Scroll untuk baca artikel
Iklan MMI
Iklan MMI
NasionalEkbis

YLPK Jatim Desak Penegakan Hukum Terhadap Praktik Kuota Internet Hangus Merugikan Konsumen

5595
×

YLPK Jatim Desak Penegakan Hukum Terhadap Praktik Kuota Internet Hangus Merugikan Konsumen

Sebarkan artikel ini
ylpk-jatim-penegakan-hukum-kuota-internet
Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen Jawa Timur (YLPK Jatim) menyoroti praktik hangusnya kuota internet yang tidak terpakai oleh konsumen. Mereka menilai bahwa tindakan ini tidak adil dan melanggar Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK). Selain itu, YLPK Jatim juga mengkritik pelaku usaha operator telekomunikasi yang dinilai tidak menjamin mutu barang dan jasa yang diperdagangkan sesuai dengan standar yang berlaku | MMP I Ist
mediamerahputih.id I SURABAYA – Ketua Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen Jawa Timur (YLPK Jatim), Said Sutomo, mengkritik keras praktik hangusnya kuota internet yang tidak terpakai oleh konsumen. Menurutnya, tindakan ini tidak hanya tidak adil, tetapi juga melanggar Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK), mengingat konsumen telah membayar penuh dan berhak mendapatkan manfaat dari produk dan layanan yang telah mereka beli.

“Jika kuota yang sudah dibayar hangus tanpa adanya kompensasi atau mekanisme rollover yang adil, ini sangat merugikan konsumen dan bertentangan dengan prinsip perlindungan konsumen, terutama terkait dengan hak atas informasi yang jelas dan perlakuan yang adil,” ujar Said dalam wawancara dengan mediamerahputih.id, Kamis (19/6/2025) malam.

Baca juga :

YLPK Jatim Tolak Regulasi Baru OJK, Terkait Co-Payment yang Melemahkan Konsumen Asuransi Kesehatan

Said menegaskan bahwa operator telekomunikasi, baik yang berskala nasional maupun global, telah diduga melanggar Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), terutama terkait dengan kewajiban normatif yang tercantum dalam Pasal 7 huruf d. Pasal tersebut mewajibkan pelaku usaha untuk menjamin mutu barang dan jasa yang diperdagangkan sesuai dengan standar yang berlaku.

ylpk-jatim-penegakan-hukum-kuota-internet
Aparat penegak hukum didesak untuk segera menyelidiki operator telekomunikasi nasional dan global yang beroperasi di Indonesia yang bertentangan dengan prinsip perlindungan konsumen, terutama terkait hak atas informasi yang jelas dan perlakuan yang adil | MMP | dok

Lebih lanjut, Said mengingatkan bahwa sanksi terhadap pelanggaran ini dapat merujuk pada Pasal 62 ayat (1) juncto Pasal 8 ayat (1) huruf a UUPK, yang melarang pelaku usaha memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan jasa yang tidak memenuhi standar yang dipersyaratkan. Pelanggaran ini berpotensi dikenakan sanksi pidana penjara paling lama lima tahun atau denda maksimal Rp 2 miliar.

Baca juga :

YLPK Jatim Sebut Pengguna Asbes Putih 100 Persen Belum Pernah Alami Sesak Napas

Said pun mendesak aparat penegak hukum, termasuk Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dan penyidik umum Polri, untuk segera melakukan penyelidikan terhadap operator telekomunikasi nasional dan global yang beroperasi di Indonesia. “Kami berharap tindakan tegas dapat diambil untuk melindungi hak-hak konsumen dan memastikan keadilan dalam praktik bisnis,” tegasnya.

Sebelumnya, Indonesian Audit Watch (IAW) mengungkapkan bahwa potensi kerugian negara akibat kuota internet yang tidak terpakai oleh konsumen dapat mencapai Rp 63 triliun per tahun. Menanggapi hal ini, Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) memberikan klarifikasi melalui Direktur Eksekutifnya, Marwan O. Baasir.

Baca juga :

YLPK Jatim Desak Prinsipal GS Yuasa Laporkan Aki GS Abal-abal

Marwan menjelaskan bahwa ATSI dan seluruh anggotanya berkomitmen untuk menerapkan prinsip tata kelola yang baik serta mematuhi regulasi yang berlaku. Ia menambahkan, penetapan harga, kuota, dan masa aktif layanan prabayar sudah sesuai dengan Pasal 74 Ayat 2 M Kominfo No. 5 Tahun 2021, yang mengatur bahwa deposit prabayar memiliki batas waktu penggunaan.

“Hal ini juga sejalan dengan ketentuan dari Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan, yang menyatakan bahwa pulsa bukanlah alat pembayaran sah atau uang elektronik, sehingga sudah dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) seperti barang konsumsi lainnya,” terang Marwan.(ton)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *