mediamerahputih.id I Beredar secara diam-diam draf revisi Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP), yang memicu kontroversi, khususnya terkait dengan kewenangan Kejaksaan dalam penanganan tindak pidana korupsi. Draf tersebut dianggap dapat melemahkan peran Kejaksaan, karena hanya memberikan kewenangan penyidikan kepada jaksa dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat. Perubahan ini mendapat kritik keras dari berbagai pihak yang berpendapat bahwa hal ini berpotensi menjadi kemunduran dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.
Ketua Komisi Kejaksaan (Komjak) Republik Indonesia, Pujiyono Suwadi, menyoroti draf Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) yang beredar. Ia mengungkapkan harapannya agar kewenangan Kejaksaan dalam menangani kasus korupsi tidak dilemahkan.
Baca juga :
Draf tersebut disebut menghapus kewenangan Kejaksaan dalam melakukan penyidikan terhadap kasus korupsi, yang menurutnya bertentangan dengan UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, yang memberikan kewenangan kepada jaksa dalam menangani tindak pidana khusus, termasuk korupsi.
Pujiyono menilai bahwa Kejaksaan telah menunjukkan kinerja luar biasa dalam pemberantasan korupsi, terutama dalam menangani kasus besar atau yang dikenal dengan istilah ‘Big Fish’.
Baca juga :
Korupsi Pertamax Diduga Oplos Negara Rugi Rp193,7 Triliun per Tahun
Ia menyayangkan jika RUU KUHAP menghapus kewenangan Kejaksaan dalam menangani kasus korupsi. “Jika dalam KUHAP tipikor tidak menjadi kewenangan Kejaksaan, ada agenda apa? Sementara Kejaksaan Agung saat ini gencar memberantas korupsi dengan menangani kasus-kasus besar,” ungkapnya.

Sebagai Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Pujiyono menjelaskan bahwa meskipun kewenangan Kejaksaan diatur dalam UU Kejaksaan, hal ini juga perlu diatur dalam KUHAP. Pasalnya, jika kewenangan tersebut tidak diatur dalam KUHAP, tindakan Kejaksaan dalam menangani kasus korupsi bisa dengan mudah digugat melalui praperadilan atau eksepsi di persidangan.
Baca juga :
Kejaksaan Bongkar Dugaan Korupsi Pembangunan Rumah Prajurit Fiktif Libatkan Seorang Perwira Militer
“Jika dalam undang-undang induk, KUHAP tidak mengatur kewenangan Kejaksaan dalam penanganan korupsi, hal itu akan menjadi tidak implementatif dan menimbulkan celah hukum. KUHAP seharusnya menjamin berlakunya hukum materiil, seperti KUHP, UU Tipikor, UU Narkoba, dan UU HAM berat,” tambahnya.
Pujiyono juga mendesak Komisi III DPR, untuk membuka draf RUU KUHAP secara resmi kepada publik agar mendapatkan masukan yang lebih luas. Ia berharap proses ini melibatkan partisipasi publik untuk memastikan hukum formil yang dihasilkan dapat berlaku jangka panjang, bahkan hingga 70 tahun ke depan.
Baca juga :
Ketua KPK Nawawi Bantah Firli Soal Ancaman dari Kapolda Metro Jaya
“Jika kewenangan Kejaksaan dalam penanganan tipikor dihapus, hal ini bisa dianggap sebagai upaya memberikan impunitas bagi koruptor,” tegasnya. Ia menambahkan bahwa diskusi dengan jaksa menunjukkan bahwa hal ini bisa dilihat sebagai upaya mengurangi kewenangan jaksa dalam penindakan korupsi, yang bisa menjadi kemenangan bagi para koruptor.
Pujiyono berharap DPR memastikan bahwa kewenangan Kejaksaan dalam penanganan tipikor tetap diatur dengan jelas dan tegas dalam RUU KUHAP yang baru. Ia meminta agar DPR tidak berdalih dengan alasan adanya UU khusus yang memberikan kewenangan kepada Kejaksaan dalam menangani tipikor.
“Saya berharap Komisi III DPR RI membuka draf ini secara resmi dan melibatkan partisipasi publik seluas-luasnya, khususnya terkait semangat pemberantasan korupsi. Jangan sampai kewenangan Kejaksaan dihilangkan,” tambahnya.
Baca juga :
Ia juga meminta masyarakat untuk terus mengawal RUU KUHAP, dengan harapan agar RUU ini dapat memperkuat sistem hukum pidana Indonesia dan menjaga integritas Kejaksaan dalam pemberantasan korupsi.
“Meski tidak ada niat untuk menghilangkan kewenangan Kejaksaan, namun dalam KUHAP harus disebutkan secara jelas bahwa Kejaksaan memiliki kewenangan dalam pemberantasan korupsi. Kami juga membutuhkan dukungan publik agar RUU KUHAP tetap dikawal,” tandasnya.
Sementara Pakar hukum Universitas Brawijaya (UB) Fachrizal Afandi menekankan peran kejaksaan sebagai lembaga penegak hukum tegas dalam mengungkap kasus-kasus besar, terutama korupsi. Ia berharap kewenangan kejaksaan dalam penanganan kasus korupsi tidak dilemahkan.
Baca juga :
“Kejaksaan diharapkan dapat terus berperan sebagai lembaga penegak hukum yang tegas dalam mengungkap kasus-kasus besar, terutama korupsi,” kata Fachrizal yang diterima redaksi, senin (17/03) sore
Menurut Fachrizal, kejaksaan selama ini telah menunjukkan kinerja yang luar biasa dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Untuk itu, ia menyayangkan jika dalam RUU KUHAP menghapus kewenangan kejaksaan dalam pemberantasan kasus korupsi.
“Maka Jaksa harus diberikan kewenangan yang jelas, dan tertuang dalam KUHAP. Jika dihapus, maka ada upaya untuk melemahkan posisi kejaksaan melalui perubahan dalam RUU KUHP,” terangnya.
menurutnya bila kewenangan itu dihapus maka mengharuskan jaksa untuk melapor kepada polisi sebelum melakukan penyidikan terkait kasus korupsi. Fachrizal menekankan pentingnya revisi KUHAP dalam memperkuat kewenangan jaksa sebagai penyidik. Agar tidak ada pengaturan yang melemahkan pemberantasan korupsi.
Baca juga :
3 Hakim Pemvonis Bebas Ronald Tannur dan Satu Pengacara Terjaring OTT Kejagung
Fachrizal menambahkan dalam upaya penegakan hukum harus dilakukan secara independen, tanpa intervensi politik, dan pengangkatan Jaksa Agung perlu melibatkan check and balance dari DPR.
mengenai RUU KUHAP, Fachrizal menilai peran dan kewenangan kejaksaan perlu diperkuat melalui revisi undang-undang. Agar dapat menjalankan tugasnya dalam memberantas korupsi secara efektif dan independen. “Upaya untuk melemahkan kejaksaan harus dihindari dan memastikan bahwa jaksa memiliki kekuasaan yang cukup untuk melakukan penyidikan tanpa intervensi dari pihak lain,” serunya. (dtc/red)