Scroll untuk baca artikel
Iklan MMI
Iklan MMI
Sudut Opini

Hijrah Premium melalui Kajian Islam Berbayar

9
×

Hijrah Premium melalui Kajian Islam Berbayar

Sebarkan artikel ini
hijrah-premium-kajian-islam-berbayar
Ilustrasi kajian Islam | MMP | Ist

Hijrah Premium melalui Kajian Islam Berbayar

Oleh: Frisca Asri Qorilia

mediamerahputih.id | Di tengah semangat hijrah yang tumbuh subur di kalangan generasi muda muslim Indonesia dalam beberapa tahun terakhir, dunia digital mengalami lonjakan fenomenal dalam hal penyebaran konten keagamaan. Muncul satu fenomena menarik sekaligus memicu perdebatan yaitu, kajian Islam berbayar yang dikemas secara premium. Di berbagai media sosial dan platform digital, marak promosi kelas spiritual berbayar mulai dari kuliah tauhid daring dengan akses terbatas, hingga forum healing islami eksklusif di hotel berbintang.

Di balik kemasan rapi, editan profesional, dan narasumber ternama, terselip persoalan mendalam tentang bagaimana agama yang seharusnya inklusif bergeser menjadi produk yang hanya dapat diakses oleh kelas sosial tertentu. Fenomena ini tampak sepele, bahkan dianggap wajar oleh sebagian kalangan. Dalam perspektif Cultural Studies, kita tidak hanya berbicara soal konten keagamaan, tetapi juga soal relasi kuasa, ideologi, dan bagaimana budaya populer membentuk identitas serta menciptakan ketimpangan akses.

Baca juga :

Seperti Apa Budaya Etika seorang Muslim? Begini menurut Dalil Al-Quran

Dalam perspektif Antonio Gramsci, filsuf Italia, mengembangkan konsep hegemoni untuk menjelaskan bagaimana kelompok dominan mempertahankan kekuasaannya melalui konsensus budaya. Dalam konteks kajian Islam berbayar, tampak bahwa narasi dominan dibentuk oleh mereka yang memiliki modal ekonomi dan teknologi. Mereka menentukan standar kebenaran, kelayakan materi, dan bahkan sosok panutan dalam beragama. Hal ini membentuk hegemoni baru dalam keberagamaan digital dengan hanya yang bisa membeli yang bisa belajar. Fenomena ini dapat dibaca sebagai bentuk hegemoni baru dengan dominasi ideologis yang tidak dilakukan melalui paksaan, tetapi melalui persetujuan yang dibentuk oleh budaya dan nilai dominan. Kajian berbayar hadir sebagai bagian dari proyek hegemonik kapitalisme spiritual yang di mana agama tidak hanya menjadi ranah ibadah, tetapi juga arena konsumsi.

Narasi yang dibangun melalui promosi kajian ini sering kali menggunakan diksi-diksi persuasif: “Investasi untuk jiwa,” “Ilmu yang tak ternilai,” atau “Bersama ustadz terkenal, dalam ruang yang nyaman dan eksklusif.” Frasa ini menunjukkan bahwa spiritualitas kini dibingkai sebagai layanan premium yang hanya bisa diakses oleh mereka yang memiliki modal ekonomi sehingga menciptakan jurang simbolik antara “muslim yang siap hijrah” dan “muslim yang belum mampu.”

Baca juga :

Seperti Apa Tanggung Jawab Seorang Ilmuwan Muslim! Begini Penjelasan menurut Al-Quran

Menurut Michel Foucault, kekuasaan tidak hanya bekerja secara represif, tetapi juga produktif membentuk subjek melalui diskursus. Dalam konteks kajian berbayar, diskursus keagamaan diproduksi dan disebarluaskan bukan hanya oleh lembaga dakwah, tetapi juga oleh influencer, brand modest wear, dan content creator.

Media sosial seperti Instagram dan TikTok berperan besar dalam membingkai makna hijrah. Estetika visual yang digunakan seperti tone earth, lokasi nyaman, gaya berpakaian modest dengan sentuhan high class yang menciptakan representasi bahwa kesalehan identik dengan ketenangan, kemapanan, dan keteraturan. Diskursus ini akhirnya mendorong bentuk baru kesalehan yang sangat visual, performatif, dan eksklusif secara sosial.

Mengacu pada teori Stuart Hall yang menekankan pentingnya representasi dalam membentuk identitas, namun representasi tidak netral. Ia selalu membawa kepentingan ideologis. Representasi perempuan dalam kajian Islam berbayar, misalnya, sering kali menunjukkan muslimah yang berhijab longgar, kalem, berbicara lembut, dan mampu mengakses forum eksklusif. Identitas ini menjadi standar baru muslimah ideal yang sesungguhnya hanya bisa diakses oleh kelompok sosial-ekonomi tertentu.

Baca juga :

Makna Equality Before the Law dan Bagaimana Penerapan Saat ini?

Fenomena ini menciptakan ketimpangan akses terhadap ilmu agama. Kajian yang semestinya terbuka dan membebaskan justru menjadi simbol status sosial baru. Seakan-akan, makin mahal biaya kajian, makin tinggi level spiritualitas yang diraih.

Namun, budaya selalu menjadi arena konflik makna, seperti diungkapkan Dick Hebdige. Tentu saja tidak semua bentuk kajian Islam berbayar bersifat eksklusif atau menindas. Ada juga yang menawarkan model pay-what-you-can atau memberikan akses gratis setelah jangka waktu tertentu. Namun, secara umum, logika profit tetap mendominasi. Fenomena ini merefleksikan apa yang disebut Hebdige sebagai subkultur yaitu komunitas yang melawan budaya dominan dengan menciptakan bentuk ekspresi baru. Komunitas kajian gratis di Telegram, TikTok, dan IG Live, dengan keterbatasan teknisnya, menjadi bentuk resistensi simbolik terhadap dominasi kelas dalam keagamaan digital.

Di media sosial, muncul pula narasi kritik dari kalangan muda Muslim progresif terhadap “dakwah kapitalistik”. Konten satire di TikTok dan Twitter yang mempertanyakan mengapa ilmu agama dijual layaknya seminar motivasi, menjadi semacam perlawanan simbolik terhadap praktik dakwah berbayar.

Baca juga :

UNESA Membangun Karakter Bangsa Merintis 7 Desa Pancasila di Jatim

Ironisnya, komersialisasi kajian agama seringkali dibungkus dengan narasi “memuliakan ilmu” atau “menghargai waktu narasumber.” Padahal, dalam tradisi keilmuan Islam klasik, ilmu disebarkan tanpa pamrih, dengan semangat membebaskan dan memberdayakan. Kini, ilmu dijual dalam paket-paket kelas platinum dengan bonus grup WhatsApp eksklusif.

Dampak sosialnya jelas terasa. Mereka yang tidak mampu membayar merasa tertinggal secara spiritual. Muncul strata baru dalam umat: muslim awam dan muslim premium. Kesenjangan ini berbahaya karena menggoyahkan prinsip inklusivitas Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam.

Resistensi ini memperlihatkan bahwa budaya hijrah tidak tunggal. Ia selalu dinegosiasikan dan diperebutkan. Ada muslimah yang memilih ikut kajian eksklusif, tapi ada pula yang lebih memilih majelis taklim berbasis komunitas lokal. Keduanya sah, tapi tidak bisa dianggap setara dalam akses dan makna sosialnya.

Baca juga :

YLPK Jatim Desak Penegakan Hukum Terhadap Praktik Kuota Internet Hangus Merugikan Konsumen

Namun, di tengah dominasi tersebut, masih ada ruang emansipasi. Beberapa platform mulai menerapkan subsidi silang, membuka ruang donasi, atau menyediakan kuota gratis bagi pelajar dan santri. Ini bisa menjadi jalan tengah antara kebutuhan untuk profesionalisasi dan tanggung jawab moral terhadap aksesibilitas.

Cultural Studies bukan hanya alat analisis, tetapi juga perspektif emansipatoris. Dalam konteks ini, perlu ada dorongan untuk mengembalikan ruh dakwah sebagai ruang publik yang inklusif. Dakwah tidak boleh tunduk pada logika pasar.

Sebagai langkah konkret, saya mengusulkan beberapa hal. Pertama, perlunya regulasi etik dalam industri kajian digital agar tidak semata-mata berorientasi pada profit. Kedua, mendorong kolaborasi antara platform dakwah dan lembaga sosial agar lebih banyak akses yang terbuka untuk kalangan marginal. Ketiga, perluasan representasi dalam konten keagamaan agar lebih beragam, baik dari segi gender, kelas, maupun latar budaya.

Baca juga :

Setelah Minimarket, Pemkot Surabaya Bidik Izin Parkir Restoran

Selain itu, penting untuk mengembangkan literasi digital agama di masyarakat. Masyarakat harus mampu membedakan antara konten yang benar-benar memberdayakan dan konten yang hanya menjual ketakutan atau janji keberkahan dengan imbalan biaya tertentu. Islam bukan produk untuk dijual, tetapi jalan hidup yang harus dibuka aksesnya seluas mungkin.

Dalam dunia yang semakin terdigitalisasi, kita tidak bisa menolak modernisasi dakwah. Namun bisa memastikan bahwa digitalisasi tidak melahirkan elitisme baru dalam beragama. Karena Islam sejatinya tidak mengenal kelas sosial dalam menuntut ilmu. Ia menyapa semua kalangan, dengan bahasa yang membumi, dan terbuka tanpa harga tiket. Kita butuh ruang belajar agama yang menjunjung nilai kebersamaan, kesederhanaan, dan keadilan akses. Bukan hanya soal isi kajian, tapi juga siapa yang bisa mengikutinya tanpa rasa tersisih. Bukan hanya untuk yang mampu membayar, tapi untuk semua umat.

Penulis adalah Mahasiswa Ilmu Komunikasi, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

Penulis: Frisca Asri QoriliaEditor: antonius andhika

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *