mediamerahputih.id I SURABAYA – Sidang lanjutan perkara yang membelit terdakwa Zainol Fahmi, terkait perkara penjualan kosmetik yang tidak memiliki izin edar dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Sidang dengan agenda keterangan ahli yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Sutrisno di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya Kamis, (02/02/2023).
Dalam sidang kali ini, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Nunung Nurnaini dari Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, menghadirkan saksi ahli Nur Zainab, S.SI.Apt bagian pengawasan obat dan makanan BPOM Jatim mengatakan mengenai perkara ini adalah adanya produk kosmetik yang tidak memiliki izin edar dari BPOM.
Sontak Majelis Hakim menanyakan terkait kenapa kosmetik itu tidak memiliki izin edar apa ada kandungan zat yang berbahaya?
Ahli menjelaskan, bahwa saat itu pihak penyidikan hanya menunjukan sebuah produk kosmetik yang tidak memiliki izin edar berdasarkan database yang ada di BPOM. Namun untuk kandungan dari produk tersebut.
Ia tidak diberikan hasil lab-nya, sehingga pihaknya tidak bisa menyimpulkan melanggar atau tidak melanggar. “Karena saat itu, penyidik bilang tidak ada anggaran untuk uji lab kandungan dalam produk yang ditangani oleh penyidik,” katanya.
Ahli menambahkan, perbuatan terdakwa melanggar Hukum sesuai dengan UU Kesehatan nomor 36 tahun 2009 Pasal 197 tentang Kesehatan Pasal 1 nomor 4, Sediaan Farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional dan kosmetik.
“Produk kosmetik harus memiliki izin edar dari BPOM, meskipun produk tersebut tidak berbahaya, karena terkait legalitasnya.” terangnya ahli.
Untuk diketahui berdasarkan surat dakwaan JPU menyebutkan, bahwa Toko FBB milik terdakwa di Jalan Pulo Tegalsari, Wonokromo, Kota Surabaya, telah melakukan kegiatan memproduksi dan atau mengedarkan sediaan farmasi berupa obat obatan Herbal berbagai macam merek dan tidak memiliki ijin edar.
Kemudian pada tanggal 10 Februari 2022, petugas dan penyidik Polda Jatim yakni saksi Dian Dwi Cahyono, Herry Khuderik dan Revi Akhmad Gunawan L melakukan penggeledahan di Toko FBB mengedarkan sediaan farmasi melalui online berupa obat obatan Herbal yang di produksi dengan menggunakan alat-alat berupa Mangkok, plastik kecil, alat Cangkang kapsul baru, botol, stiker dan lain lain, dan proses pembuatan obat Herbal awalnya bahan bahannya berasal dari pruduk milik Tien Syariah.
Produk-produk tersebut diganti cangkang (tempat/kapsul baru), setelah itu cangkang yang telah diganti kemudian di packing lagi ke botol-botol dan ditempeli stiker milik Toko FBB milik terdakwa dengan mencantumkan merek, Logo Halal, aturan pakai, dan kegunaan obat Herbal, serta isi kandungannya dan kadalursa obat obat Herbal yang diproduksi terdakwa tanpa ijin edar.
Kegiatan memproduksi atau melakukan repacking/pengemasan ulang yang dilakukan terdakwa dan karyawannya saksi Lelik Faricha tersebut tidak sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku. Selain itu, Ahli menjelaskan barang bukti yang diproduksi dengan dikemas ulang oleh terdakwa termasuk dalam sediaan farmasi tersebut adalah produk yang tidak mempunyai izin edar dari BPOM.
Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 197 jo pasal 106 ayat (1) UU R.I No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang telah diubah sesuai Undang Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja.(ti0)