Scroll untuk baca artikel
Iklan MMI
Iklan MMI
Berita Terbaru

BI dan OJK Berikan Keterangan Terkait Kewenangan BPRS di Sidang MK

1364
×

BI dan OJK Berikan Keterangan Terkait Kewenangan BPRS di Sidang MK

Sebarkan artikel ini

Merah Putih I JAKARTA– Mahkamah Konstitusi menggelar persidangan pengujian Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (UU Perbankan Syariah) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Sidang dengan agenda Mendengarkan Keterangan Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) ini yang digelar, Rabu (10/8/2022)

Berdasarkan laman Mahkamah Konstitusi (MK) perkara bernomor 32/PUU-XX/2022 ini, dimohonkan PT Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Harta Insan Karimah Parahyangan (BPR Syariah), diwakili oleh Martadinata selaku Direktur Utama. Materi yang dimohonkan pengujian yaitu Pasal 1 angka 9, Pasal 9 ayat (2) huruf a, Pasal 13, Pasal 14 ayat (10), Pasal 21 huruf d, dan Pasal 25 huruf b, dan huruf e UU Perbankan Syariah.

Pemohon mendalilkan pasal-pasal tersebut membatasi atau melarang BPR Syariah untuk memberikan jasa lalu lintas pembayaran. Implikasinya, Pasal 21 huruf d UU Perbankan Syariah mengatur bahwa BPR Syariah tidak dapat memindahkan uang, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan nasabah secara mandiri.

Kamis (23/6), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang diwakili oleh Anggota Komisi III Sarifuddin Sudding menyampaikan peraturan BPRS dalam peraturan UU Perbankan Syariah pada dasarnya selaras dengan pengaturan BPR.

Dalam pembentukan UU Perbankan, BPRS memiliki fungsi yang sama dengan BPR. Dalam UU Perbankan terkait dengan pelaksanaannya, BPRS berpedoman pada prinsip-prinsip syariah sebagaimana yang terkandung dalam sumber hukum islam.

Sementara, Pemerintah yang diwakili oleh Sekretaris Jenderal Kementerian Keuangan Heru Pambudi menyampaikan BPR dan BPRS tidak memberikan jasa lalu lintas pembayaran. Desain BPR dan BPRS dimaksudkan untuk menjadi community bank yang segmentasi pasarnya lebih kepada masyarakat kecil di sekitar BPR dan kepada usaha mikro kecil menengah (UMKM).

Pada Rabu (6/7), Ekonom Senior Faisal Basri menyatakan bahwa keberadaan BPR dan BPRS yang menjangkau daerah-daerah terpencil, sesungguhnya dapat mempermudah kehidupan masyarakat daerah terhadap akses keuangan. Akan tetapi, lanjutnya, dengan adanya a quo, justru membatasi akses tersebut. Ahli Pemohon lain, Yunus Husein selaku Ahli Hukum Perbankan menyebut, BPR dan BPRS sangat diperlukan karena cakupannya dalam melayani masyarakat sangat luas, meski terbatas.

Pada Rabu (27/7) Mantan Dewan Pengawas BPRS Saifuddien Hasan, memaparkan bahwa pelarangan keikutsertaan BPRS dalam lalu lintas pembayaran menyebabkan BPRS tidak mampu melakukan pelayanan nasabah secara baik dan efisien. Hal ini berujung pada kerugian individu dengan mahalnya layanan yang didapat.

Sementara saksi Risdan Harly yang merupakan Direktur Utama BPRS milik Pemerintah Daerah Kota Ternate menyampaikan BPRS yang dikelolanya mengalami kesulitan dalam menghimpun dana dari masyarakat atau pihak ketiga. Di satu sisi pihak otoritas jasa keuangan dan BI mendorong BPRS untuk tumbuh dan berkembang dan melayani masyarakat. (red/fy)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *