Scroll untuk baca artikel
Iklan MMI
Iklan MMI
Berita Terbaru

Asesor LSP Pers Ingatkan Dewan Pers Sebagai Fasilitator

311
×

Asesor LSP Pers Ingatkan Dewan Pers Sebagai Fasilitator

Sebarkan artikel ini

Merah Putih I SURABAYA – Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu, 31/8/2022 di Jakarta mengadili permohonan uji materi atau judicial review tentang Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Dalam keputusannya MK menolak gugatan uji materiil UU Pers tersebut.

Asesor LSP Pers Indonesia, Dedik Sugianto mengingatkan kembali di dalam Pasal 15 ayat 2 huruf (f) UU Pers nomor 40 tahun 1999, Dewan Pers melaksanakan salah satu fungsinya memfasilitasi organisasi – organisasi pers dalam menyusun peraturan – peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan, dan di pasal 15 ayat 5 keanggotaan Dewan Pers ditetapkan dengan keputusan Presiden.

Menurutnya terkait pasal tersebut diatas, 3 (tiga) wartawan yakni Heintje Grontson Mandagie, Hans M Kawengian, dan Soegiharto Santoso, mengajukan permohonan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Dimana dalam pengajuan permohonan dilakukan pada tanggal 7 Juli 2021 dengan  Nomor 29/PUU/PAN.MK/AP3/07/2021 dan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) pada tanggal 12 Agustus 2021 dengan Nomor 38/PUU-XIX/2021, yang telah diperbaiki dan diterima oleh MK pada tanggal 6 September 2021 lalu.

Dedik menyebut para pemohon termasuk ia, menilai peraturan Dewan Pers yang ditetapkan oleh Dewan Pers tidak sesuai dengan pasal 15 ayat 2 huruf (f) UU Pers, dan telah mencederai kemerdekaan dan kebebasan pers serta menghilangkan hak organisasi – organisasi pers dalam menyusun dan membuat peraturan-peraturan di bidang pers dalam upaya meningkatkan kualitas profesi kewartawanan.

Selain itu, adanya ketidakjelasan tafsir Pasal 15 ayat (5) UU a quo, mengakibatkan Dewan Pers Indonesia yang terbentuk melalui Kongres Pers Indonesia 2019 di Asrama Haji Jakarta tanggal 6 Maret 2019 tidak kunjung ditetapkan dengan Keputusan Presiden.

Setelah 10 kali persidangan, pada hari Rabu (31/08/2022), dipersidangan ke-11 Mahkamah Konstitusi membacakan hasil putusan. Dalam amar putusan, 9 (sembilan) hakim MK menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya.

Amar putusan itu diputus dalam rapat permusyawaratan hakim oleh 9 hakim Konstitusi yaitu Anwar Usman selaku Ketua merangkap anggota, Aswanto, Arief Hidayat, Manahan M.P. Sitompul, Daniel Yusmic P. Foekh, Enny Nurbaningsih, Saldi Isra, Suhartoyo, dan Wahiduddin Adams, masing-masing sebagai anggota, yang digelar pada hari Rabu (27/7/2022) dan pada hari Senin (8/8/2022).

Terkait hasil putusan itu, Dedik Sugianto yang juga Ketua Umum Wakomindo (Wartawan Kompeten Indonesia), berpendapat agar seluruh elemen pers di Indonesia menghormati putusan MK yang menolak permohonan para pemohon tentang uji materi pasal 15 ayat 2 huruf (f) dan pasal 15 ayat 5 terhadap UUD 1945.

Didalam isi hasil putusan, Ia menangkap sesuatu yang tersirat yang perlu dicermati, yakni kedudukan dari Dewan Pers yang selama ini di pertanyakan publik. Didalam putusan itu, lanjut ia, kedudukan Dewan Pers jelas diterangkan sebagai fasilitator (memfasilitasi) organisasi pers menyusun peraturan di bidang Pers.

“Maksud dari “memfasilitasi” menegaskan Dewan Pers hanya menyelenggarakan tanpa ikut menentukan isi dari peraturan di bidang pers. Fungsi memfasilitasi tersebut menurut Mahkamah Konstitusi telah sejalan dengan semangat independensi dan kemandirian organisasi pers.

Dengan adanya fungsi memfasilitasi maka hak organisasi pers tetap terjamin untuk mengeluarkan pikiran dan pendapatnya terhadap substansi peraturan yang akan dibentuk di bidang pers,” katanya.

Dedik menambahkan, hal itu bisa diartikan bahwa semua organisasi pers berbadan hukum, baik konstituen Dewan Pers atau diluar konstituen Dewan Pers dijamin dan berhak mengeluarkan pikiran dan pendapat terhadap subtansi peraturan yang akan dibentuk dibidang Pers.

Namun, terkait pelaksanaan uji kompetensi atau sertifikasi kompetensi, menurut MK hal tersebut adalah persoalan konkret yang sudah diselesaikan melalui Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 235/ Pdt.G/ 2018/ PN.Jkt.Pst juncto Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor 331/ PDT/ 2019/ PT DKI.

Ada beda pendapat dikalangan pers Indonesia, tentang siapa yang sah menurut hukum yang berhak mengeluarkan sertifikat kompetensi wartawan. Ada yang berpendapat bahwa UU pers adalah Lex spesialis, maka Dewan Pers-lah yang berhak menyelenggarakan Uji Kompetensi Wartawan.

Perlu dipahami kita semua, dalam penerapan UU Lex spesialis mengacu kedalam Pasal 63 ayat (2) KUHP yang menyatakan bahwa jika suatu perbuatan, yang masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang dikenakan.

Dari hal itu, Ketua Umum SWI (Sindikat Wartawan Indonesia) ini kembali mengingatkan, yang dianggap UU Pers sebagai UU Lex spesialis adalah dalam hal pengaturan hukumnya bukan pengaturan profesi wartawannya. Sedangkan wartawan sebagai profesi, diatur dalam perundang-undangan bahwa segala profesi masuk didalam urusan Kementerian Tenaga Kerja.

Sehingga dalam urusan sertifikasi profesi diatur didalam peraturan dan perundang undangan bahwa untuk  memperoleh sertifikat profesi dapat  mengikuti sertifikasi kompetensi yang digelar Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) melalui Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP).

“Sedangkan LSP yang berhak menyelenggarakan sertifikasi profesi setidaknya harus mempunyai 2 syarat penting, yakni mempunyai SKKK (Standar Kompetensi Kerja Khusus) atau SKKNI (Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia) yang teregistrasi di Kementerian Tenaga Kerja dan mempunyai skema yang terverifikasi BNSP,” beber ia.

Kemudian ia menjabarkan dasar hukum pendirian LSP dan BNSP setidaknya ada 10 dasar hukum yang mengatur pendirian LSP dan BNSP yakni :

1. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pasal 18.
2. Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 61.
3. Undang-Undang No. 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian (Lembaran Negara tahun 1984 No. 22, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3274).
4. Peraturan Pemerintah No. 52 Tahun 2012 tentang Sertifikasi Kompetensi dan Sertifikasi Usaha di bidang Pariwisata.
5. Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 2006 tentang Sistem Latihan Kerja Nasional.
6. Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2004 tentang Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP).
7. PerMenakertrans No. PER.22/MEN/IX/2009 tentang Penyelenggaraan Pemagangan Dalam Negeri.
8. PerMenakertrans No. PER. 21/MEN/X/2007 tentang Tata Cara Penetapan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia.
9. PerMenakertrans No. PER-17/MEN/VI/2007 tentang Tatacara Perizinan dan Pendaftaran Lembaga Pelatihan Kerja.
10. Surat Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia No. KEP-96A/MEN/VI/2004 tentang Pedoman Penyiapan dan Akreditasi Lembaga Sertifikasi Profesi.

Berdasarkan 10 dasar hukum tersebut, terang ia, mau tidak mau, setuju ataupun tidak, negara sudah mengatur sedemikan rupa tentang sistem sertifikasi profesi yang seharusnya diikuti oleh semua pihak, termasuk oleh wartawan.

Kendati demikain, menurutnya walaupun ada beda pendapat siapa yang berhak dalam menyelenggarakan Sertifikasi Profesi Wartawan, ada satu persamaan diantara perbedaan itu, yakni Semangat, Semangat yang sama untuk meningkatkan kualitas wartawan.

“Semoga semangat yang sama bisa menyamakan perbedaan selama ini. Semoga,” tutup Dedik salah satu saksi Pemohon dalam Uji Materi UU Pers di Mahkamah Konstitusi (MK) tersebut.

Seperti diketahui, Mahkamah Konstitusi (MK) Rabu, (31/8/2022) telah mengadili permohonan uji materi atau judicial review tentang Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Dalam keputusannya MK menolak gugatan uji materiil UU Pers tersebut.

“Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK, Usman Anwar, yang memimpin sidang. Dengan demikian permohonan uji materiil terhadap UU Pers itu pun gugur.

MK membantah beberapa argumen yang diajukan pemohon. Tudingan, bahwa hanya Dewan Pers yang membuat aturan organisasi pers dimentahkan oleh MK.

Menurut MK, Dewan Pers memfasilitasi pembahasan bersama dalam pembentukan peraturan organisasi konstituen pers. Dalam hal ini tidak ada intervensi dari pemerintah maupun Dewan Pers. Fungsi memfasilitasi, dinilai MK sesuai dengan semangat independensi dan kemandirian organisasi pers.

Adanya tuduhan bahwa Pasal 15 ayat 2 UU Pers membuat Dewan Pers memonopoli pembuatan peraturan tentang pers juga dibantah MK. “Tuduhan monopoli pembuatan peraturan oleh Dewan Pers adalah tidak berdasar,” tutur Usman.

Mengenai gugatan atas uji kompetensi wartawan (UKW), MK menyatakan, bahwa hal itu merupakan persoalan konkret dan bukan norma (aturan). Masalah ini juga sudah diputuskan pada tahun 2019 dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Soal kemerdekaan pers, MK menyatakan, Pasal 15 ayat 2 huruf (f) dan Pasal 15 ayat 5 UU Pers tidak melanggar kebebasan pers. Bahkan kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat pun tidak dihalangi oleh pasal tersebut.(red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *