Mapala yang Hilang Makna, Kekerasan bagian dari Pendidikan atau Tradisi?
Oleh : Nadiya Tri Aryani S.Psi.
Esensi Pecinta Alam
mediamerahputih.id | Mendaki, menyelam, memanjat hingga konservasi lingkungan. Begitulah kiranya yang terlihat biasa mereka lakukan sebagai bagian dari Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala). MAPALA mengibarkan cintanya dengan mengabdi kepada alam. Cinta itu di tuang dalam Kode Etik Pecinta Alam Indonesia Gladian I Ujung Pandang yang hingga kini masih dijadikan acuan AD/ART setiap organisasi MAPALA. Jika kita telaah, dari 7 point Kode Etik merupakan makna dari Bahasa cinta mahasiswa kepada sesama, alam, hingga negara. Bahkan di point 4 menjelaskan bahwa“Menghormati tata kehidupan yang berlaku pada masyarakat sekitarnya, serta menghargai manusia sesuai martabatnya.”
Namun, hal ini tentu saja berbalik dengan pemberitaan-pemberitaan terkait kasus kematian saat Pendidikan dan Latihan Dasar (DIKLATSAR) MAPALA berlangsung. Apakah kematian tersebut murni karena keadaan yang tidak terelakan? Atau mungkin akibat budaya senioritas di MAPALA yang sering ‘terdengar’ dari telinga ke telinga?.
Biru dan Pilu dalam Pendidikan
Baru-baru ini pada September 2025 mahasiswa Universitas Negeri Gorontalo meninggal dunia usai mengikuti pengkaderan MAPALA diduga karena adanya penganiayaan dengan bukti wajah dan leher yang bengkak setelah kembali dari pengkaderan. Sebelumnya, di 2023 mahasiswa asal Universitas Hassanudin meninggal ketika mengikuti diksar ditemukan bahwa ada pendarahan pada jantung dan penyumbatan aliran darah ke jantung korban.
Baca juga :
Kisah kelam dan pilu ini membawa pertanyaan: bagi MAPALA yang mengalami kekerasan saat diksar, siapa yang melakukannya? Kenapa mereka harus mengalami hal tersebut? Karna (nama samaran) seorang MAPALA asal Surabaya yang pernah mengikuti DIKLATSAR selama 7 hari penuh pada tahun 2017 akan menjawab pertanyaan-pertanyaan ini. Saat ini Karna sudah lulus dan bekerja di suatu perusahaan. Kisahnya saat DIKLATSAR tesusun rapi dalam sebuah laci arsip Laporan Pertanggung Jawaban sebagai bukti dokumenter dari masing-masing peserta yang totalnya sepuluh orang.
Didalam laporan tersebut mengisahkan bahwa, kejadian memilukan yang terjadi saat DIKLATSAR yang dialami kesepuluh peserta khususnya Karna. Kejadian bermula saat kondisi fisik Karna menurun pada saat perjalanan hari pertama. Awalnya, masih ada bantuan dari senior yang bertugas dan teman-temannya. Namun, karena kondisi fisik dan mental Karna semakin tidak bisa di kompromi kekerasan tersebut di mulai.
Adanya kekerasan secara verbal dan non-verbal berupa pemukulan punggung, penamparan, hingga pelepasan baju yang digunakan oleh Karna di tengah jalur oleh senior dialami Karna akibat dari kondisi fisiknya yang menurun. Tidak begitu serupa, namun teman-teman Karna juga mendapat pemukulan oleh senior karena dianggap tidak peduli terhadap kondisi Karna. Kejadian tersebut berturut-turut terjadi sampai hari keenam dimana kondisi fisik dan mental seluruh peserta mulai menurun dan akhirnya Sebagian dari Sembilan peserta lainnya juga ikut melakukan kekerasan fisik terhadap Karna.
Kekerasan sebagai bagian dari Pendidikan atau tradisi bengis?
Kisah Karna menyiratkan sebuah kekacauan mendalam dari sebuah sistem Pendidikan organisasi yang dikelola oleh Mahasiswa yang berbasis Pecinta Alam. Dalam konteks DIKLATSAR, pola kepatuhan ini diciptakan dengan senior yang dianggap berwenang dalam kegiatan dan perintah yang harus dipatuhi karena peserta DIKLATSAR dianggap tidak cukup memiliki ilmu dan kekuatan untuk dapat memutuskan sendiri. Mengapa harus patuh? Mengapa perilaku ini malah berlanjut dari yang awalnya senior yang melakukan kepada Karna dan Sembilan peserta lainnya malah sembilan peserta lainnya yang ikut melakukan ke Karna?

Karena dalam sistem senioritas, kepatuhan menjadi tolak ukur dari Loyalitas. Perintah dan tontonan mengerikan dari adegan pemukulan bukan lagi dilihat sebagai kekerasan namun sebagai “Ujian Mental” yang harus di Jalani oleh peserta lain. Rasa takut bercampur dengan keinginan untuk diakui, membuat peserta baru lebih memilih mengikuti arus daripada melawan. Ironisnya, begitu mereka berubah dari yang awalnya peserta lalu menjadi senior yang memiliki kuasa mereka akan mengulang pola yang sama. Kekerasan menjadi warisan tradisi bengis yang diteruskan, tidak di hentikan.
Baca juga :
Dalam sudut pandang psikologi, Konformitas yang terjadi dalam fenomena kekerasan dalam Diklatsar ini mencakup empat tahap. Pada mulanya, kepatuhan lahir dari rasa takut terhadap otoritas senior (Obedience). Namun, seiring waktu tekanan kelompok membuat peserta lain mulai menyesuaikan diri hanya agar diterima (Compliance). Bahkan, berada di titik menganggap kekerasan yang dilakukan senior kepada Karna merupakan hal yang wajar karena kesalahan Karna sendiri (Abidance). Pada titik saat sebagian dari Sembilan peserta itu tanpa sadar ikut melakukan kekerasan juga kepada Karna mereka akan ikut-ikutan terbawa arus massa (Herd Behavior). Inilah mengapa pola kekuasaan seringkali tidak berhenti di satu titik, tapi berulang dan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Putus rantai kekerasan, kembalikan makna!
Tidak ada yang salah menjadi MAPALA apalagi jika niat dari hati ingin mengabdikan diri terhadap alam dengan mencintai sepenuhnya dalam laksana perilaku. Tujuan mulia menjadi MAPALA tidak dapat diduplikasi oleh siapapun karena komitmen dan cinta mencari akar utama dalam setiap pergerakan yang dilakukan. Namun, kenyataan bahwa Pendidikan yang masih diwarnai kekerasan harus segera dihapuskan.
Baca juga :
UNIDHA Malang Berdayakan UMKM Desa Jambangan Naik Kelas dengan Pendampingan Digitalisasi
Jika anda mengalami kekerasan serupa atau lebih dalam suatu organisasi atau pekerjaan jangan takut untuk bercerita kepada orang sekitar anda. Upaya tersebut sebagai pertolongan pertama untuk tidak menormalisir kejadian tersebut. Kedua, anda bisa melakukan konseling dengan Hotline SEJIWA di nomor 119 (Ekstensi 8) untuk mendapatkan dukungan dan konseling gratis dari Psikolog. Ketiga, jangan ragu suarakan cerita kekerasan yang anda alami kepihak berwenang dalam kasus yang dialami Karna seharusnya dapat melaporkan ke pihak Kemahasiswaan di Universitas agar mendapatkan tindak lanjut.
Tidak ada lagi trauma generasi yang harus di wariskan dalam sebuah sistem Pendidikan organisasi.
Penulis adalah Mahasiswa Magister Psikologi Universitas Airlangga Surabaya