Re-Sakralisasi UUD 1945 ?
Oleh : Hananto Widodo
mediamerahputih.id I Isu gagasan untuk kembali pada UUD 1945 naskah asli bergulir lagi. Bahkan Amien Rais yang merupakan Ketua MPR yang memimpin perubahan terhadap UUD 1945 juga ikut berkomentar. Amien Rais setuju jika kita kembali pada UUD 1945 naskah asli. Amien Rais juga mengusulkan agar Presiden kembali dipilih lagi oleh MPR.
Paling tidak ada beberapa kemungkinan terkait dengan pernyataan Amien Rais ini. Kemungkinan pertama adalah terkait alasan moral. Amien Rais melihat bahwa praktik pemilihan umum Presiden selama 20 tahun ini, menuai banyak masalah. Kemungkinan kedua terkait dengan alasan kepentingan dari Amien Rais sendiri. Karena selama dia berkecimpung pada dunia politik, dia tidak pernah memenangkan kontestasi. Baik ketika dia maju sebagai Capres pada tahun 2004 dan 2009, maupun ketika dia mendukung salah satu paslon. Sebagaimana diketahui, pada tahun 2014 dan 2019 Amien Rais mendukung Prabowo, sedangkan pada tahun 2024 dia mendukung Anies.
Baca juga:
Semua Capres yang Amien Rais dukung dapat dikatakan tidak pernah menang dalam kontestasi. Amien Rais juga ikut memainkan opini bahwa kekalahan jagoannya, karena kecurangan yang dilakukan oleh rival politik jagoannya. Namun, opini terkait kecurangan ini akhirnya terbantahkan, karena setiap dugaan kecurangan selalu dilakukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi dan selalu berakhir pada penolakan oleh MK, karena problem kurangnya alat bukti.
Dengan dipilihnya Presiden dan Wapres oleh MPR, maka kemungkinan untuk memenangkan jagoannya secara kalkulasi menjadi lebih mudah. Namun yang harus diingat, ada banyak faktor dari kemenangan pilihan Presiden di MPR. Karena bagaimanapun, MPR merupakan Kumpulan dari parpol yang lolos di DPR ditambah dengan unsur-unsur lainnya. Pertanyaannya dapatkah Partai Ummat lolos parliamentary threshold sebesar 4%? Kalau Partai Ummat tidak mampu untuk lolos di DPR, maka mimpi agar kemenangan jagoannya menjadi mudah jika dipilih oleh MPR menjadi sulit juga.
Baca juga:
Masalah yang muncul adalah ketika ada semangat untuk kembali ke UUD 1945 naskah asli, sebenarnya bukan kemajuan dalam bidang ketatanegaraan yang akan kita alami. Tetapi justru kemunduran yang akan kita alami. Keberadaan MPR sebagai lembaga yang berwenang untuk memilih Presiden, merupakan hal yang strategis dalam konteks kelembagaan pada UUD.
Jika MPR diberi kewenangan untuk memilih Presiden, maka MPR kembali menjelma menjadi lembaga tertinggi negara. Membuat MPR sebagai lembaga tertinggi kembali akan mengubah struktur ketatanegaraan kita, sehingga lembaga-lembaga negara yang lahir karena respon terhadap aspirasi reformasi, seperti MK, KY, dan beberapa lembaga negara lainnya otomatis akan hilang.
Baca juga:
Keberadaan MPR sebagai lembaga tertinggi negara justru merupakan paradoks bagi nilai-nilai demokrasi itu sendiri. Demokrasi jangan hanya dimaknai sekedar perwakilan, tetapi juga harus dimaknai bahwa rakyat memiliki hak penuh untuk menentukan pemimpinnya. MPR sebagai lembaga tertinggi negara akan menciptakan potensi penyimpangan-penyimpangan dalam praktik ketatanegaraan, seperti yang dilakukan oleh rezim Orde Lama dan rezim Orde Baru.
MPR bisa dimaknai sebagai lembaga yang dapat berbuat apa saja. Hal ini diperkuat dengan Penjelasan Pasal 3 UUD 1945 yang menyatakan ..” Oleh Karena Majelis Permusyawaratan Rakyat memegang kedaulatan negara, maka kekuasaannya tidak terbatas.” Keberadaan MPR dengan kekuasaan yang tidak terbatas ini akan menjadikan check and balances sebagai syarat pemerintahan yang konstitusional menjadi tidak berjalan.
Baca juga:
Mekanisme check and balances akan menghilangkan dominasi dari cabang kekuasaan yang satu terhadap cabang kekuasaan yang lainnya. Jika ada argumentasi yang menyatakan, justru dengan tidak adanya dominasi dari satu lembaga akan menjadikan demokrasi menjadi liberal, maka dapat dikatakan kalau argumentasi itu merupakan argumentasi yang sesat. Check and balances justru merupakan pengembangan dari ajaran trias politica. Dalam ajaran trias politica menghendaki agar antar cabang kekuasaan tidak boleh saling ikut campur. Sedangkan dalam mekanisme check and balances akan terjadi control antar cabang kekuasaan.
MPR merupakan lembaga politik yang diisi oleh para politisi yang pasti berpotensi melakukan kesalahan. Jika MPR kembali menjadi lembaga negara tertinggi, maka pertanyaannya, siapa yang dapat mengontrol kekuasaan dari MPR. Jika menilik pada perjalanan sejarah ketatanegaraan di Republik ini, penyimpangan yang dilakukan oleh MPR terjadi karena dua hal.
Baca juga:
Pertama, MPR menjadi alat legitimasi semata bagi kekuasaan Presiden. Ini terjadi pada masa kekuasaan Orde Baru. Dapat dipastikan setiap periode, Suharto akan terpilih secara aklamasi. Keterpilihan Suharto menjadi Presiden selama enam periode secara berturut-turut ini karena ada relasi kolutif yang telah dibangun secara transaksional oleh Suharto bersama kroninya. Kedua, MPR akan menjelma menjadi lembaga pemaksa terhadap Presiden yang dipilihnya jika Presiden terpilih tidak mampu membangun hubungan yang transaksional dengan lembaga yang memilihnya. Ini terjadi pada masa pemerintahan Gus Dur.
Secara formal alasan diberhentikannya Gus Dur oleh MPR, karena Gus Dur telah melakukan pelanggaran terkait dengan dana hibah Sultan Brunei dan kasus Bullogate. Namun sebenarnya yang terjadi adalah karena Gus Dur tidak mampu membangun relasi yang transaksional antara dirinya dan pendukungnya di MPR yang telah memilihnya.
Baca juga:
Dengan demikian, maka apapun alasannya, gagasan untuk kembali pada UUD 1945 naskah asli bukan gagasan yang cerdas. Gagasan untuk kembali pada UUD 1945 merupakan bentuk upaya re-sakralisasi UUD 1945. Padahal UUD bukan merupakan kitab suci yang tidak bisa diubah. Hukum positif termasuk UUD akan selalu kalah dengan dinamika masyarakat. Oleh karena itu, perubahan terhadap konstitusi merupakan keniscayaan. Jika ide yang digulirkan itu adalah ide untuk melakukan amandemen V, maka ide itu perlu didukung, karena bagaimanapun ada kemungkinan UUD 1945 hasil amandemen pada tahun 2002 ini perlu ditinjau kembali guna perbaikan ke depannya.
Penulis adalah Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Negeri Surabaya