KUHP Yang Baru Seharusnya Bukan Sekedar Dekolonisasi
Oleh : Hananto Widodo
Setelah terjadi polemik yang cukup berkepanjangan terkait dengan substansi dari RKUHP, akhirnya RKUHP disetujui bersama antara DPR dan Pemerintah. Ketika suatu rancangan UU itu telah disetujui bersama antara DPR dan Pemerintah, maka dapat dipastikan tidak akan lama lagi UU itu akan segera disahkan dan diundangkan, sehingga UU itu akan mengikat secara umum. Berbeda dengan UU pada umumnya, pada KUHP ini baru akan berlaku tiga tahun setelah UU ini diundangkan.
Pemberlakuan 3 tahun setelah diundangkan memang agak aneh jika dilihat pada aspek perundang-undangan. Memang ada beberapa UU yang tidak langsung berlaku tapi baru berlaku beberapa tahun setelah UU tersebut diundangkan. UU yang tidak langsung berlaku setelah UU tersebut diundangkan antara UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Pasal 78 UU ini menyatakan “Undang-undang ini mulai berlaku 12 (dua belas) bulan sejak tanggal diundangkan.”
Pemberlakuan suatu UU beberapa tahun sejak UU tersebut diundangkan memang bisa diterima, tetapi harus ada alasan yang jelas terkait hal itu. Pemberlakuan 3 tahun setelah RKUHP diundangkan dengan alasan agar KUHP ini disosialisasikan terlebih dahulu adalah alasan yang janggal. Kalau memang pembentuk UU masih tidak yakin apakah norma hukum dalam KUHP yang baru ini dapat diterima oleh masyarakat atau tidak, lalu kenapa KUHP yang baru ini harus segera disahkan dan diundangkan ? Kenapa pembentuk UU tidak memilih opsi untuk menunda persetujuan bersama saja ?
Beberapa pihak, mengatakan RKUHP ini dibentuk sebagai upaya pembaharuan hukum pidana, karena KUHP yang lama dianggap memiliki semangat kolonisasi. KUHP yang baru ini dibentuk dengan tujuan untuk melakukan dekolonisasi. Namun apakah benar demikian ? Apakah dekolonisasi itu hanya sekedar mengganti produk hukum peninggalan hukum Belanda dengan hukum buatan Indonesia ? Malah KUHP yang baru ini oleh publik dianggap mempertahankan ruh kolonialisme. Bukan saja kolonialisme tetapi juga sebagai upaya untuk mereduksi ruh demokrasi di negeri ini yang telah kita pelihara kurang lebih 20 tahun pasca runtuhnya Orde Baru.
Pasal-Pasal tentang ancaman kebebasan berpendapat merupakan hal yang paling mendapat perhatian dari publik. Ancaman penjara bagi penghina Pejabat Publik merupakan salah satu contohnya. Padahal Pasal tentang penghinaan terhadap Presiden versi KUHP yang lama telah dibatalkan oleh MK. Para perumus RKUHP membantah kalau pasal penghinaan terhadap Pejabat Publik yang diatur dalam KUHP yang baru ini bertentangan dengan putusan MK. Pasal penghinaan terhadap Pejabat Publik ini bukan merupakan delik biasa tetapi delik aduan sebagaimana ditegaskan dalam putusan MK.
Sebenarnya perdebatan terkait Pasal ancaman terhadap kebebasan berpendapat ini kurang tepat jika hanya sekedar ditinjau dari aspek kolonisasi atau dekolonisasi, tetapi akan lebih tepat jika perdebatan ini mengarah pada teori persamaan di hadapan hukum (equality before the law). Mengkaji mengenai teori persamaan di hadapan hukum bukan hanya melihat pada konteks penerapan hukumnya saja tetapi juga dilihat pada aspek sistem hukumnya. Secara penerapan hukum, harus diakui bahwa hukum kita ini masih tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Meskipun ada beberapa Pejabat yang akhirnya diseret ke meja hijau, seperti Ferdi Sambo, tetapi itu karena ada desakan dari publik yang begitu kuat sehingga mau tidak mau akhirnya Ferdi Sambo diproses secara hukum.
Namun, secara sistem kita memang tidak menganut prinsip equality before the law. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya beberapa peradilan tersendiri yang menangani kasus-kasus tertentu. Adanya Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang menangani sengketa antara pejabat tata usaha negara dan masyarakat dan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menangani pengujian UU terhadap UUD dan beberapa kewenangan lainnya ini menunjukkan jika secara sistem kita tidak menganut prinsip equality before the law. Jika kita menganut prinsip equality before the law secara sistem, maka semua sengketa atau perkara akan diselesaikan di pengadilan yang sama.
Secara sistem memang kita tidak menganut prinsip equality before the law, tetapi itu hanya terbatas pada penyelesaian di bidang tata usaha negara dan ketatanegaraan. Namun bagaimana dengan penyelesaian kasus pidana ? Jika ini terkait dengan kejahatan yang dilakukan oleh negara terhadap warga negara, maka dapat dibenarkan jika harus dibentuk pengadilan ad hoc untuk menyelesaikan masalah kejahatan yang dilakukan negara terhadap warga negara. Pembentukan pengadilan khusus ini tidak lain dan tidak bukan karena kedudukan antara negara dan warga negara tidak setara, sehingga dibutuhkan pengadilan yang netral dan tidak memihak (imparsial) untuk menyelesaikan kasus ini.
Berbeda dengan kejahatan yang dilakukan oleh negara terhadap warga negara, kejahatan yang dilakukan oleh warga negara terhadap pejabat seharusnya diselesaikan di pengadilan umum. Karena diselesaikan oleh pengadilan umum, maka ini menegaskan bahwa ini merupakan perkara antar warga negara.
Hanya kebetulan yang dihina adalah Pejabat dan yang menghina adalah warga negara biasa. Oleh karena itu kedudukan antara yang dihina dan menghina adalah setara. Dengan demikian, adanya rumusan ancaman pidana terhadap penghina Pejabat Publik adalah tidak tepat. Adanya rumusan ancaman pidana terhadap penghina Pejabat Publik menegaskan bahwa Pejabat memiliki privilege dibanding warga negara biasa.
Alangkah lebih tepat jika rumusan ancaman pidana terhadap Pejabat Publik dihapus, karena bertentangan dengan prinsip equality before the law. Argumentasi yang mengatakan kalau Presiden adalah symbol negara harusnya tidak menjadi landasan dalam melegitimasi Pasal ini. Begitu juga perdebatan terkait perbedaan antara kritik terhadap Pejabat dan penghinaan terhadap Pejabat juga sudah tidak relevan lagi. Kritik dan penghinaan itu seringkali terletak pada “rasa”.
Ketika seseorang “merasa” dihina walau ini bukan hinaan tapi kritik, akan menjadi lain ketika itu masuk dalam laporan di penyidik, apalagi yang melaporkan adalah Pejabat. Jika ada Pejabat publik yang merasa dihina oleh warga negara, maka Pejabat itu bisa melaporkan penghina itu ke penegak hukum dalam kapasitasnya sebagai warga negara bukan sebagai Pejabat.
Penulis Adalah Dosen Hukum Tata Negara dan Ketua Pusat Kajian Hukum Dan Pembangunan Fakultas Ilmu Sosial Dan Hukum Universitas Negeri Surabaya