai bermunculan sebagai bagian dari gerakan ketahanan pangan keluarga.

menghadapi-hutan-beton-menanam-di-perkotaan
Gedung pencakar langit menggantikan pepohonan, aspal menutupi tanah, dan ruang terbuka hijau semakin terpinggirkan akibat kebutuhan akan lahan untuk pembangunan | MMP | Ist

Persoalan lingkungan kota semakin kompleks, terutama dalam hal kualitas udara. Laporan IQAir tahun 2023 mencatat bahwa Jakarta beberapa kali mencatat indeks kualitas udara (AQI) di atas angka 150, yang tergolong tidak sehat bagi kelompok sensitif. Minimnya vegetasi membuat kota kesulitan menyaring polusi. Dalam konteks ini, setiap tanaman yang tumbuh di sudut kota menjadi penting. Studi dari University of Sheffield (2019) menunjukkan bahwa taman kota, bahkan yang kecil, mampu menurunkan suhu udara sekitar hingga 2°C dan menyerap debu serta partikel polutan hingga 25%. Oleh karena itu, bertanam bukan hanya tentang panen, tetapi juga tentang menciptakan paru-paru kecil bagi kota yang sesak.

Baca juga :

Seperti Apa Budaya Etika seorang Muslim? Begini menurut Dalil Al-Quran

Pandemi COVID-19 juga mengingatkan dunia akan kerentanan sistem logistik dan distribusi pangan. Saat supermarket kosong dan harga pangan melonjak, banyak keluarga di perkotaan mulai kembali menanam. Program Pekarangan Pangan Lestari dari Kementerian Pertanian mencatat lebih dari 30.000 kelompok masyarakat perkotaan yang terlibat aktif dalam bertanam selama masa pandemi. Di Jakarta dan Surabaya, beberapa warga mengaku mampu memenuhi 50–60% kebutuhan sayur dari kebun rumah. Ini bukan hanya soal ekonomi rumah tangga, tetapi juga tentang ketahanan pangan lokal yang berakar pada partisipasi warga.

Lebih dari itu, berkebun memberikan manfaat psikologis yang signifikan. Dalam hiruk-pikuk kehidupan kota yang dipenuhi stres, polusi suara, dan tekanan pekerjaan, bertanam hadir sebagai aktivitas terapeutik. Merawat tanaman membutuhkan perhatian, kesabaran, dan cinta—hal-hal yang sering terlupakan dalam ritme kehidupan urban. Penelitian dari International Journal of Environmental Research and Public Health (2021) membuktikan bahwa aktivitas berkebun secara rutin mampu menurunkan kadar hormon stres (kortisol), meningkatkan konsentrasi, dan memperbaiki suasana hati. Oleh karena itu, semakin banyak masyarakat kota yang kini menjadikan berkebun sebagai bagian dari rekreasi harian sekaligus proses penyembuhan emosional.

Baca juga :

Jawaban Korelasi Antara Sumber Hukum Formil dengan Materiil Beserta Contohnya

Selain memberikan dampak personal, aktivitas ini juga menciptakan ruang sosial baru. Di berbagai kota, taman komunitas menjadi tempat perjumpaan warga lintas usia dan latar belakang. Di Kebun Cinta Bandung atau Urban Farm Yogyakarta, warga tidak hanya datang untuk menanam, tetapi juga untuk berbagi ilmu, merayakan panen, dan membangun solidaritas baru. Kota yang selama ini dicap individualistik mulai menemukan kembali semangat kolektif melalui tanah dan tanaman. Budaya bertanam menjadi jalan untuk memulihkan keterhubungan sosial yang semakin renggang.

Namun, untuk mewujudkan budaya bertanam sebagai gaya hidup kota secara menyeluruh, dibutuhkan lebih dari sekadar semangat warga. Pemerintah daerah perlu hadir secara aktif dengan menyusun kebijakan yang berpihak pada ruang hijau produktif. Pengalokasian lahan tidur untuk kebun komunitas, pemberian insentif bibit dan pelatihan, serta pengintegrasian kebun dalam rencana tata ruang kota adalah bentuk dukungan konkret. Lembaga pendidikan dapat menjadikan berkebun sebagai bagian dari kurikulum lingkungan hidup, sementara sektor swasta bisa menjadikan kebun kota sebagai bagian dari program tanggung jawab sosial mereka. Pengembang perumahan dan apartemen seharusnya menyediakan area tanam, baik vertikal maupun horizontal, sebagai standar ruang hidup berkelanjutan.

Baca juga :

Mengapa perlu mempelajari Ilmu Hukum? Begini Metodenya!

Peran media juga sangat penting. Ketika berkebun diposisikan sebagai aktivitas yang menarik, sehat, dan berdampak sosial, semakin banyak warga kota yang akan mengadopsinya. Influencer dan tokoh publik dapat membantu membentuk narasi bahwa bertanam bukan hanya milik desa, tetapi juga bagian dari identitas kota modern yang peduli lingkungan.

Pada akhirnya, bertanam di kota bukan sekadar solusi teknis terhadap krisis ekologis, tetapi juga gerakan kultural untuk membangun kembali relasi manusia dengan alam dan sesamanya. Ia menjadi simbol harapan yang tumbuh di tengah beton dan debu, menunjukkan bahwa kehidupan tetap mungkin ditemukan jika kita mau merawatnya. Dari satu pot kecil di jendela hingga taman komunitas di tengah kompleks, setiap ruang hijau adalah ruang tumbuh—bagi tanaman dan juga bagi manusia.

Baca juga :

Menteri Kebudayaan Fadli Zon Apresiasi Kurban Massal di Surau Qutubul Amin Depok

Kini saatnya menanam tidak lagi dianggap sebagai kegiatan sisa waktu akhir pekan, melainkan sebagai bagian integral dari gaya hidup kota yang sehat, inklusif, dan berkelanjutan. Di antara tembok yang kaku dan jalanan yang padat, mari kita ciptakan ruang hidup yang memberi napas, memberi makan, dan memberi makna.

Penulis adalah Mahasiswa Jurusan Agribisnis(S1) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *