Penjabat Kepala Daerah : Sebuah Ironi Demokrasi
Oleh : Hananto Widodo
Kebijakan Pemilihan Serentak menyisakan persoalan yang tidak sederhana. Memang pemilu dan pemilihan serentak memiliki implikasi positif berupa penghematan anggaran yang harus dikeluarkan negara untuk membiayai pemilu dan pemilihan yang sebenarnya memang tidak murah. Namun, bukan berarti pilihan sistem pemilihan dan pemilu secara serentak tidak memiliki konsekuensi.
Pemilu serentak telah dimulai pada tahun 2019. Pemilu serentak inipun memiliki konsekuensi yang tidak ringan jika dilihat dari aspek demokrasi. Konsekuensi sekaligus masalah utama dalam pemilu serentak tidak lain dan tidak bukan adalah tetap diaturnya Presidential Threshold 20% oleh pembentuk UU.
Begitu juga dengan pemilihan kepala daerah secara serentak yang juga tidak lepas dari persoalan besar jika dilihat dari optik demokrasi. Persoalan apa itu ? persoalan awal terjadi ketika penentuan jadwal pemilihan kepala daerah secara serentak. Namun bukan persoalan dalam artian jadwal pemilihan yang telah ditentukan berdasarkan tanggal perhelatan pilkada yang ditetapkan pada tanggal 24 Oktober 2024.
Persoalan itu terkait dengan durasi selesainya masa jabatan kepala daerah yang rata-rata selesai pada tahun 2022 dan 2023, tetapi pilkada baru dihelat pada tahun 2024. Dengan demikian, akan terjadi kekosongan jabatan kepala daerah selama 1-2 tahun di beberapa daerah.
UU No. 10 Tahun 2016 memang telah memberikan solusi dengan digantikannya kepala daerah yang telah selesai masa jabatannya oleh penjabat kepala daerah sampai dengan dilantiknya kepala daerah terpilih pasca pilkada 2024.
Persoalan kembali muncul, ketika penjabat kepala daerah ditunjuk oleh Pemerintah. Padahal secara konstitusional kepala daerah harus dipilih secara demokratis. Apapun alasannya apakah hanya sebagai pengganti kepala daerah atau alasan lainnya, penunjukkan penjabat kepala daerah oleh pemerintah tetaplah menyisakan persoalan. Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan “Gubernur, Bupati, Walikota masing-masih sebagai Kepala Pemerintahan Daerah dipilih secara demokratis.
Terkait dengan penunjukan penjabat kepala daerah yang dianggap tidak demokratis ini, sudah ada solusinya melalui putusan Mahkamah Konstitusi No. 15/PUU-XX/2022. Beberapa pihak yang menganggap penunjukan penjabat kepala daerah itu tidak demokratis melakukan permohonan judicial review (JR) ke MK.
MK melalui putusannya mengatakan bahwa pemilihan penjabat kepala daerah tidak bertentangan dengan prinsip demokrasi dalam UUD NRI Tahun 1945. Tetapi, MK memberikan pendapat kalau pemilihan penjabat kepala daerah harus melibatkan publik. MK juga memerintahkan agar dibentuk peraturan pelaksana terkait pengisian jabatan penjabat kepala daerah.
Setelah putusan MK ini ternyata pemerintah tidak langsung mengeluarkan peraturan pelaksana tentang pengisian jabatan penjabat kepala daerah sebagaimana diperintahkan oleh MK. Bahkan, pemerintah juga langsung melakukan pengangkatan terhadap beberapa penjabat kepala daerah untuk mengisi kekosongan jabatan kepala daerah yang telah ditinggalkan oleh kepala daerah yang telah selesai masa jabatannya.
Menurut pemerintah, dasar pengangkatan penjabat kepala daerah adalah diskresi, dan proses pengangkatan penjabat kepala daerah tetap melibatkan partisipasi masyarakat, sehingga tidak melanggar prinsip demokrasi sebagaimana diatur dalam UUD NRI Tahun 1945.
Akhirnya pemerintah akan mengeluarkan peraturan Menteri dalam negeri (Permendagri) tentang pengisian jabatan penjabat kepala daerah. Menurut Mendagri dalam pengisian penjabat kepala daerah akan melibatkan partisipasi publik. Pertanyaannya partisipasi publik yang bagaimana yang dimaksud ?
Makna Kepala Daerah yang dipilih secara demokratis memang mengandung makna open legal policy. Artinya apakah kepala daerah itu dipilih secara langsung oleh rakyat atau dipilih melalui DPRD, keduanya sama-sama demokratis.
Dengan demikian, jika pembentuk UU berkehendak agar pemilihan kepala daerah dipilih oleh DPRD, kemudian ada pihak yang mengajukan JR ke MK, maka dapat dipastikan MK akan menolak permohonan JR tersebut, karena makna dipilih secara demokratis merupakan kewenangan penuh dari kehendak pembentuk UU dalam menafsirkan maknanya.
Namun demikian, secara teori ada penjelasan mengenai makna dipilih secara demokratis itu. Secara praktik, dipilih secara demokratis itu bisa melalui pemilihan secara langsung oleh rakyat, bisa melalui DPRD.
Tidak mungkin pemerintah menggunakan opsi pertama, yakni dipilih secara langsung oleh rakyat, karena secara agenda, pilkada akan dihelat pada tahun 2024 dan itu untuk memilih kepala daerah, bukan untuk memilih penjabat kepala daerah.
Hanya opsi yang kedua yang bisa diambil oleh pemerintah, yakni melalui pemilihan oleh DPRD. Pemerintah dapat mengajukan beberapa calon penjabat kepala daerah ke DPRD untuk kemudian DPRD dapat memilih satu dari beberapa calon yang diajukan oleh pemerintah.
Namun, kelihatannya pemerintah tidak akan mengambil opsi ini. Karena jika pemerintah mengambil opsi penjabat kepala daerah dipilih melalui DPRD, maka sama saja pemerintah mengingkari penjabat kepala daerah sebelumnya yang telah diangkat tanpa melalui DPRD.
Opsi yang mungkin diambil oleh pemerintah adalah sama dengan makna pelibatan partisipasi publik yang telah dilakukan oleh pemerintah dalam melakukan pengangkatan penjabat kepala daerah sebelumnya, yakni dengan cara mengumumkan nama-nama calon penjabat kepala daerah yang akan ditunjuk sebagai penjabat kepala daerah kepada masyarakat untuk mendapatkan masukan dari masyarakat.
Cara ini tentu jika dilihat dari mekanisme pemilihan demokrasi jelas bukan merupakan sesuatu yang lazim. Cara ini lazim jika digunakan untuk memilih komisioner KPK, KPU atau pejabat publik lainnya, tetapi tidak lazim jika digunakan untuk memilih penjabat kepala daerah yang secara hukum akan melaksanakan kewenangan dari kepala daerah.
Bagaimanapun juga, tidak semua masyarakat akan mengenal para calon penjabat kepala daerah, karena mereka adalah para ASN yang tidak semuanya dikenal oleh masyarakat. Dalam pemilihan kepala daerah akan diberikan waktu kampanye bagi calon kepala daerah yang antara lain tujuannya adalah untuk mengenalkan dirinya kepada masyarakat.
Sedangkan bagi penjabat kepala daerah tidak diberi ruang untuk mengenalkan dirinya kepada masyarakat, tetapi tiba-tiba disodorkan nama-namanya ke masyarakat untuk dimintai masukannya. Maka dari itu, inilah ironi demokrasi dalam pengisian jabatan penjabat kepala daerah.
Penulis adalah Dosen Hukum Tata Negara dan Ketua Pusat Kajian Hukum Dan Pembangunan Fakultas Ilmu Sosial Dan Hukum Universitas Negeri Surabaya*